Kotak kosong adalah fenomena yang terjadi ketika hanya ada satu pasangan calon (paslon) yang berkontestasi dalam pemilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada). Fenomena ini mulai dikenal di Indonesia sejak pilkada 2015, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang mengharuskan ada lebih dari satu paslon dalam pilkada. MK menilai bahwa keberadaan norma tersebut berpotensi mengancam kedaulatan rakyat dan hak mereka untuk memilih, serta dapat menyebabkan kegagalan dalam penyelenggaraan pilkada. Sejak saat itu, pilkada tetap dapat dilakukan meskipun hanya terdapat satu calon tunggal yang mendaftar dalam kontestasi.
Selain itu, fenomena calon tunggal ini juga dipengaruhi oleh kelonggaran aturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, khususnya Pasal 40 yang menyatakan bahwa partai politik (parpol) atau gabungan parpol dapat mendaftarkan paslon jika memenuhi syarat ambang batas minimal 20 persen dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD. Regulasi ambang batas ini diyakini menjadi penyebab munculnya calon tunggal dalam kontestasi pilkada, karena partai politik berusaha membentuk koalisi besar yang menawarkan peluang kemenangan lebih tinggi serta efisiensi biaya politik.
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 14 Tahun 2015, kolom tidak setuju dicantumkan sebagai alternatif pilihan apabila masyarakat merasa suaranya tidak terwakili oleh paslon tunggal. Revisi lebih lanjut dilakukan melalui Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2018, yang mencantumkan kolom kosong sebagai alternatif pilihan jika masyarakat merasa tidak terwakili. Ini dilakukan berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang mengharuskan kolom kosong tercantum jika hanya ada satu paslon dalam pilkada.
Namun, kondisi ini seringkali dianggap menguntungkan oleh paslon tunggal, karena tidak adanya lawan dianggap membuka peluang kemenangan yang lebih besar. Tapi kenyataannya, data hasil perhitungan cepat menunjukkan fenomena sebaliknya. Di Kota Pangkalpinang, misalnya, paslon tunggal kalah telak dari kotak kosong. Kotak kosong memperoleh sekitar 48.528 suara dengan persentase 57,98 persen, sementara paslon petahana hanya meraih sekitar 35.177 suara dengan persentase 41 persen. Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Bangka, di mana kotak kosong mendapatkan sekitar 67.546 suara (57,25 persen), sementara paslon tunggal memperoleh sekitar 50.443 suara (42,75 persen).
Dilema Kemenangan Kotak Kosong
Berdasarkan Pasal 54D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, jika dalam kontestasi pilkada kotak kosong yang menang, maka pemilihan harus diulang dalam waktu satu tahun atau sesuai dengan jadwal yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pada periode kekosongan kepala daerah, jabatan tersebut akan dipimpin oleh penjabat sementara hingga pemilihan berikutnya dilaksanakan. Hal ini mengindikasikan bahwa pilkada harus dimulai dari awal, dengan semua tahapan yang harus dilalui kembali, seperti penetapan calon, kampanye, masa tenang, dan lainnya. Tentu saja, ini akan membutuhkan anggaran ekstra yang berpotensi menyebabkan kerugian keuangan negara.
Anggaran yang digunakan untuk pemilihan ulang seharusnya bisa digunakan untuk proyek strategis lain yang lebih bermanfaat bagi kepentingan rakyat. Seperti yang disampaikan oleh pakar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, pemungutan suara ulang bisa merusak kredibilitas pemilu dan berdampak serius terhadap kerugian keuangan negara.
Berdasarkan data KPU, jumlah anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam satu Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada Pemilu 2024 adalah tujuh orang, terdiri dari seorang ketua dan enam anggota. Gaji ketua KPPS sekitar Rp1,2 juta, sedangkan anggota KPPS sekitar Rp1,1 juta, artinya anggaran yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pemilihan di setiap TPS sekurangnya mencapai Rp7,8 juta. Itu belum termasuk biaya pembuatan TPS, gaji dua petugas keamanan, dan konsumsi.
Kemenangan Kotak Kosong dan Kerugian Sosial
Kemenangan kotak kosong seringkali dianggap sebagai bentuk perlawanan kolektif rakyat terhadap hegemoni oligarki di daerah. Beberapa relawan kotak kosong bahkan merayakan kemenangan ini dengan gembira. Namun, perlu diketahui bahwa di sisi lain, kemenangan kotak kosong memaksa negara untuk mengeluarkan anggaran ekstra untuk pemilihan ulang. Selain kerugian finansial, fenomena ini juga berpotensi menyebabkan kerugian sosial, seperti memicu gesekan dan ketegangan yang membuat kontestasi pilkada menjadi panas di daerah-daerah. Di Bangka Belitung, misalnya, beberapa media lokal melaporkan teror yang dilakukan oleh orang tidak dikenal (OTK) terhadap rumah aspirasi kotak kosong di Kota Pangkalpinang.
Saatnya Menghapus Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah
Salah satu penyebab munculnya calon tunggal adalah regulasi ambang batas dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yang mengharuskan partai politik mengumpulkan minimal 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah untuk dapat mendaftarkan paslon. Hal ini menyebabkan parpol lebih memilih untuk membentuk koalisi besar agar memiliki peluang kemenangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, sepatutnya ambang batas pencalonan ini dihapuskan.
Meskipun MK melalui putusan No.60/PUU-XXII/2024 telah mengurangi ambang batas pencalonan, membuka peluang bagi partai politik tanpa kursi di DPRD untuk mengusung calon, ketentuan ambang batas tetap menyebabkan parpol memilih untuk membentuk koalisi besar. Ketentuan ambang batas sejatinya bertentangan dengan prinsip dasar negara hukum yang berpegang pada keadilan dan perlakuan setara. Ambang batas ini dapat merusak prinsip sistem pemilu proporsional yang dianut Indonesia, sehingga mengurangi representasi suara rakyat.
Pada Pemilu 2004, sebanyak 5,2 juta suara terbuang, pada Pemilu 2009 tercatat 19 juta suara terbuang, dan pada Pemilu 2014 sekitar 2,2 juta suara terbuang. Bahkan pada Pemilu 2019, diperkirakan ada 13 juta suara terbuang akibat penerapan ambang batas. Menurut Gallagher, tingginya ambang batas pemilihan berkorelasi positif dengan disproporsionalitas hasil pemilu. Oleh karena itu, sudah saatnya ambang batas dihapuskan demi memastikan sistem demokrasi yang lebih adil dan representatif.
Fenomena kemenangan kotak kosong di beberapa daerah, seperti Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka, yang mengharuskan pilkada dilakukan ulang, menunjukkan kerugian keuangan negara dan dampak sosial yang besar. Oleh karena itu, sudah seharusnya ambang batas pencalonan kepala daerah dihapuskan dalam pemilihan berikutnya.