Sebuah gerai restoran cepat saji KFC di Riyadh, Arab Saudi, yang tampak sepi. (Foto: Tripadvisor)
Restoran waralaba KFC Indonesia, yang dioperasikan oleh PT Fast Food Indonesia Tbk, mengalami penurunan signifikan pada kinerja keuangannya hingga mengalami kerugian sebesar Rp557 miliar pada kuartal III-2024. Salah satu imbasnya adalah penutupan 47 gerai di berbagai daerah.
Faktor-faktor seperti turunnya daya beli masyarakat dan dampak konflik Timur Tengah turut memperburuk situasi. Konflik ini menimbulkan boikot terhadap merek-merek asal AS atau yang terafiliasi dengan Israel, yang kemudian memperlemah performa bisnis perusahaan tersebut.
Di Indonesia, penutupan gerai ini berdampak pada penurunan jumlah karyawan, dari 15.989 orang pada akhir 2023 menjadi 13.715 di September 2024. Artinya, ada pengurangan hingga 2.274 karyawan.
Meskipun pandemi telah usai, tekanan ekonomi dan daya beli yang menurun masih membebani bisnis KFC. Penutupan ini juga terkait dengan upaya perusahaan untuk mengurangi kerugian yang terus membengkak.
Di negara-negara Asia lainnya, situasi KFC bervariasi. Di Malaysia, misalnya, beberapa gerai mengalami kesulitan keuangan yang memaksa penutupan sementara sejumlah lokasi, meskipun tidak sebesar yang terjadi di Indonesia.
Berdasarkan laporan QSR Brands, pengelola KFC di Malaysia, sekitar 108 outlet KFC telah ditutup, terutama di wilayah-wilayah dengan mayoritas Muslim, seperti Kelantan yang terkena dampak hingga 80 persen penutupan gerai.
Sementara itu, KFC di India menghadapi tantangan lain berupa persaingan ketat dengan merek makanan lokal serta kebijakan pemerintah terkait standar kesehatan dan bahan baku, yang menambah beban operasional mereka.
Menurut BBC News, KFC di Jepang tetap menunjukkan daya tarik unik yang berbeda. Di Jepang, KFC bahkan menjadi bagian dari budaya perayaan Natal, di mana konsumen membeli paket KFC sebagai bagian dari tradisi. Tradisi ini membantu KFC tetap relevan dan bertahan dalam persaingan, meskipun rantai restoran asing sering kali harus beradaptasi dengan selera lokal.
Hampir sama dengan Jepang, kondisi KFC di China masih menunjukkan performa yang kuat. China menjadi pasar terbesar KFC di luar AS, di mana mereka berhasil beradaptasi dengan menawarkan menu yang sesuai dengan selera lokal, seperti bubur dan teh.
Adaptasi terhadap budaya setempat inilah yang tampaknya menjadi salah satu kunci sukses KFC dalam mempertahankan pasar.
Dari perbandingan ini, tampak jelas bahwa strategi yang diterapkan KFC di setiap negara bergantung pada konteks budaya, politik, dan ekonomi setempat. Di beberapa negara seperti Jepang dan China, KFC berhasil beradaptasi dan bahkan menjadi bagian dari budaya populer.
Namun, di Indonesia dan Arab Saudi, faktor ekonomi dan politik memainkan peran besar dalam menurunkan daya tarik merek ini di kalangan konsumen.
Fenomena boikot ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di kawasan Timur Tengah, di mana merek-merek asal AS, termasuk KFC, mengalami dampak yang cukup signifikan.
Di Arab Saudi, KFC dan sejumlah restoran cepat saji AS lainnya telah menghadapi boikot yang meluas, menyusul protes atas konflik politik yang tengah berlangsung di wilayah tersebut. Penurunan minat konsumen serta ketidakstabilan ekonomi turut memperburuk kondisi, menyebabkan penurunan performa gerai-gerai KFC di sana
Sepertinya, kasus seperti ini menunjukkan pentingnya adaptasi dan sensitivitas terhadap dinamika pasar lokal bagi perusahaan global.