Dominasi oligarki non-pribumi dalam perekonomian nasional telah berlangsung terlalu lama dan menghasilkan ketimpangan. Di bawah pemerintahan Prabowo, ada harapan kondisi ini akan berubah. Dukungan terhadap pengusaha pribumi bukan hanya soal keberpihakan, tetapi juga strategi untuk menciptakan ekonomi yang lebih inklusif dan merata.
Oleh: Wiguna Taher
Ada yang tak biasa tatkala Presiden Prabowo Subianto menerima kunjungan kedua dari delegasi Japan-Indonesia Association (Japinda) dan The Jakarta Japan Club (JJC) di Istana Negara, Jakarta, Jumat (6/12/2024). Dalam kesempatan itu, Prabowo mengajak tiga pengusaha pribumi, yaitu Andi Syamsudin Arsyad alias Haji Isam, Anindya Novyan Bakrie, dan Arsjad Rasjid. Mereka hadir sebagai simbol keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha asli Indonesia.
Secara khusus Prabowo memperkenalkan H Isam kepada delegasi Jepang. “Bapak Andi Syamsudin Arsyad, seorang pengusaha terkemuka dari Kalimantan,” kata Prabowo. Langkah ini menegaskan komitmennya dalam mendukung pengusaha pribumi dalam kancah perekonomian nasional dan maupun global.
Di depan sekitar 50 perwakilan delegasi Jepang, Prabowo menekankan pentingnya kemitraan dengan Jepang sebagai sahabat lama Indonesia. Ia mendorong investasi Jepang di sektor strategis seperti irigasi, energi, dan infrastruktur, termasuk proyek besar seperti Great Giant Sea Wall. Namun, yang menarik, ia memastikan keterlibatan pengusaha pribumi dalam semua kerja sama ini, sebuah langkah yang belum pernah dilakukan oleh presiden-presiden sebelumnya.
Kebangkitan Cita-Cita Sumitro
Apa yang dilakukan Prabowo ini sejatinya merupakan kebangkitan dari cita-cita Sumitro Djojohadikusumo, ayahnya, yang pernah menggagas Program Benteng pada era 1950-an. Sebagai Menteri Perdagangan di Kabinet Natsir, Sumitro mencanangkan kebijakan ekonomi yang berpihak pada pengusaha pribumi.
Tujuan utama Program Benteng adalah melindungi dan memberdayakan pengusaha pribumi dengan memberikan lisensi impor dan akses kredit. Namun, program ini gagal karena lemahnya pengawasan, sehingga pengusaha non-pribumi menggunakan celah untuk mendominasi ekonomi. Hal ini melahirkan istilah “aktentas,” di mana lisensi impor hanya dijual di atas meja kepada pelaku usaha besar yang sudah mapan.
Kini, di bawah kepemimpinan Prabowo, visi Sumitro dihidupkan kembali. Kebijakan ini dilandasi keyakinan bahwa tanpa keberpihakan yang tegas, ketimpangan ekonomi akan terus meningkat, merugikan mayoritas rakyat Indonesia.
Data menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi di Indonesia semakin tajam. Rasio Gini, indikator yang mengukur ketimpangan, tercatat berada pada angka 0,381 pada 2024. Angka ini mencerminkan distribusi kekayaan yang tidak merata, dengan 10% orang terkaya menguasai lebih dari 70% aset nasional. Bahkan, kekayaan 10 orang terkaya lebih besar daripada kekayaan 114 juta rakyat termiskin.
Coba tengok daftar 10 orang terkaya di Indonesia. Dari sepuluh nama, hanya terselip satu nama pengusaha pribumi. Chairul Tanjung, pemilik CT Corp. Selebihnya didominasi pengusaha asal Tionghoa dan India.
Kemiskinan pun masih menjadi tantangan besar. Data terbaru menunjukkan bahwa 9,4% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, setara dengan lebih dari 26 juta jiwa. Distribusi aset yang tidak merata menjadi penyebab utama sulitnya mengentaskan kemiskinan. Sebagian besar sumber daya alam dan sektor strategis dikuasai oleh oligarki non-pribumi, yang memperburuk ketimpangan.
Menurut Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo, ketimpangan ini adalah salah satu alasan mengapa Presiden Prabowo begitu bersemangat menjalankan gagasan ekonomi ayah mereka. “Pidato pertama Prabowo di Gedung MPR menekankan penghapusan kelaparan. Intinya adalah pengentasan kemiskinan,” ujar Hashim. Hashim juga menambahkan, “Prabowo ingin melanjutkan cita-cita ayah kami melalui modernisasi Program Benteng dengan pengawasan yang lebih baik.”
Kebijakan Prabowo untuk membangkitkan semangat Program Benteng dilakukan melalui berbagai langkah konkret. Salah satunya adalah memberikan akses yang lebih besar kepada pengusaha pribumi dalam proyek-proyek strategis nasional. Dalam pertemuan dengan delegasi Jepang, Prabowo memastikan keterlibatan Haji Isam, Anindya Bakrie, dan Arsjad Rasjid sebagai representasi pengusaha pribumi.
Selain itu, pemerintah akan terus mengimplementasikan kebijakan hilirisasi sumber daya alam. Hal ini sejalan dengan visi Sumitro yang menentang ekspor bahan mentah karena nilai tambah yang rendah. Sebagai gantinya, bahan mentah akan diolah di dalam negeri, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.
Investasi dalam sektor pendidikan dan kesehatan juga menjadi prioritas. Pemerintah Prabowo telah mencanangkan program untuk mengentaskan kemiskinan dengan memastikan akses pendidikan dan layanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat miskin. Hal ini diharapkan dapat memutus rantai kemiskinan antar generasi.
Salah satu warisan pemikiran Sumitro adalah pentingnya industrialisasi untuk memperkuat ekonomi nasional. Ia percaya bahwa pembangunan yang berfokus pada industri dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan nilai tambah produk, dan mengurangi ketergantungan pada impor. Namun, ia juga menekankan pentingnya pembangunan yang seimbang, di mana surplus hasil pertanian menjadi dasar industrialisasi.
Prabowo tampaknya mengikuti jejak ini dengan menggandeng pengusaha pribumi untuk berkontribusi pada industrialisasi berbasis hilirisasi. Selain itu, ia mendorong pembangunan di luar Jawa untuk mengurangi ketimpangan antara pusat dan daerah. Dalam beberapa kesempatan, Prabowo menegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh hanya berpusat di Jakarta, tetapi harus merata ke seluruh pelosok negeri.
Saatnya Pengusaha Pribumi Berkiprah
Dominasi oligarki non-pribumi dalam perekonomian nasional telah berlangsung terlalu lama, menghambat kesempatan pengusaha pribumi untuk berkembang. Di bawah kepemimpinan Prabowo, ada harapan bahwa kondisi ini akan berubah. Dukungan terhadap pengusaha pribumi bukan hanya soal keberpihakan, tetapi juga strategi untuk menciptakan ekonomi yang lebih inklusif dan merata.
Keberpihakan terhadap pengusaha pribumi bukan berarti mengabaikan investor asing. Sebaliknya, Prabowo menekankan pentingnya kolaborasi, di mana pengusaha pribumi dilibatkan secara aktif dalam proyek-proyek besar yang melibatkan investasi asing. Dengan begitu, kekayaan yang dihasilkan dari sumber daya alam Indonesia dapat memberikan manfaat langsung bagi rakyat.
Seperti yang dikatakan Prabowo,” Orang kaya tetap kaya, tidak masalah, tetapi yang miskin harus kita angkat dari jurang kemiskinan.” Komitmen ini menjadi dasar kebijakan ekonomi Prabowo lima tahun ke depan. Kini saatnya pengusaha pribumi berkiprah, membangun ekonomi nasional yang lebih berdaulat dan berkeadilan.
Wiguna Taher adalah Pemimpin Redaksi Inilah.com