Merunut Akar Masalah Pendidikan di Indonesia


Pendidikan adalah aspek yang sangat penting untuk memajukan sebuah negara, bahkan mengakselerasinya. Negara-negara yang berhasil membangun pendidikan terbukti mampu mengejar ketertinggalan dan menunjukkan perubahan signifikan yang membawa kemajuan. Sebab, pendidikan adalah proses untuk mengaktifkan nalar, mengembangkan pengetahuan dan wawasan, serta membangun keterampilan hidup seseorang. Melalui pendidikan, seseorang bisa mendapatkan sesuatu yang baru, baik berupa teori maupun praktik, yang dapat menjadi modal penting dalam menjalani kehidupan yang objektif atau saintifik.

Namun, sebuah proses pendidikan yang tampaknya serupa, pada kenyataannya tidak selalu menghasilkan hasil yang sama. Bahkan dalam satu kelas saja, meskipun materi yang diajarkan sama dan guru yang mengajar juga sama, tingkat pemahaman siswa bisa sangat bervariasi. Hal ini bukan hanya karena setiap siswa memiliki kecerdasan yang berbeda, seperti yang dijelaskan oleh Howard Gardner, tetapi secara faktual, ada siswa yang memiliki keterbatasan. Ini mirip dengan fenomena di sebuah kampung di Jawa Timur yang dikenal dengan sebutan kampung idiot. Ungkapan “tidak ada anak bodoh, yang ada adalah anak dengan kecerdasan yang berbeda” lebih merupakan motivasi agar para pendidik lebih sabar dalam mengeksplorasi bakat dan minat siswa di negara-negara dengan tingkat kesejahteraan yang cukup, seperti negara-negara Eropa. Namun, apakah di sana tidak ada anak yang tergolong idiot? Tentu saja ada, meskipun jumlahnya sangat sedikit.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Masalah pendidikan di Indonesia sangat kompleks, karena tidak hanya berkaitan dengan elemen-elemen pendidikan, melainkan juga melibatkan aspek-aspek lain yang sering dianggap terpisah dari proses pendidikan itu sendiri. Elemen utama pendidikan adalah peserta didik. Masalah yang dihadapi Indonesia adalah mayoritas peserta didik yang memiliki kualitas rendah. Hal ini terkonfirmasi oleh berbagai penelitian ilmiah yang menyajikan data yang memprihatinkan. Pertama, IQ rata-rata orang Indonesia adalah 78,49. Kedua, Indonesia berada di peringkat 69 dalam pemeringkatan PISA (Program for International Student Assessment), yang menempatkannya pada posisi 12 dari bawah. Fakta ini seharusnya menjadi peringatan serius bagi kita semua. Jika tidak ada kebijakan politik yang visioner dan konkret, ketertinggalan ini akan semakin parah. Ketimpangan dalam pemeringkatan PISA ini akan semakin lebar, karena pada tahun 2025, kemampuan peserta didik dalam menggunakan perangkat digital untuk belajar mandiri juga akan diukur. Anak-anak dengan IQ rendah tentu saja akan kesulitan untuk melakukannya.

Lalu, apa penyebabnya?

Jika ditelusuri secara mendalam dan komprehensif, bahkan dengan menggunakan “pandangan helikopter”, akan tampak bahwa penyebab utamanya adalah faktor gizi dan kesehatan. Jika seorang anak telah mengalami kekurangan gizi, terutama sejak masa kehamilan, maka otaknya bisa mengalami gangguan yang berpengaruh pada kapasitas kognitifnya. Inilah yang kemudian mempengaruhi kemampuan bernalar, sehingga kemampuan belajarnya menjadi rendah (slow learner). Kesehatan yang buruk juga dapat mempengaruhi kemampuan bernalar, meskipun tidak separah akibat gizi buruk. Anak-anak yang pernah menderita sakit parah yang tidak ditangani dengan baik bisa kehilangan sebagian dari kecerdasannya. Misalnya, anak yang pernah mengalami demam tinggi hingga kejang umumnya akan mengalami penurunan kecerdasan yang signifikan, bahkan berisiko mengganggu perkembangan motoriknya.

Oleh karena itu, masalah pendidikan sesungguhnya tidak hanya disebabkan oleh elemen-elemen pendidikan saja. Untuk menyelesaikan masalah ini, langkah-langkah lintas sektoral harus diterapkan. Dalam konteks pemerintahan, kementerian pendidikan harus bekerja sama secara erat dengan kementerian pangan dan kementerian kesehatan.

Masalah Guru

Selain masalah kualitas peserta didik, faktor yang sangat penting dalam kualitas pendidikan adalah kualitas guru. Tidak cukup hanya mengandalkan kuantitas, tetapi kualitas guru harus menjadi prioritas utama. Bahkan, jika harus memilih antara kualitas dan kuantitas, yang harus diutamakan adalah kualitasnya.

Saat ini, Indonesia menghadapi masalah dalam kedua aspek tersebut, baik dalam kualitas maupun kuantitas. Meskipun jumlah guru terus meningkat, rasio guru terhadap siswa di Indonesia masih jauh dari ideal. Finlandia, yang dianggap sebagai model pendidikan terbaik, memiliki rasio 1:11. Sementara di Indonesia, rasio ini masih sangat tinggi. Namun, yang lebih diabaikan hingga kini adalah kualitas guru. Di Indonesia, guru sering kali direkrut tanpa mempertimbangkan kualitasnya, sehingga yang menjadi guru bukanlah orang-orang yang memiliki dedikasi sebagai pendidik. Banyak di antara mereka yang berasal dari perguruan tinggi dengan kualitas rendah, bahkan sebagian adalah mereka yang gagal bersaing di bidang lain dan memilih untuk menjadi guru sebagai alternatif.

Jika hal ini terus dibiarkan, maka masa depan pendidikan Indonesia tidak akan pernah mengalami perbaikan, meskipun menteri pendidikan berganti-ganti dan kurikulum terus diubah. Masalah utama sesungguhnya bukan terletak pada kurikulum, melainkan pada kualitas guru.

Guru yang berkualitas mampu memahami karakteristik siswa dan menciptakan pembelajaran yang sesuai dengan kapasitas mereka. Dengan pendekatan yang tepat, guru dapat mengelola proses pendidikan secara efektif, tidak hanya dengan mengajarkan materi, tetapi juga dengan membangun sistem mentoring. Dalam banyak kasus, mentor sebaya terbukti lebih efektif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Di era digital saat ini, guru yang memiliki pemahaman tentang peta jalan belajar dapat memanfaatkan teknologi untuk membantu siswa yang tertinggal, dengan modifikasi tertentu agar meskipun lambat, mereka tetap bisa berkembang.

Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto tampaknya lebih serius dalam menyelesaikan masalah pendidikan dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Visi Prabowo yang komprehensif telah melahirkan program-program kerja yang tidak hanya berdampak pada kementerian pendidikan, tetapi juga kementerian pangan dan kesehatan. Namun, karena perbaikan kualitas sumber daya manusia harus dimulai dari hulu, hasilnya tidak akan terlihat dalam waktu singkat, tetapi membutuhkan waktu satu atau dua generasi. Oleh karena itu, diperlukan pemerintahan masa depan yang dapat melanjutkan visi pemerintah yang sekarang untuk meningkatkan kualitas SDM, agar Indonesia dapat melahirkan generasi emas, meskipun tahun 2045 mungkin terlalu cepat. Tahun 2065 masih mungkin tercapai, asalkan prasyaratnya dipenuhi dengan serius.

Meningkatkan gaji guru adalah kebijakan yang baik. Namun, meningkatkan jumlah guru yang berkualitas juga merupakan kebutuhan yang mendesak.

Wallahu a’lam bi al-shawab.