Kamala Harris, yang berkampanye di Washington, DC, menghadapi protes ratusan orang yang tidak setuju terhadap kebijakan pemerintahannya di Gaza pada 29 Oktober 2024 (Foto: Anadolu)
Sepanjang malam 5 November, saat suara elektoral dari negara-negara bagian utama seperti North Carolina, Indiana, dan Ohio memenangkan Trump, media sosial dipenuhi dengan kemarahan kaum Demokrat. Mereka menyalahkan hasil pemilu kepada warga Amerika Arab dan Muslim yang tidak memilih Harris.
Tak hanya itu, mereka menuding akibat kekalahan Harris itu berarti mengharapkan lebih banyak kematian dan kehancuran kepada saudara-saudara Muslim di Timur Tengah sebagai hukuman atas apa yang dianggap sebagai “pengkhianatan” ini.
“Saya harap setiap Muslim [sic] yang memilih Trump dapat menyaksikan Bibi (Netanyahu) mengubah Gaza menjadi tempat parkir kaca,” tulis salah satu dari mereka. “Para pemilih [pemimpin Partai Hijau] Jill Stein akan melihat apa yang Trump lakukan terhadap Gaza,” saran yang lain.
Argumen mereka adalah bahwa dengan menolak Harris, berarti menghadiahkan Trump kursi kepresidenan dan “mengorbankan” masa depan demokrasi Amerika di altar kebijakan luar negeri.
Ahmad Ibsais, mahasiswa hukum dan generasi pertama Palestina Amerika, dalam artikelnya di Al Jazeera mengungkapkan mereka tampaknya tidak hanya percaya bahwa Muslim Arab di Amerika cukup kuat untuk menentukan nasib demokrasi di negara ini, tetapi juga karena statusnya yang minoritas, berarti “berutang” suara kepada Partai Demokrat.
“Tentu saja benar bahwa dalam pemilihan umum AS kontemporer, kaum minoritas secara konsisten menunjukkan dukungan bagi kandidat Demokrat pada tingkat yang jauh lebih tinggi daripada pemilih kulit putih,” ungkap Ahmad.
Pada tahun 2016, kemenangan Trump melawan calon presiden dari Partai Demokrat saat itu, Hilary Clinton, diraih terutama oleh pemilih kulit putih, dengan 57 persen pria kulit putih dan 47 persen wanita kulit putih memilihnya. Sebanyak 88 persen pemilih kulit hitam dan 65 persen pemilih Asia mendukung Demokrat dalam pemilihan tersebut.
Demikian pula, tiga perempat pemilih Muslim dan sekitar 60 persen warga Amerika Arab mengatakan mereka memilih Clinton tahun itu. Pola ini berlanjut pada tahun 2020, dengan kelompok minoritas, termasuk Muslim dan Arab, muncul dalam jumlah besar untuk mendukung pasangan Biden-Harris.
Namun dukungan bersejarah ini, yang tidak diragukan lagi memperkuat kemenangan Demokrat di masa lalu dan membantu Clinton memperoleh suara terbanyak pada tahun 2016, tidak berarti bahwa kalangan Muslim Arab Amerika “berutang” apa pun kepada partai tersebut. Atau dianggap bertanggung jawab atas kekalahan “luar biasa” partai tersebut terhadap Trump dalam pemilihan kali ini ini.
Ahmad menilai, politisi, apa pun afiliasi partainya, tidak berhak atas suara dari kelompok demografi tertentu. Merupakan tugas mereka, bahkan hak prerogatif mereka, untuk mendapatkan suara siapapun. Namun, dalam siklus pemilihan ini, kaum Demokrat tidak berusaha memastikan kelompok ini memilih mereka. “Jadi kekalahan ini adalah kekalahan mereka, dan hanya kekalahan mereka,” tandasnya.
Lihat saja bagaimana Demokrat berkampanye di negara bagian Michigan. Michigan, negara bagian yang sangat penting di mana pemilihan umum bergantung pada ribuan suara, rumah bagi sekitar 200.000 Muslim Amerika. Selama tahun lalu, para pemilih ini memperjelas, dengan segala cara yang mereka bisa, bahwa suara mereka dikondisikan pada janji partai untuk mengakhiri dukungan finansial, politik, dan militernya terhadap pembantaian warga Palestina, Lebanon, dan Yaman.
“Kampanye “tanpa komitmen” – yang ingin mengakhiri dukungan Partai Demokrat terhadap genosida Israel – mengamankan lebih dari 100.000 suara dalam pemilihan pendahuluan Demokrat di negara bagian itu. Namun Partai Demokrat tidak mendengarkan,” tambahnya.
Harris tidak hanya menolak untuk meninggalkan kebijakan Biden yang sangat pro-Israel tentang Palestina tetapi juga secara pribadi mendukung pertumpahan darah yang terus berlanjut di Gaza dengan secara terbuka menghina para pegiat anti-genosida di negara bagian tersebut.
Ketika pengunjuk rasa pro-Palestina menyela rapat umum Harris di Detroit dengan hanya menyatakan bahwa mereka “tidak akan memilih genosida”, dia membungkam mereka dengan slogannya, “Saya berbicara”. Dia kemudian mengirim mantan Presiden Bill Clinton ke negara bagian tersebut untuk menyampaikan pidato yang mencoba membenarkan pembunuhan massal warga Palestina.
Liz Cheney, putri Republik dari arsitek perang Irak Dick Cheney, juga muncul di negara bagian tersebut untuk berkampanye bagi Harris. Anggota Kongres Ritchie Torres menuduh siapa pun yang menuntut diakhirinya pertumpahan darah di Gaza sebagai teroris anti-Semit, adalah pengganti lain yang dikirim Harris ke Michigan.
Akibatnya, wajar saja jika umat Muslim di Michigan tidak memilih Harris. Mereka tidak memilih Harris, karena mereka tidak berutang suara kepadanya, dan Harris tidak melakukan apa pun untuk mendapatkannya.
Di kota Dearborn, tempat sekitar 55 persen penduduknya merupakan keturunan Timur Tengah, Trump menang dengan 42,48 persen suara atas Wakil Presiden Kamala Harris, yang hanya memperoleh 36,26 persen. Jill Stein dari Partai Hijau, yang berkampanye gencar untuk mengakhiri serangan Israel di Gaza, memperoleh 18,37 persen. Pada 2020, 74,20 persen pemilih di kota itu telah memberikan suara mereka untuk Biden.
“Apa yang kita lihat di Michigan memang merupakan gambaran pengkhianatan. Namun, Partai Demokrat-lah yang mengkhianati para pemilih yang mendukungnya dalam setiap pemilihan, bukan sebaliknya,” jelasnya.
Bagaimanapun, angka-angka yang muncul dari Michigan dan negara bagian medan tempur lainnya menunjukkan bahwa kekalahan Demokrat terlalu besar untuk disalahkan hanya pada pemilih Arab dan Muslim. Mereka tidak menawarkan jawaban dan solusi kepada rakyat Amerika mengenai isu-isu utama seperti perawatan kesehatan, perubahan iklim, dan mengakhiri genosida.