“Ada ratusan keluarga di Jabalia yang hidup dalam kelaparan yang tak terlukiskan, namun kami lebih memilih mati kelaparan daripada meninggalkan rumah kami,” kata seorang penduduk.
Safaa Al-Adeli keluar setiap pagi untuk bergabung dalam antrean demi mendapatkan roti bagi keluarganya yang beranggotakan tujuh orang di depan toko roti Al-Banna, satu-satunya toko roti yang masih beroperasi di kota Deir al-Balah, di tengah-tengah Jalur Gaza yang terkepung.
Toko roti ini hanya beroperasi selama dua jam sehari karena kelangkaan tepung. Israel sangat membatasi masuknya bantuan pangan kemanusiaan dan darurat bagi penduduk Jalur Gaza. “Kami benar-benar hidup dalam kelaparan, karena tidak ada persediaan makanan di pasar. Kami biasanya memakan roti ini tanpa mengisinya dengan apa pun,” kata Al-Adeli mengutip laporan The New Arab.
Ia menunjukkan bahwa anggota keluarganya menderita kekurangan gizi yang menyebabkan mereka kehilangan banyak berat badan. “Selama perang ini, berat badan saya turun 20 kilogram. Saya menjadi seperti hantu.”
Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mendistribusikan tepung dalam jumlah darurat awal November ini, hanya untuk keluarga dengan lebih dari 11 anggota, mengingat terbatasnya persediaan.
Namun, ada kekhawatiran besar bahwa pekerjaan UNRWA dalam memberikan bantuan kepada pengungsi Palestina akan terhenti setelah keputusan Knesset Israel pada 28 Oktober melarang transaksi dengan badan internasional ini. Keputusan ini dianggap sebagai preseden berbahaya, dan hanya akan memperdalam penderitaan warga Palestina, terutama di Gaza.
“Pasar kosong dari barang apa pun. Tidak ada daging atau unggas sama sekali selama berminggu-minggu. Tidak ada buah apa pun. Sebagian besar sayuran telah hilang sama sekali, seperti kentang dan bawang putih. Beberapa tersedia, tetapi dengan harga di luar kemampuan para pengungsi,” Mohammed Mahdi, seorang pedagang di pasar Deir al-Balah, mengatakan kepada The New Arab (TNA).
Mahdi menuduh Israel menghubungkan masuknya bantuan kemanusiaan dan pangan dengan ‘fleksibilitas’ Hamas dalam negosiasi untuk menghentikan perang. Pada 31 Oktober, Hamas mengumumkan penolakannya terhadap usulan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi untuk menyelesaikan perjanjian gencatan senjata sementara dan singkat. Sementara Hamas hanya mendukung usulan apa pun yang mengarah pada akhir total perang Israel.
“Saya tidak tahu bagaimana dunia demokrasi yang diatur oleh hukum kemanusiaan tetap bungkam tentang kebijakan Israel ini. Bagaimana mereka membiarkan Israel membuat kita kelaparan? Berat badan kita turun drastis,” imbuh Mahdi.
‘Apakah ini Nyata?’
Di sudut pasar di kamp Nuseirat di Jalur Gaza bagian tengah, seorang anak laki-laki berusia 14 tahun duduk dengan timbangan di depannya. Ia meminta orang-orang yang lewat dan pengungsi untuk mengukur berat badan dengan membayar satu shekel (sekitar Rp4.000) dan mencari tahu dampaknya terhadap tubuh mereka.
Maram Al-Shorfa yang berusia 28 tahun menunggu giliran di antara orang-orang di depan timbangan. Begitu ia meletakkan kakinya di atas timbangan, matanya melotot dan tanda-tanda syok terlihat jelas di wajahnya.
Al-Shorfa, yang mengungsi dari Kota Gaza ke kamp Nuseirat, mengatakan kepada TNA, “Sebelum perang, berat badan saya 64 kilogram, tetapi timbangan ini menunjukkan berat badan saya sekarang 51 kilogram. Apakah ini nyata atau kecerdasan buatan?” imbuhnya dengan nada sarkastis.
Meskipun awalnya Al-Shorfa tidak percaya dengan berat badannya yang turun, tak lama kemudian, ia tidak meragukan kredibilitas timbangan ini. “Kelaparan yang dipaksakan Israel kepada warga Palestina dan kegagalan untuk menyediakan makanan dalam jumlah yang cukup ke Jalur Gaza menyebabkan orang-orang kehilangan berat badan secara drastis,” ungkapnya.
Di Jalur Gaza utara, situasinya bahkan lebih buruk, terutama setelah tentara Israel menyerbu wilayah Jabalia, Beit Lahia, dan Beit Hanoun pada 6 Oktober. Tentara Israel sepenuhnya mencegah masuknya pasokan makanan pokok ke wilayah-wilayah ini untuk memaksa penduduknya pindah ke selatan.
Namun, warga tersebut menolak perintah evakuasi dan bersikeras untuk tetap tinggal karena takut terulangnya tragedi Nakba 1948, yang menyebabkan sekitar 800.000 warga Palestina mengungsi dari desa dan kota mereka.
“Ada ratusan keluarga di Jabalia hidup dalam kelaparan yang tak terlukiskan, namun kami lebih memilih mati kelaparan daripada meninggalkan rumah kami,” kata Mohammed Obaid, seorang warga Jabalia, kepada TNA.
Ia menjelaskan bahwa berat badannya sebelum perang adalah 82 kilogram, dan sekarang karena kekurangan makanan, berat badannya menjadi 52 kilogram. “Tank-tank Israel terus-menerus melewati rumah kami dan menembaki apa pun yang bergerak,” tambahnya.
Risiko Kelaparan Kian Bertambah
Untuk memperparah kelaparan, tentara Israel sengaja membakar sebagian besar lahan pertanian di Jalur Gaza. Sebuah laporan yang dikeluarkan Pusat Hak Asasi Manusia Euro-Mediterania menyatakan bahwa tentara Israel menghancurkan lebih dari 75% lahan pertanian di Gaza selama perang yang sedang berlangsung.
Hussam Shahin, seorang dokter umum di klinik (UNRWA), mengatakan kepada TNA, penduduk Gaza menderita penurunan berat badan mengerikan karena kekurangan gizi yang mencapai titik kelaparan karena perang.
Shahin menjelaskan bahwa penduduk Jalur Gaza utara terutama bergantung pada kacang-kacangan kalengan yang didistribusikan UNRWA sebagai satu-satunya sumber makanan. Makanan jenis ini mengandung bahan pengawet, “dan ini tidak membantu menghindari kekurangan gizi.”
Ia mengemukakan bahwa makanan kalengan mengandung bahan kimia seperti bisphenol A (BPA) yang dapat membahayakan kesehatan jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Sementara proses pengalengan itu sendiri dapat menyebabkan hilangnya beberapa vitamin dan mineral penting, seperti vitamin C.
Organisasi Kesehatan Dunia (PBB) memperingatkan bahwa penduduk Jalur Gaza menghadapi tingkat kelaparan yang sangat parah. “Setahun setelah konflik, risiko kelaparan masih ada di seluruh Jalur Gaza. Mengingat meningkatnya permusuhan baru-baru ini, ada kekhawatiran yang berkembang bahwa skenario terburuk ini dapat menjadi kenyataan,” ungkap PBB dalam sebuah pernyataan pada 17 Oktober 2024.
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa sekitar 1,84 juta orang di Jalur Gaza menderita kerawanan pangan, termasuk sekitar 133.000 warga dalam tahap kerawanan sangat parah.