Pemerintahan Prabowo mematok Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen mulai 1 Januari 2025. Tapi hanya menyasar barang mewah. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dituding kurang kreatif.
Analis dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menyebut, saat ini, kondisi APBN sudah sangat berat. Kondisinya semakin runyam karena target pajak sering meleset.
“Semua akibat salah membaca situasi baik nasional maupun global yang menjadi basis dalam perumusan APBN,” papar Salamuddin, Jakarta, Jumat (6/12/2024).
Kesalahan dalam membaca situasi ekonomi di dalam negeri, Salamuddin bilang, berdampak kepada pertumbuhan ekonomi, sehingga tidak dapat menghubungkan antara target pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan fiskal.
Dia pun mengkritisi kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berada di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Menaikkan PPN 12 persen ini, merupakan solusi yang paling mudah untuk mengerek setoran pajak. Padahal, masalah substansial di sektor pajak bukan itu.
“Menaikkan penerimaan APBN lewat PPN 12 persen, tidak perlu berfikir panjang, studi atau analisis yang komprehensif,” ungkapnya.
Banyak masalah di Kemenkeu. Mulai kekacauan data perpajakan di Kemenkeu akibat program sebelumnya, yakni pengampunan pajak atau tax amnesty; dugaan pencucian uang di Kemenkeu yang tidak terselesaikan; alokasi dana pandemic COVID-19 yang tidak transparan dan terbuka. Serta digitalisasi perpajakan yang tidak dijalankan.
Dia bilang, penerimaan negara termasuk dari utang tidak akan pencukupi target pengeluaran pemerintah, terutama pengeluaran subsidi dan pembayaran utang yang angkanya di atas Rp1.000 triliun.
Suka atau tidak, kata Salamuddin, aparat DJP gagal mengurus pemungutan pajak. Dibuktikan dengan anjloknya kemampuan meningkatkan tax rasio.
Menurut Bank Dunia, ada dua masalah utama yang menggandoli tax ratio (rasio pajak), tetap kontet dalam beberapa tahun ini. Angkanya hanya bergerak di level 9-10 persen. Padahal, idealnya berada di level 15 persen.
“Dua hal yang disebutkan Bank Dunia adalah rendahnya efisiensi dalam pemungutan pajak, dan rendahnya kepatuhan dalam pembayaran pajak,” ungkapnya.
Selain jebloknya setoran pajak, menurut Salamuddin, Bank Dunia menyebut pemerintah Indonesia gagal mengoleksi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sumber daya alam (SDA). “Bank Dunia menyebut PNBP SDA mengalami koreksi yang terdalam di beberapa tahun terakhir,” ungkapnya.
Pandangan senada disampaikan mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Andrinof Chaniago.
Pada 2021-2023, kata Andrinof, perekonomian Indonesia tertolong windfall profit dari batu bara yang angkanya cukup besar. Tapi sayang, kenaikan harga batu bara di pasaran dunia kala itu, hanya dinikmati para pemilik tambang.
Seharusnya, pemerintah menetapkan pajak windfall profit saat itu. “Enggak dikuasai negara dan digunakan segelintir pihak. Itu yang melanggar keadilan. Seharusnya pemerintah mendapatkan manfaat dari kondisi itu,” ungkapnya.
Asal tahu saja, pada 2021-2023, harga batu bara melonjak tinggi hingga US$420 dolar per metrik ton (mt). Saat itu, pengusaha tambang batu bara pesta pora. Cuan yang mereka nikmati bisa mencapai Rp1 triliun-Rp2,7 triliun per individu.
Saat itu, kata Andrinof, banyak pemilik konsesi tambang batu bara tidak perlu menambang. Tapi cukup memberikan kontrak turunan untuk pengerukan atau logistik tambang ke pengusaha lainnya.
“Ya itu dapatnya dengan enak, enggak perlu berkeringat atau keluar modal meski cuma punya izin. Tinggal disub-kan saja ke pengusaha lainnya,” ungkapnya.
Mirisnya, lanjut Andrinof, pemerintah tidak menerima bagi hasil yang wajar, baik dalam bentuk PNBP, PPh badan hingga bea keluar.
Padahal, menurut perhitungannya, nilai total produksi batu bara pada 2021-2023 mencapai Rp3.000 triliun. Dari nilai tersebut, negara hanya mendapatkan ratusan triliun. Padahal, di dalamnya ada hak negara dan hak rakyat Indonesia.
“Jadi kalau total produksi, selama dua tahun itu Rp3.000 triliun lebih. Anggaplah Rp3.000 triliun, itu hampir setara APBN setahun. Negara hanya dapat Rp144 triliun. Pada 2022, kalau tak salah hanya Rp150 triliun. Kecil sekali. Padahal itu harta rakyat, harta negara,” tegasnya.