Mengapa demokrasi Indonesia, seperti dikemukakan banyak pengamat, cenderung memiliki karakter oligarkis? Salah satunya kemungkinan karena memang kalangan oligarki berkepentingan langsung untuk memengaruhinya. Dalam laporan riset terbarunya, peneliti Universitas Diponegoro sekaligus Direktur Pusat Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto, mengungkap bagaimana elite politik dan ekonomi di Indonesia memanfaatkan media sosial untuk memanipulasi opini public. Menurut Wijayanto, upaya tersebut, “Sudah sangat memengaruhi demokrasi di Indonesia.”
Dalam artikel berjudul “The Infrastructure of Domestic Influence Operations: Cyber Troops and Public Opinion Manipulation Through Social Media in Indonesia” yang diterbitkan dalam “The International Journal of Press/Politics”, yang terbit 11 November 2024. The International Journal of Press/Politics merupakan jurnal bereputasi tinggi yang diterbitkan SAGE Publications, sebuah penerbit akademis terkemuka yang dikenal dengan standar peer-review ketat untuk memastikan kualitas publikasi ilmiah, Wijayanto mengungkap manipulasi opini publik di Indonesia melalui operasi siber yang terorganisasi.
Berdasarkan risetnya, doktor lulusan Universitas Leiden itu, membahas “pasukan siber,” yang didefinisikan Wijayanto sebagai jaringan terkoordinasi yang menggunakan akun-akun anonim untuk menyebarkan narasi tertentu di media sosial guna memengaruhi opini publik. Operasi tersebut, menurut Wjayanto, didanai secara rahasia oleh pihak-pihak berkepentingan dan melibatkan ratusan akun palsu, yang digunakan untuk menyebarkan, mengulang, dan mengamplifikasi pesan yang sama. “Dalam konteks Indonesia, pasukan siber menjadi alat bagi elite politik dan ekonomi untuk menguasai ruang opini publik, terutama menjelang Pemilu dan pada isu-isu kebijakan penting,”kata Wijayanto. “Ini fenomena yang lebih kompleks dari sekadar ‘buzzer politik,’ karena melibatkan organisasi yang sangat rapi.”
Bagaimana riset dilakukan?
Untuk mengungkap struktur pasukan siber ini, Wijayanto dan timnya mewawancarai 52 individu yang bekerja sebagai cybertrooper, influencer, pembuat konten, dan koordinator kampanye media sosial. Penelitiannya mengungkap bahwa cybertrooper di Indonesia biasanya direkrut secara freelance, bekerja dalam tim temporer, dan diorganisir dengan ketat dalam jaringan. Dalam kurun antara Januari hingga Desember 2021, tim Wijayanto berhasil melakukan wawancara yang mendalam dengan 23 operator akun palsu, 22 influencer, dua pembuat konten, dan lima koordinator yang berperan dalam mengelola operasi media sosial ini.
Penelitian didanai Royal Dutch Academy of Sciences (KNAW), dan dilaksanakan bekerja sama dengan Social Economic Institute of Research, Education, and Information (LP3ES) yang menyediakan jaringan lapangan untuk akses ke narasumber yang sulit dijangkau. Penelitian itu juga mendapatkan persetujuan etik dari Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences pada tahun 2022.
Temuan utama Wijayanto mengungkap bahwa pasukan siber di Indonesia memiliki tiga karakteristik utama: (1) mereka didanai secara rahasia, (2) menggunakan akun anonim untuk menutupi identitas asli, dan (3) diorganisasi secara terstruktur untuk memengaruhi opini publik. Menurut Wijayanto, berbeda dengan negara-negara lain seperti Rusia atau Tiongkok, di mana operasi siber ini dikendalikan langsung oleh negara atau perusahaan besar, di Indonesia pasukan siber lebih bersifat ad-hoc dan berbasis proyek, menyerupai tim kampanye pemilu. “Mereka bekerja seperti tim sukses yang sementara, tetapi memiliki pengaruh yang jauh lebih luas,” kata Wijayanto.
Cybertrooper, atau operator akun palsu, seringkali mengelola puluhan hingga ratusan akun media sosial untuk menyebarkan narasi yang diinginkan klien mereka. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa akun-akun ini dibuat dengan menggunakan strategi “pembiakan akun”—di mana beberapa akun utama yang “dibesarkan” terlebih dahulu dengan konten populer seperti hiburan atau berita selebriti untuk membangun pengikut, sebelum akhirnya digunakan untuk menyebarkan konten politik. “Kami harus menciptakan akun dengan followers agar bisa lebih efektif dalam menyebarkan narasi,” kata seorang cybertrooper anonim yang diwawancarai pada Februari 2021.
Perparah ketidaksetaraan ekonomi
Menurut Wijayanto, praktik manipulasi opini oleh pasukan siber di Indonesia memperparah ketidaksetaraan politik dan ekonomi di negara ini. Elite ekonomi dan politik menggunakan pasukan siber untuk mendominasi ruang opini publik dan menekan kritik. Hal ini, menurutnya, “memperkuat sifat oligarkis demokrasi Indonesia,” di mana kelompok kecil yang kaya dan berkuasa dapat menggunakan uang untuk mengontrol narasi publik, menciptakan ketidaksetaraan yang semakin lebar antara mereka yang memiliki pengaruh dan yang tidak.
Temuan Wijayanto itu didukung pula oleh studi dari Bradshaw et al. (2021), yang menemukan bahwa manipulasi opini publik melalui media sosial terjadi di lebih dari 80 negara di dunia, dengan pola yang mirip—di mana elite memanfaatkan media sosial untuk mengamplifikasi agenda mereka. Namun, berbeda dari laporan lain, riset Wijayanto menyoroti bahwa di Indonesia, operasi pasukan siber tidak hanya melibatkan pemerintah atau aktor politik tetapi juga pihak swasta dan pengusaha kaya. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik.
Studi Wijayanto memberikan wawasan baru tentang bagaimana manipulasi digital memengaruhi lanskap politik di Indonesia. Dengan konteks sosial dan politik yang kompleks, pasukan siber di Indonesia beroperasi sebagai alat bagi elite untuk menguasai wacana publik. Riset ini membuka mata kita terhadap tantangan yang dihadapi demokrasi Indonesia dalam menghadapi manipulasi digital yang sangat terorganisir. Wijayanto berharap, dengan memahami fenomena ini, publik dan regulator dapat lebih waspada terhadap dampak negatif operasi siber terhadap demokrasi dan hak-hak kebebasan berekspresi. [dsy]