Bansos di Negara Lain, Menuju Kemandirian Bukan Berdimensi Elektoral

Bagi-bagi bantuan sosial (Bansos) kembali menimbulkan pro-kontra. Bansos sering dituding salah sasaran dan kini disebut salah waktu. Ini terkait aksi Pemerintahan Joko Widodo yang membagikan Bansos jelang Pilpres sehingga tak lepas dari tudingan sebagai aksi politis bentuk dukungan kepada salah satu Capres. Bagaimana pelaksanaan Bansos di negara lain dan dimensi politiknya?

Dalam dua dekade terakhir, lebih dari 100 negara berpendapatan rendah dan menengah bahkan di beberapa negara maju telah memperkenalkan sejumlah program Bansos termasuk bantuan tunai berskala besar yang dikelola pemerintah sebagai bagian dari strategi pengentasan kemiskinan. Program Bansos salah satunya dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau lebih dikenal sebagai Conditional Cash Transfer (CCT) seringkali dijadikan program jaring pengaman sosial negara di berbagai belahan dunia.

Program bantuan tunai bersyarat ini telah berkembang dari hanya dua program, di Meksiko dan Brasil pada 1990-an, menjadi lebih dari 60 program yang mencakup jutaan orang di seluruh dunia. Dalam dekade terakhir, bantuan tunai bersyarat juga telah diperkenalkan di Amerika Serikat (AS). Program-program ini bertujuan untuk memberikan dukungan pendapatan kepada masyarakat miskin, sekaligus memberikan insentif kepada rumah tangga untuk membangun sumber daya manusia dan, pada akhirnya, menjadi mandiri. 

Mekanisme pembagian dana bantuan sosial di luar negeri jauh lebih efektif dibanding di Indonesia. Di AS ada berbagai macam bansos bagi warganya yang menawarkan berbagai manfaat. Namun pendataannya akurat dan sistem pendaftaran secara online sudah lebih canggih dan pemberian bantuan jauh lebih efisien termasuk dalam pendistribusiannya. 

Pemerintah AS menyalurkan bantuan melalui cek yang bisa dicairkan di bank atau lembaga keuangan non-bank (credit union). Verifikasi penerima bantuan dilakukan dengan canggih mengingat di AS ada social security number (SSN) semacam data tunggal kependudukan yang terhubung ke berbagai data termasuk data rekening perbankan, layanan kesehatan dan sebagainya. 

Di Indonesia sebenarnya sudah memulai dengan e-KTP. Tapi sayangnya data belum terintegrasi dengan baik sehingga mekanisme bantuan seringkali bermasalah seperti tidak sesuai sasaran kepada penerima yang seharusnya. Selain itu masih adanya upaya untuk memanipulasi data penerima untuk kepentingan tertentu.

Mesir dengan Takaful dan Karama

Di Mesir cukup unik, bantuan tunai diberikan lewat program Takaful (solidaritas) dan Karama (martabat). Mengutip sdg16.plus, Takaful diberikan untuk keluarga 

berpenghasilan rendah yang memiliki anak. Sementara Karama adalah bantuan tunai tanpa syarat kepada anak yatim piatu, orang lanjut usia, dan penyandang disabilitas yang berpenghasilan rendah.

post-cover
Joe Biden mencairkan BLT Rp20 juta per orang bagi masyarakat AS pada bulan ini. (Foto: AFP/MANDEL NGAN).

Anggaran pemerintah Mesir untuk program ini terus meningkat dari EGP 147 juta di 2014-15 (USD19 juta) menjadi EGP 19 miliar pada 2021-22 (USD1,2 miliar). UNICEF menyediakan dana awal sebesar USD 20.000 pada 2015 untuk program Takaful dan Karama. Selanjutnya Bank Dunia memberikan pinjaman kepada pemerintah untuk mempertahankan program tersebut. Jumlah ini termasuk pinjaman senilai USD400 juta pada tahun 2015, USD500 juta pada tahun 2019, dan USD500 juta pada tahun 2022.

Menurut Bank Dunia, pada Desember 2021, terdapat 2,2 juta orang yang terdaftar dalam program Takaful dan 1,3 juta dalam program Karama. 75 persen penerima manfaat langsung adalah perempuan dan anak Perempuan. Program ini meningkatkan konsumsi pangan sebesar 8,4 persen dan mengurangi malnutrisi pada anak balita 3,7 persen. Karena mencakup 14 persen penduduk Mesir, hal ini mungkin berkontribusi terhadap penurunan tingkat kemiskinan dari 32,5 persen pada 2017-2018 menjadi 27,3 persen pada 2023. Namun program ini belum mampu mengimbangi inflasi.

Bagaimanakah Efektivitasnya?

Program Bansos di banyak belahan dunia masih dipertanyakan efektivitasnya. Apakah program-program ini mengangkat penerimanya keluar dari kemiskinan dan membantu mereka menjadi mandiri? Ataukah hanya meningkatkan belanja komsumsi masyarakat? Atau jangan-jangan ditumpangi dengan kepentingan politik?

Studi empiris mengenai program-program ini di negara-negara berkembang menemukan bahwa bantuan tunai bersyarat memang mengurangi kemiskinan dan meningkatkan konsumsi, setidaknya dalam jangka pendek. Bukti kuat mengenai program bantuan tunai bersyarat menunjukkan bahwa program ini mengurangi kemiskinan yang diukur dengan jumlah warga miskin serta kesenjangan pendapatan. 

Mengutip Econofact, bukti dari Nikaragua, Kolombia, dan Meksiko menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga yang hidup di bawah garis kemiskinan masing-masing turun sebesar 5, 3, dan 1 poin persentase. Fakta dari Amerika Latin juga menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan akan menjadi 13 persen lebih tinggi jika tidak ada program ini. Konsumsi juga meningkat di Brazil, Kolombia, Honduras, Meksiko dan Nikaragua pada rumah tangga yang menerima CCT. 

“Sementara di Indonesia, program bansos terutama bantuan tunai langsung tidak menunjukkan dampak terhadap konsumsi,” ungkap Econofact. Bansos tidak membantu mengentaskan kemiskinan atau lebih jauh lagi tidak membantu individu rumah tangga miskin meningkatkan peluang mereka untuk keluar dari kemiskinan. Sering kita lihat di Indonesia bantuan langsung tunai malah dibelanjakan hal-hal lain ketimbang konsumsi seperti membeli ponsel, kuota, rokok atau belanja barang yang tidak sesuai penting.

Dimensi Politik dalam BLT di LN

Yang sering menjadi pembahasan tentang program BLT di luar negeri adalah dimensi politik dari pemberian bantuan itu. Apakah penerima program bantuan tunai memilih petahana? Sebuah penelitian dilakukan di Ekuador untuk menguji hipotesis yang menyatakan bahwa berhenti menerima tunjangan akan menghambat dukungan bagi petahana.

post-cover
Ilustrasi Bansos (Foto:Antara Foto/Yulius Satria Wijaya)

Dengan menggunakan desain diskontinuitas regresi, terungkap dampak program bantuan tunai Bono de Desarrollo Humano terhadap pemungutan suara pro petahana. Ternyata tidak ditemukan dampak signifikan dari transfer tersebut terhadap minat memilih petahana. “Faktor kontekstual yang menentukan pemungutan suara retrospektif mungkin memainkan peran penting dalam membentuk hubungan antara pemungutan suara pro-petahana dan transfer kebijakan sosial,” ungkap penelitian itu, mengutip Emerald.com.

Berbeda dengan di Brasil, program milik BLT-nya yang disebut Bolsa Família secara umum dipuji sebagai cara yang sangat efektif dan relatif efisien sebagai strategi pengentasan kemiskinan. Namun dimensi politiknya juga cukup kuat. Implikasi politik dari Bolsa Família terutama terkait dengan dampak elektoral. Bolsa Família memperkuat posisi politik dan citra para pemimpin saat itu, khususnya Presiden Luiz Inacio Lula da Silva. 

Terbukti ia terpilih kembali secara telak pada 2006 dan dengan dukungan pribadinya, sukses mengantarkan pengganti yang dipilihnya yakni Dilma Roussef. Ini tidak heran, seperti yang terjadi di Indonesia, Program Bolsa Família dianggap bahkan diumumkan kepada para pemilih sebagai hadiah pribadi dari Lula sendiri.

Tentu masyarakat menyambut baik adanya bansos guna menjaga daya beli akibat naiknya harga berbagai kebutuhan pokok. Namun ada kekhawatiran bansos ini diberikan dengan tujuan politik. Apalagi program bansos berdekatan dengan pelaksanaan Pilpres, bisa pula ditafsirkan sebagai upaya memicu mobilisasi masyarakat. 

Menyuntikkan uang tunai kepada rakyat di belahan dunia manapun mungkin mirip dengan memberikan parasetamol untuk meredakan gejala demam. Artinya bisa membantu tetapi perlu diberikan hati-hati dengan dosis yang tepat. Uang tunai bukanlah untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan karena butuh kegiatan ekonomi rakyat yang berkelanjutan apalagi untuk kepentingan politik sesaat para penguasa.

Harus diiingat bahwa masyarakat miskin memandang politik dengan sangat serius dengan harapan dapat memperbaiki nasib menjadi lebih baik. Karenanya, pemberian Bansos harus difokuskan semata untuk pengentasan kemiskinan, bukan untuk keuntungan elektoral apalagi untuk melanggengkan kekuasaan dinasti.

 

Sumber: Inilah.com