Pemerintahan Trump Bisa Mengarah kepada Otoritarianisme dan Balas Dendam

Para ahli memperingatkan potensi pemerintahan Donald Trump mendatang tergelincirnya ke arah otoritarianisme. Ia telah berjanji menindak tegas para pengkritik dan memberlakukan kebijakan garis keras bahkan mengusulkan penggunaan militer Amerika Serikat untuk melawan ‘musuh dari dalam’.

Trump juga mengancam akan mengadili para pengacara, Demokrat, dan pihak lain yang dituduhnya melakukan kecurangan pemilu, dan berjanji akan melaksanakan “operasi deportasi terbesar” terhadap imigran gelap dalam sejarah AS. Saat kembali ke Gedung Putih, dia juga mengatakan akan menjadi diktator pada hari pertamanya.

Kini, Donald Trump telah memperoleh 270 suara Electoral College yang ia butuhkan untuk memenangkan kursi kepresidenan, menurut Associated Press. Para ahli telah memperingatkan bahwa Trump sedang bersiap untuk memimpin pemerintahan otoriter yang penuh dengan loyalis yang berniat untuk ‘balas dendam’.

Rina Shah, seorang ahli strategi politik dan mantan asisten senior bagi legislator Partai Republik mengungkapkan, Trump akan menumpuk pemerintahan dengan para loyalis dan tidak akan ada pemerintahan koalisi.

“Ini akan menjadi ajang balas dendam terhadap Demokrat,” tambahnya, mengutip laporan Al Jazeera. “Ini akan menjadi pengulangan yang menakutkan dari cabang eksekutif, lebih menakutkan daripada yang kita lihat. Dia ingin menulis ulang aturan. Dia sudah memberi tahu kita.”

Janji Kampanye

Trump berkuasa pada 2016 di tengah gelombang kemarahan publik. Janjinya untuk ‘menguras rawa’ para politisi dan ‘elit’ lain di Washington, DC, mendapat dukungan dari sebagian besar penduduk yang kecewa dengan birokrasi pemerintah ketika itu.

Pidatonya yang berapi-api dan serangannya terhadap para pesaingnya – baik di dalam maupun di luar partainya – terus berlanjut selama masa jabatannya, yang membuatnya mendorong berbagai kebijakan kontroversial.

Advertisement

Dari 2017 hingga 2021, pemerintahan Trump ditandai serangkaian tindakan garis keras – khususnya terkait imigrasi dan kebijakan luar negeri – yang sering kali memasuki wilayah hukum tidak jelas atau dibatalkan pengadilan. Ia menepati beberapa janji kampanyenya, termasuk menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris, memberlakukan apa yang disebut ‘larangan Muslim’, dan menaikkan tarif impor.

Namun, ia gagal memenuhi janji-janji lainnya. Misalnya, ia tidak pernah berhasil menyelesaikan pembangunan tembok perbatasan selatan dan membuat Meksiko membayarnya. Perhitungan janji kampanye Trump pada 2016 oleh PolitiFact, organisasi pemeriksa fakta yang dijalankan Poynter Institute, menunjukkan bahwa, dari 100 janji yang dibuat, mantan presiden itu mengingkari lebih dari setengahnya.

Namun, retorika Trump terus berlanjut setelah tahun 2020, ketika ia gagal memenangkan pemilihan ulang, dan mencapai puncaknya selama kampanye tahun 2024 untuk kembali ke Gedung Putih. Ia menyasar para migran, Demokrat, wartawan, jaksa, hakim, dan siapa pun yang tidak setuju dengannya.

Geoffrey Kabaservice, wakil presiden studi politik di Niskanen Center, lembaga pemikir kanan-tengah di Washington, DC, mengatakan para pendukung Trump berharap dia akan menggunakan masa jabatan keduanya untuk melampaui apa yang dia lakukan pertama kali.

“Itu bisa berarti melaksanakan janjinya untuk mendeportasi jutaan imigran gelap dari negara itu, menjadikan Departemen Kehakiman sebagai senjata, atau memecat puluhan ribu pegawai negeri,” kata Kabaservice.

Ada kemungkinan Trump mencoba melaksanakan beberapa tujuannya yang kontroversial. Namun tujuannya juga dapat digagalkan oleh pengadilan, oleh negara yang berkuasa, oleh reaksi publik, atau mungkin karena ketidakmampuan pemerintahannya.

Kabaservice mengatakan kepada Al Jazeera beberapa kritikus khawatir bahwa “jika Trump mendatangkan orang-orang yang benar-benar percaya padanya, maka mereka akan menjadi kaum radikal, dan ia tidak akan terkekang oleh berbagai hambatan yang pernah ia alami pada masa jabatan pertamanya.”

Peran Kongres

Ada faktor kunci lain yang akan menentukan apa yang dilakukan Trump sebagai presiden yakni susunan Kongres AS. Erica Frantz, seorang profesor madya ilmu politik di Michigan State University yang mempelajari otoritarianisme, menjelaskan bahwa badan legislatif biasanya dapat bertindak sebagai benteng melawan pemimpin yang kuat. 

Ia mencontohkan kasus Argentina, di mana upaya Presiden sayap kanan Javier Milei untuk meneruskan kebijakan kontroversialnya sebagian besar ditolak karena ia tidak memiliki dukungan legislatif.

Namun jika Partai Republik berhasil menguasai DPR dan Senat AS dengan Trump di Gedung Putih, mantan presiden tersebut akan dapat lolos dengan kebijakan apa pun yang dipilihnya. “Pintu pada dasarnya akan terbuka lebar untuk tergelincir ke arah otoritarianisme,” kata Frantz kepada Al Jazeera.

Frantz mengatakan “perebutan kekuasaan secara otoriter” biasanya melibatkan beberapa elemen, seperti pembersihan orang-orang yang tidak loyal terhadap pemerintah dari sistem birokrasi negara, campur tangan terhadap pengadilan, dan pembatasan terhadap kemampuan media untuk melaporkan sesuatu.

“Dan pada akhirnya – dan ini sudah mulai mendapat perhatian – kita akan melihat campur tangan terhadap integritas elektoral,” jelas Frantz. Upaya tersebut dapat mencakup pencabutan hak pilih pemilih dan mempolitisasi cara pemilihan umum dijalankan.

Transformasi Partai Republik menjadi apa yang Frantz gambarkan sebagai partai “personalis” – yang berpusat pada individu – juga berarti bahwa Trump tidak akan menghadapi penolakan apa pun dari partainya sendiri.

Kaukus Partai Republik telah berkembang menjadi “sangat identik dengan Trump”, katanya, seraya mencatat bahwa para pengkritik mantan presiden tersebut telah disingkirkan dari jajaran partai atau memilih mengikuti jejaknya.

“Banyak hal yang terjadi ketika Anda melihat pemimpin berkuasa dengan dukungan dari partai-partai yang lemah dan dangkal yang lebih berfokus pada individu daripada kebijakan,” kata Frantz.