Guru Honorer: Mengajar dengan Cinta, Bertahan dengan Derita

DSY

Kamis, 14 November 2024 – 09:30 WIB

Ilustrasi. Seorang guru honorer membentang poster yang mempertanyakan nasibnya, saat melakukan demo tentang buruknya nasib mereka di depan Gedung Kementerian Pendidikan, beberapa waktu lalu. (Foto: Antara)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Ada pula sebuah topi yang kerap dipakai Alvi lebih membenam di kepalanya, menyembunyikan wajah. Bukan karena malu. Lebih untuk menjaga agar anak-anak didiknya yang bersirobok muka, berpapasan dengannya, tak harus rikuh. Kedua pakaian itulah yang kerap menemaninya memulung aneka barang buangan yang telah dianggap publik sebagai sampah.  Bagi Alvi, justru itu yang selama ini ikut menghidupi diri dan keluarganya.

Kalau pun jika sejenak kita lupakan derita Supriyani, guru honorer yang tengah diperkarakan wali murid yang merasa terhina karena anaknya dinasihati, kisah guru-guru honorer seakan lengket dengan derita, nestapa dan cerita papa.

Palingkan perhatian kita ke Kampung Bantar Muncang, Desa Sekarwangi, Kecamatan Cibadak, sebuah pelosok di Sukabumi, wilayah yang hanya berjarak dua jam perjalanan lewat tol dari Jakarta. Segera lonceng tanda sekolah usai berbunyi, Alvi Noviardi, membuka bungkusan yang setiap hari ia bawa. Dibukanya seragam guru, pakaian kebanggaan yang telah menemaninya selama 36 tahun mengabdi. Selama itu pula status Alvi yang kini telah berusia 57 tahun, tak pernah beranjak dari status honorer.

Dikenakannya pakaian yang tadi dibungkusnya: sebuah kaos oblong. Ada pula sebuah topi yang kerap dipakai Alvi lebih membenam di kepalanya, menyembunyikan wajah. Bukan karena malu. Lebih untuk menjaga agar anak-anak didiknya yang bersirobok muka, berpapasan dengannya, tak harus rikuh. Kedua pakaian itulah yang kerap menemaninya memulung aneka barang buangan yang telah dianggap publik sebagai sampah.  Bagi Alvi, justru itu yang selama ini ikut menghidupi diri dan keluarganya.

“Setiap hari, saya harus putar otak untuk memenuhi kebutuhan keluarga, padahal saya guru, seharusnya profesi ini dihormati,” kata Alvi kepada Sukabumi Update dengan mata berbinar namun kentara menyimpan kelelahan. Dengan menyusuri jalanan kampung, mengumpulkan barang bekas untuk dijual demi menambah penghasilan, Alvi bisa memperoleh tambahan buat gaji yang diterimanya sebagai guru honorer, yang hanya cukup untuk membeli sedikit beras dan kebutuhan pokok paling mendasar. Baginya, memulung sampah untuk kemudian dijual ke pengepul itulah yang paling mungkin dilakukannya.  

Alvi hanyalah salah satu dari aneka cerita duka 1,6 juta guru honorer Indonesia.  Perjuangan mereka tak hanya mengajar dan menghadapi aneka tingkah murid di ruang kelas. Mereka juga harus melawan keterbatasan hidup di luar sekolah.

Advertisement

Advertisement

Berdasarkan banyak sumber, guru honorer di Indonesia rata-rata hanya menerima gaji antara Rp300.000 hingga Rp500.000 per bulan. Bayangkan, angka itu paling banter hanya sekitar 15 persen dari Upah Minimum Regional (UMR) Sukabumi sejak Juli 2024 yang besarnya sekitar Rp 3,4 juta per bulan. Jauh dari peluang untuk memberi hidup yang layak, apalagi dengan harga-harga kebutuhan saat ini. Alhasil, jangan heran bila ada guru yang merangkap menjadi pembantu rumah tangga—kini kita memberinya nama eufimisme untuk melupakan rasa malu kita: Asisten Rumah Tangga, ART—di rumah anak didiknya sendiri! Bayangkan hubungan yang rumit antara dirinya sebagai ART dengan status guru anak majikannya itu di sekolah.

Sebagian lain dari mereka terpaksa mencari pekerjaan tambahan sebagai petani, buruh, atau bahkan seperti Alvi, jadi pemulung. Fenomena ini mengungkapkan bahwa guru honorer di Indonesia, meski mereka adalah ujung tombak pendidikan di pelosok negeri, sering kali sama sekali tidak dihargai pemerintah.

Namun, meski dihantui bayang-bayang beban hidup yang berat, para guru honorer itu rata-rata tetap menjalankan tugas dengan penuh cinta dan dedikasi. Sepertinya mereka memahami, anak-anak yang duduk di bangku sekolah desa adalah harapan masa depan bangsa. “Saya mungkin tidak akan kaya dari profesi ini, tapi saya bahagia ketika melihat anak-anak saya berhasil,” ujar Rina, seorang guru honorer di Cianjur yang telah mengajar lebih dari 20 tahun. Lihatlah  bagaimana cinta terhadap profesi sering kali lebih kuat daripada rasa pahit yang harus mereka telan setiap bulan.

Pengakuan negara

Secara psikologis, profesi guru adalah pekerjaan yang sarat dengan makna eksistensi diri. Melalui mengajar, mereka menemukan jati diri, menghargai setiap langkah yang mereka jalani, dan merasa hidup mereka berarti. Namun, eksistensi diri ini jelas kerap terguncang ketika mereka harus menghadapi kenyataan bahwa jerih payah mereka tidak diakui oleh negara. Teori eksistensialisme mengungkapkan bahwa seseorang membutuhkan pengakuan sosial untuk merasa eksis dan bermakna. Sayangnya, guru honorer kerap kali tidak mendapatkan apresiasi ini, baik dari segi finansial maupun sosial.

Ketika berbicara tentang negara dengan sistem pendidikan terbaik, Finlandia sering menjadi percontohan. Di negara ini, profesi guru dianggap setara dengan profesi dokter atau insinyur. Guru mendapatkan gaji dan kondisi kerja yang sangat layak. “Guru di Finlandia adalah tokoh masyarakat yang dihormati. Mereka mendapat kebebasan dalam mengajar dan dukungan penuh dari pemerintah,” ungkap Timothy D. Walker dalam buku best seller dunianya, “Teach Like Finland”. Walker juga menyoroti bahwa kesejahteraan dan penghargaan terhadap guru di Finlandia adalah faktor kunci yang membuat sistem pendidikan negara itu berhasil.

Perbandingan yang pahit bagi Indonesia. Mengapa di negara lain, profesi guru sangat dihargai, sementara di sini mereka harus berjuang hanya untuk makan sehari-hari? Finlandia memahami bahwa kualitas pendidikan tidak akan tercapai jika guru—yang adalah ujung tombak pendidikan—tidak diperlakukan dengan baik. Jadi, apakah Indonesia bisa meniru Finlandia?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat lebih jauh apa yang bisa dilakukan. Pengangkatan guru honorer sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) bisa menjadi langkah awal. Saat ini, pemerintah sudah mulai membuka peluang untuk PPPK, tetapi kuota dan proses seleksinya masih terbatas. Selain itu, peningkatan kesejahteraan guru harus menjadi prioritas utama dalam anggaran pendidikan, agar mereka tidak lagi perlu bekerja sampingan hanya untuk bertahan hidup.

Tidak cukup dengan itu, perlu ada perubahan dalam pandangan masyarakat dan pemerintah terhadap profesi guru. Mereka adalah agen perubahan sosial yang berperan besar dalam membentuk karakter generasi muda. Dalam sebuah wawancara, Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, pernah mengatakan, “Guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga inspirator dan pembimbing bagi masa depan kita.” Sayangnya, selama menjadi menteri pendidikan, kata-kata itu belum berhasil diwujudkan dalam bentuk kebijakan nyata yang bisa dirasakan para guru honorer.

Jalan panjang perubahan

Mencapai standar pendidikan seperti di Finlandia bukanlah tugas mudah dan tentu membutuhkan waktu panjang. Namun, jika reformasi pendidikan dan kesejahteraan guru benar-benar dijadikan prioritas, perubahan akan tampak dalam 10 hingga 20 tahun ke depan. Kita mungkin bisa bercermin pada pengalaman negara-negara yang telah berhasil memperbaiki kualitas pendidikan melalui reformasi besar-besaran terhadap profesi guru, seperti Singapura dan Korea Selatan.

“Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang hasilnya baru bisa dirasakan di masa depan,” ujar Harun Rasyid, dosen PAUD Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, dalam artikelnya, “Membangun Generasi Melalui Pendidikan sebagai Investasi Masa Depan”. “Jika ingin maju, kita harus siap membenahi dari akarnya, dan guru adalah akarnya.”  

Untuk mencapai itu, Indonesia harus berani mengambil langkah konkret dan berpikir jauh ke depan guna mewujudkan sistem pendidikan yang adil bagi semua guru, terutama mereka yang telah mengabdi tanpa pamrih di pelosok negeri. Guru honorer adalah sosok yang seringkali tak terlihat, namun kontribusinya sangat nyata bagi masyarakat. Pengorbanan mereka seharusnya dihargai, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Di tengah keterbatasan hidup, mereka tetap berdiri teguh di depan kelas, mengajarkan ilmu, nilai, dan harapan kepada generasi mendatang. Apakah kita rela melihat pengabdian mereka terus tersia-sia?

Sebagaimana Ki Hajar Dewantara menegaskan, “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani,” bagi para guru Indonesia, sudah sepatutnya para guru kita pun mendapat penghormatan yang sesuai dengan pengorbanan mereka. Ini saatnya kita hargai mereka, agar pengorbanan para guru honorer tidak lagi hanya menjadi kisah pilu yang menggaungkan malu. []
 

Topik

BERITA TERKAIT