Pereira sering hadir di masjid dan ikut serta dalam kegiatan sosial. Ia juga terkenal karena kebaikannya kepada para tetangganya yang mayoritas Kristen. Pada perayaan Natal, misalnya, ia membagikan berbagai kebutuhan pokok dalam jumlah besar. Beberapa kontainer penuh dengan makanan dan perlengkapan Natal ia distribusikan kepada komunitasnya. “Ini adalah bentuk rasa syukur saya kepada Allah dan kepada komunitas yang selalu mendukung saya,” ujar Pereira dalam sebuah wawancara.
Ibarat nubuwwah, prediksi para pengamat bela diri campuran (MMA) itu menjadi kenyataan. Pada 12 November 2022, Israel Adesanya, sang penguasa kelas menengah UFC, terkapar, bengong tak berdaya di sudut Oktagon. Kepongahan, yang sering menjadi ciri khas, bahkan ikon dirinya, luluh tak bersisa setelah sebuah hook kiri Alex Pereira membuatnya keok. Itu terjadi di ronde terakhir, ronde kelima UFC 281. Kepalan batu sang petarung Brasil mengakhiri era dominasi Adesanya, merebut takhta yang selama ini dikangkangi Israel.
“Pereira punya gaya bertarung unik yang sempurna untuk melawan Adesanya,” kata Joe Rogan, komentator UFC sekaligus analis MMA terkemuka. “Sejak awal, saya yakin dia bisa menghancurkan Adesanya.” Namun bukan ucapan Rogan itu yang ibarat “nubuwwah”, melainkan prediksi mayoritas pengamat MMA dunia. Bagaimana bisa mayoritas publik MMA justru menjagokan Pereira, “green horn” alias “wajah baru” di UFC itu, bukan Israel Adesanya yang terbukti mampu mempertahankan sabuk juara sekian lama?
Jalan kelam Alex Pereira
Kisah Alex Pereira dimulai tak hanya jauh dari gemerlap Oktagon, melainkan dekil dan kumuh. Lahir di lingkungan keras Sao Bernardo do Campo, wilayah industri Brasil, Pereira tumbuh di jalanan yang penuh kekerasan. Hidupnya di masa muda diwarnai dengan pergulatan untuk bertahan hidup. “Saat itu saya tidak tahu apakah akan bertahan sampai usia 20 tahun,” kata Pereira dalam sebuah wawancara, mengenang. Alkohol dan kehidupan jalanan menjadi pelarian, menjauhkan dirinya dari harapan.
Namun, jalan hidup Pereira berubah saat ia mengenal Muay Thai–bela diri kickboxing–di usia 21 tahun. Seorang teman mengajaknya ke gym lokal, dan di sanalah Pereira merasakan daya tarik pertarungan. “Itu seperti menemukan tujuan hidup,” kata Pereira. Dalam waktu singkat, ia memutuskan untuk menekuni seni bela diri ini secara serius, mengubahnya dari anak jalanan menjadi atlet profesional.
Salah satu momen penting dalam perjalanannya adalah saat ia memutuskan berhenti dari kebiasaan buruknya, termasuk minum alkohol. Pereira menyadari bahwa jika ingin menjadi seorang atlet sejati, ia harus mengubah gaya hidupnya secara total. Dedikasinya yang luar biasa itulah yang mengantarkannya menjadi salah satu petarung kickboxing terbaik di dunia.
Sebelum memasuki UFC, Pereira lebih dikenal di dunia kickboxing. Berlatih di bawah bimbingan pelatih terkenal Marcelo Lópes, ia membangun reputasinya sebagai petarung dengan pukulan mematikan. Julukannya, “Poatan” yang berarti “tangan batu” dalam bahasa asli suku Kaingang, merujuk kekuatan pukulannya yang fenomenal. Pereira mencatatkan kemenangan demi kemenangan, termasuk dua kali mengalahkan Israel Adesanya di ring kickboxing.
Sebagai kickboxer, Pereira mencatatkan rekor impresif: 33 kemenangan, dengan 21 di antaranya melalui KO. Ini menjadi bukti nyata akan kekuatannya yang luar biasa. Salah satu pertarungan paling legendaris adalah saat ia mengalahkan Simon Marcus, mantan juara dunia Glory, dengan KO yang luar biasa di ronde kedua. Kemenangan itu memantapkan namanya sebagai salah satu kickboxer terbaik di dunia.
Pada 2016, Pereira memutuskan untuk mencoba peruntungannya di MMA. Transisinya ke seni bela diri campuran tidaklah mudah. Namun, dengan tekad baja, ia mulai meraih kemenangan dan menarik perhatian UFC. Pada 2021, ia resmi bergabung dengan organisasi MMA terbesar di dunia itu.
Adesanya, Rivalitas Abadi
Rivalitas Pereira dan Adesanya dimulai di arena kickboxing. Pada 2016, Pereira mengalahkan Adesanya lewat keputusan juri di Glory of Heroes 1. Setahun kemudian, ia kembali menundukkan Adesanya dengan KO brutal di Glory of Heroes 7. Kemenangan ini menjadi salah satu momen paling dikenang dalam karier Pereira.
Ketika Pereira bergabung dengan UFC, banyak yang mengantisipasi pertemuan ketiga mereka. Momen itu akhirnya tiba di UFC 281. Adesanya, yang telah lama menjadi juara kelas menengah UFC, tampak percaya diri. Namun, Pereira menunjukkan bahwa dirinya adalah petarung sejati. Dengan pukulan hook kiri khasnya, Pereira menjatuhkan Adesanya di ronde terakhir, merebut gelar juara dunia kelas menengah UFC.
Namun, rivalitas ini tidak berakhir di sana. Pada April 2023, dalam UFC 287, Israel Adesanya berhasil membalas kekalahannya. Dalam pertarungan tersebut, Adesanya menunjukkan performa terbaiknya, mengalahkan Pereira melalui KO di ronde kedua. Adesanya kembali merebut sabuk juara kelas menengah, mengembalikan dominasi singkatnya.
Per 5 Desember 2024, gelar juara kelas menengah UFC dipegang Dricus du Plessis. Petarung asal Afrika Selatan itu merebut gelar setelah mengalahkan Israel Adesanya pada 17 Agustus 2024 di UFC 305, yang berlangsung di RAC Arena, Perth, Australia. Sebelumnya, pada 10 September 2023, Sean Strickland menjadi juara kelas menengah UFC setelah mengalahkan Israel Adesanya di UFC 293. Namun, pada 21 Januari 2024, Dricus du Plessis berhasil mengalahkan Sean Strickland di UFC 297, merebut gelar juara kelas menengah UFC.
Akan tetapi, cerita Pereira tidak berhenti di situ. Ia sempat kembali meraih gelar juara kelas menangah. Setelah itu, ia memutuskan untuk naik ke kelas berat ringan UFC. Di divisi ini, Pereira kembali membuktikan kehebatannya dengan mengalahkan Jan Blachowicz pada UFC 291 pada Juli 2023. Kemenangan ini menjadikannya salah satu petarung paling berbahaya di UFC dan membuka jalan baginya untuk merebut sabuk juara di divisi baru ini.
Menemukan Cahaya Islam
Perjalanan hidup Pereira tidak hanya tentang pertarungan. Di tengah perjalanan kariernya, ia menemukan Islam. “Islam memberi saya kedamaian yang tidak pernah saya miliki sebelumnya,” ungkapnya. Pereira bersyahadat di Brasil setelah mengenal Islam melalui seorang teman sesama petarung. Sejak menjadi Muslim, Pereira dikenal sebagai pribadi yang lebih tenang dan religius.
Pereira juga aktif dalam komunitas Muslim di Brasil. Ia sering hadir di masjid dan ikut serta dalam kegiatan sosial. Selain itu, Pereira terkenal karena kebaikannya kepada para tetangganya yang mayoritas Kristen. Pada perayaan Natal, misalnya, ia membagikan berbagai kebutuhan pokok dalam jumlah besar. Beberapa kontainer penuh dengan makanan dan perlengkapan Natal ia distribusikan kepada komunitasnya. “Ini adalah bentuk rasa syukur saya kepada Allah dan kepada komunitas yang selalu mendukung saya,” ujar Pereira dalam sebuah wawancara lokal.
Para tetangga memuji sifat rendah hati Pereira. “Dia adalah inspirasi bagi kami semua,” ujar seorang tetangga yang telah mengenalnya sejak kecil. “Meskipun sukses, dia tetap peduli pada orang-orang di sekitarnya.”
Di luar Oktagon, Pereira adalah sosok yang penuh warna. Ia menikmati waktu bersama keluarganya dan sering terlihat melakukan aktivitas outdoor seperti memancing dan hiking. Kekayaannya, yang sebagian besar berasal dari kariernya di UFC, ia gunakan untuk membantu komunitasnya. “Saya tidak pernah melupakan dari mana saya berasal,” katanya.
Sebagai petarung di kelas berat ringan UFC, Pereira kini menjadi salah satu nama besar yang diperhitungkan. Kemenangan atas Jan Blachowicz telah membuatnya semakin dekat dengan peluang merebut sabuk juara kelas berat ringan. Lawan-lawan potensial seperti Jiri Prochazka dan Magomed Ankalaev kini berada dalam radar perebutan sabuk juara.
Selain itu, Pereira juga dikenal sebagai figur yang sangat mendukung pendidikan. Ia telah mendanai beberapa program pendidikan untuk anak-anak di komunitasnya, memberikan beasiswa kepada mereka yang kurang mampu. “Saya ingin anak-anak ini memiliki kesempatan yang lebih baik dari yang saya miliki saat seusia mereka,” kata Pereira.
Warisan Alex Pereira
Kisah Alex Pereira adalah tentang kebangkitan dari kegelapan menuju cahaya. Dari kehidupan jalanan yang penuh kekerasan hingga menjadi juara dunia, perjalanan hidupnya adalah inspirasi bagi banyak orang. Dengan kemampuannya yang luar biasa dan keyakinannya yang kuat, Pereira telah membuktikan bahwa masa lalu tidak menentukan masa depan.
Bagi penggemar MMA, kemenangan Pereira atas Adesanya bukan hanya tentang takhta yang berpindah tangan. Itu adalah pernyataan bahwa setiap petarung, tidak peduli seberapa kecil peluangnya, memiliki kesempatan untuk mencapai puncak. Alex Pereira, si tangan batu, adalah bukti nyata bahwa kerja keras, tekad, dan keyakinan bisa mengubah segalanya.
Dengan terus melanjutkan perjalanannya sebagai seorang Muslim, atlet, dan anggota komunitas, Pereira telah menunjukkan bahwa kesuksesan sejati adalah tentang memberikan dampak positif bagi orang lain. [dsy]