PT Sri Rejeki Isman alias Sritex sedang menjadi sorotan setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada Kamis (24/10/2024), setelah melewati masalah utang yang menggunung. Padahal perusahaan tekstil itu sempat berjaya hingga menjadi produsen seragam militer untuk pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan tentara Jerman.
Sritex didirikan oleh H.M. Lukminto sebagai perusahaan perdagangan tradisional pada 1966 di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah. Dua tahun kemudian, pabrik cetak pertama Sritex dibuka dengan memproduksi kain putih dan berwarna.
Pada 1978, Sritex terdaftar di Kementerian Perdagangan sebagai perseroan terbatas. Lalu pada 1982, Sritex mendirikan pabrik tenun pertama mereka.
Sekitar 10 tahun kemudian, Sritex memperluas pabrik dengan empat lini produksi, yakni pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan busana dalam satu lokasi.
Menariknya, pada 1994, Sritex bahkan sempat menjadi produsen seragam militer untuk pasukan NATO dan tentara Jerman.
Di tengah krisis moneter 1998, Sritex pun mampu bertahan dan berhasil menggandakan pertumbuhannya sampai delapan kali lipat dibanding waktu pertama kali terintegrasi pada 1992.
Sritex terus bertumbuh selama bertahun-tahun hingga secara resmi terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham SRIL. Namun, SRIL disuspensi Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 18 Mei 2021. Hal tersebut imbas penundaan pembayaran pokok dan bunga medium term note (MTN) Sritex tahap III 2018 ke-6 (USD-SRIL01X3MF).
Awalnya, suspensi diberikan sampai sampai 18 Mei 2023 atau menjadi 24 bulan. Namun, Sritex tak kunjung melakukan kewajibannya. BEI juga telah berulang kali memberikan surat peringatan potensi delisting pada emiten sektor tekstil tersebut.
Ketentuan delisting ditetapkan jika saham perusahaan telah diberhentikan sementara (suspensi) selama 24 bulan dan saham mengalami kondisi yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat, baik secara finansial atau secara hukum.
Tak hanya itu, Sritex juga sempat dikabarkan bangkrut. Meski perusahaan membantah kabar tersebut.
Direktur Keuangan Sritex Welly Salam mengatakan penjualan mereka memang menurun tetapi tidak sampai bangkrut. Ia menjelaskan kondisi geopolitik perang Rusia-Ukraina serta Israel-Palestina menyebabkan terjadinya gangguan supply chain dan penurunan ekspor karena terjadi pergeseran prioritas oleh masyarakat di Eropa maupun AS.
Selain itu, lesunya industri tekstil terjadi karena banjir produk tekstil di China. Menurutnya, hal itu menyebabkan terjadinya dumping harga, di mana produk-produk berharga lebih murah ini menyebar ke negara-negara yang longgar aturan impornya, dan salah satunya Indonesia.
“Kendati, perusahaan tetap beroperasi dengan menjaga keberlangsungan usaha serta operasional dengan menggunakan kas internal maupun dukungan sponsor,” jelasnya.
Namun, perusahaan yang sudah berjalan selama 36 tahun itu kemudian dinyatakan pailit. Keputusan tertulis dalam putusan perkara Pengadilan Negeri (PN) dengan nomor 2/Pdt.Sus- Homologasi/2024/PN Niaga Smg pada Senin (21/10/2024) lalu.
Berdasarkan sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Semarang, pemohon pailit Sritex menyebut termohon telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada pemohon berdasarkan Putusan Homologasi tertanggal 25 Januari 2022.
Tak tinggal diam, Sritex mengajukan kasasi atas putusan pailit tersebut. General Manager HRD Sritex Group Haryo Ngadiyono menyebut operasional perusahaan masih berjalan meski ada putusan pailit.
“Hari ini sudah melayangkan kasasi ke Mahkamah Agung,” ucapnya di Menara Wijaya Setda Sukoharjo, Jumat (25/10/2024).
Ajukan Kasasi ke MA
Manajemen Sritex telah mengajukan kasasi terkait putusan pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga Semarang. Pengajuan kasasi tersebut dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan kepada para kreditur, pelanggan, karyawan dan pemasok.
“Kami menghormati putusan hukum tersebut, dan merespons cepat dengan melakukan konsolidasi internal dan konsolidasi dengan para stakeholder terkait,” tulis Manajemen Sritex dalam pernyataan resminya yang diterima di Jakarta, Jumat pekan lalu.
Disampaikan Manajemen, kasasi tersebut sudah diajukan ke Mahkamah Agung (MA) dengan harapan bisa menyelesaikan persoalan pailit dengan baik dan memastikan terpenuhinya kepentingan para pemangku kepentingan.
Sritex selama 58 tahun telah menjadi bagian dari industri tekstil Indonesia. Sebagai salah satu perusahaan terbesar di Asia Tenggara, Manajemen Sritex menyatakan telah berkontribusi besar bagi Tanah Air.
Sritex mengatakan dari putusan pailit ini tak hanya memberikan dampak langsung bagi 14.112 karyawan, melainkan mencakup 50.000 pekerja Sritex secara keseluruhan, serta UMKM yang mendukung proses bisnis perusahaan tersebut.
“Sritex membutuhkan dukungan dari pemerintah dan stakeholder lain, agar dapat terus berkontribusi bagi kemajuan industri tekstil Indonesia di masa depan,” tulis Manajemen Sritex.