Eks Menteri Keuangan (Menkeu) serta Dirjen Pajak era Soeharto yang sekarang masuk Dewan Pembina DPP Partai Gerindra, Fuad Bawazier merasa keberatan dengan rencana penaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. Alasannya, kenaikan itu semakin memberatkan rakyat.
Gaduhnya penolakan PPN 12 persen diakui Fuad yang kini menjabat Komisaris Utama (Komut) MIND ID, menjadi perhatiannya. Berbagai analis, ekonom, pakar, akademisi, pekerja hingga buruh dan rakyat kecil, kompak meneriakkan penolakan.
Di sisi lain, penaikan PPN itu merupakan amanah dari UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Pajak (HPP). “Ya hampir semuanya tidak ada yang setuju kenaikan. Dari 11 persen menjadi 12 persen mulai Januari 2025,” kata Fuad, Jakarta, dikutip Selasa (26/11/2024).
Fuad mengatakan, suara-suara penolakan itu wajar karena situasi keuangan masyarakat saat ini, sedang tidak baik-baik saja. Di mana, daya beli beli melemah dikuatkan dengan deflasi dalam 5 bulan berturut-turut mulai Mei 2024.
Ditambah lagi fenomena makan tabungan disingkat ‘mantab’ dari kelompok menengah. Mereka terpaksa menjebol celengan dan menguras isi rekening bank hanya untuk bertahan hidup.
“Artinya mayoritas sepakat bahwa memang terjadi penurunan daya beli. Apalagi ke penduduk kelas menengah. Itu bisa dilihat dari macam-macam indikasi. Antara lain ada yang deposito atau tabungan di bank, jumlahnya menurun. Sementara kelas atas malah naik,” ujar Fuad.
Fuad meyakini, fenomena ini menjadi pertimbangan Presiden Prabowo untuk memutuskan apakah sudah tepat memberlakukan kenaikan PPN 12 persen pada 1 Januari 2025. Meski penaikan PPN 12 persen itu amanat UU HPP, Fuad menilai, bukanlah harga mati.
Selanjutnya dia menyebut pemerintahan Soeharto pernah menunda penerapan undang-undang yang mengatur implementasi PPN 10 persen pada Januari 1984. Amanat dari UU No 8 Tahun 1983 tentang PPN.
Situasi perekonomian kala itu kurang lebih sama dengan saat ini. Intinya, keuangan masyarakat tak siap untuk menerima dampak dari kebijakan tersebut.
“Tatkala itu PPN 10 persen yang seharusnya berlaku Juli 1984 ditunda setahun menjadi Januari 1985. Saya kira ini bisa saja,” kata Fuad.
Dari sisi penerimaan negara, kata Fuad, Kemenkeu mengitung akan tambahan penerimaan pajak sebesar Rp70 triliun hingga Rp100 triliun. Angkanya lumayan gede memang. Bisa digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan.
Namun, perlu diingat, kenaikan setoran pajak itu berasal dari keringat rakyat. Saat ini saja, keuangan masyarakat sudah kembang kempis menghadapi mahalnya harga barang. Jika tahun depan PPN tetap dikerek naik 12 persen, publik menilai pemerintah memang sengaja membuat kehidupan rakyatnya semakin morat-marit.
Selain itu, penaikan PPN 12 persen, belum tentu target tambahan pajak hingga Rp100 triliun bakal terwujud. Karena, saat ini, muncul gerakan menahan belanja atau frugal living untuk mengantisipasi rencana itu.
Bisa dibayangkan, industri bakal semakin babak belur karena produknya tak laku. Padahal, industri sudah ditimpa kenaikan harga bahan baku. Karena tak kuat menahan beban ini, akhirnya banyak yang memilih tutup.
Ujung-ujungnya, terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), angka kemiskinan melonjak. Dan, jangan berharap pertumbuhan ekonomi nasional yang masih bertumpu kepada konsumsi, bisa meroket hingga di atas 5 persen.
“Itu tentunya akan mendapatkan perhatian. Menjadi bahan untuk mungkin dipertimbangkan kembali. Mudah-mudahan begitu. Terjadinya deflasi berturut-turut menjadi keprihatinan,” kata Fuad.