Ekonomi Baru Bertumpu pada Pengusaha Lokal


Hampir 80 tahun sudah Indonesia merdeka dengan berbagai pemimpin yang mempunyai gaya kepemimpinan masing-masing. Mulai dari demokrasi terpimpin era Soekarno hingga reformasi era Joko Widodo. Semuanya tercatat memiliki berbagai kebijakan mulai dari politik hingga ekonomi. Kebijakan ekonomi yang diusung pun berbeda-beda antar pemimpin. Era Soekarno sangat terkenal dengan slogan ekonomi terpusat dan nasionalisasi. Era Soeharto dengan ekonomi pembangunan melalui rencana pembangunan lima tahun (REPELITA). Era reformasi yang memberikan kebebasan bagi daerah untuk mengembangkan daerah masing-masing atau era otonomi daerah.

Era Soekarno, era awal kemerdekaan atau era orde lama, dimana Indonesia masih mencari bentuk yang ideal bagi pembangunan bangsa ke depan. Ekonomi terpusat dan nasionalisasi perusahaan menjadi strategi pemerintah untuk bisa mengendalikan ekonomi. Pemerintah saat itu sangat dekat sekali dengan paham komunis yang beraliran bahwa nasionalisme menjadi harga mati, termasuk di bidang ekonomi. Pada masa ini, pengusaha lokal mendapatkan banyak slot proyek pemerintah.

Era awal kepemimpinan Soeharto fokus kepada stabilitas ekonomi makro dengan penekanan pada inflasi. Inflasi warisan orde lama yang mencapai 650 persen, menjadi pekerjaan rumah yang utama bagi kepemimpinan Soeharto. Pada saat itu, penerapan kebijakan fiskal dan moneter dilakukan secara konservatif dan instruktif. Beberapa di antaranya adalah pembangunan sekolah dasar berdasarkan instruksi presiden (SD Inpres). Zaman Soeharto juga menjadi awal masuknya investasi asing di Indonesia.

Tahun 1967, keluar dua peraturan perundangan yaitu Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Pengusaha lokal juga didorong untuk bisa masuk ekosistem melalui sistem kemitraan ataupun program pemerintah. Banyak pengusaha lokal yang didorong masuk kepada ekosistem ekonomi nasional. Pada masa ini, banyak pelaku usaha lokal yang tergolong kecil, hingga menjadi besar di beberapa tahun kemudian. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi tumbuh signifikan hingga 7 persen. Namun demikian, pemerintahan Soeharto meninggalkan pekerjaan rumah yang buruk seperti tingkat korupsi, kesenjangan ekonomi, dan inflasi yang tinggi di masa akhir kepemimpinan.

Ketika era Soeharto runtuh, masuk ke era Reformasi. Sama seperti peralihan dari orde lama ke orde baru, pada era reformasi, pekerjaan utama masih terkait dengan stabilitas ekonomi seperti nilai tukar dan inflasi yang cukup tinggi. Era Reformasi awal dipimpin oleh tiga Presiden, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan Megawati. Pada masa ini, kebijakan ekonomi fokus pada pemulihan ekonomi dan stabilitas politik. Banyak terjadi privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, kebijakan ekonomi untuk pelaku usaha didorong cukup baik dengan pelibatan usaha lokal kecil yaitu usaha mikro, kecil, dan menengah. Fokus ini ditandai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pada zaman SBY, program kredit usaha rakyat atau KUR menjadi andalan dan dimanfaatkan betul oleh pelaku UMKM. Pengusaha lokal yang masih UMKM diberikan KUR guna pengembangan usaha hingga ekspansi ke luar negeri. Saat itu, banyak pengusaha lokal skala UMKM kesulitan mengakses layanan perbankan sehingga dibutuhkan intervensi pemerintah melalui program KUR.

Namun demikian, kepemilikan asing di beberapa sektor strategis seperti sumber daya mineral juga tidak luput dari kritik. Ketergantungan Indonesia pada investor asing di sektor strategis seperti pertambangan dan energi memicu perdebatan sengit di ruang publik. Meski investasi asing telah mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, kritik tajam muncul karena keuntungan besar dari pengelolaan sumber daya alam cenderung lebih banyak dinikmati oleh perusahaan multinasional daripada rakyat Indonesia sendiri. Sementara itu, kesenjangan antara pengusaha lokal dan asing semakin memperkeruh keadaan. Pengusaha lokal, yang sering kali terkendala modal dan teknologi, sulit bersaing dengan dominasi pemain global yang memiliki keunggulan sumber daya dan jaringan internasional.

Era Joko Widodo merupakan era berjayanya pelaku usaha asing, terutama dari China, dengan berbagai keterlibatan mereka dalam proyek strategis. Contohnya adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dimana pembangunan dilakukan melalui konsorsium dengan perusahaan asal China. Bahkan jika kita melihat fokus hilirisasi nikel oleh pemerintahan Jokowi, kita bisa melihat bagaimana China menguasai berbagai lini. Pengusaha China mendapatkan insentif fiskal, keuntungan penjualan juga kepada pengusaha China, hingga penggunaan tenaga kerja asing dari China.

Maka zaman pemerintahan Prabowo, harus ada perubahan ekstrem dalam memandang kebijakan ekonomi masa kepemimpinannya. Paradigma yang menyasar kepada perusahaan asing dari China harus diubah dengan mementingkan ekonomi lokal. Berbagai program seperti program makan siang gratis hingga infrastruktur harus mengutamakan pelaku usaha dalam negeri alih-alih memberikan kesempatan tersebut untuk asing. Meskipun pasti akan mendapatkan pertentangan dari sebagian orang yang meragukan kualitas pelaku usaha lokal, namun manfaatnya akan terasa bagi perekonomian domestik.

Jika menilik semangat Prabowo yang ingin kemandirian bangsa, maka seharusnya pemerintah saat ini fokus melakukan pembangunan dalam negeri melalui pengembangan pelaku usaha lokal. Keterlibatan asing dalam program strategis, seperti makan bergizi gratis, akan dianggap kelemahan oleh masyarakat. Program makan bergizi gratis yang notabene menjadi program andalan Prabowo harus lepas dari intervensi pihak asing. Rencana bantuan dari China dan Amerika Serikat di program makan bergizi gratis harus dievaluasi dan dihitung dampak bagi perekonomian nasional.

Selain itu, kita juga berharap program yang mementingkan pelaku usaha lokal seperti tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) bisa disempurnakan. Kebijakan TKDN memiliki implikasi yang bagus untuk industri dalam negeri walaupun memang pasti ada kekurangan. Tapi semangat melindungi produk-produk dalam negeri perlu dimunculkan guna memberdayakan pengusaha lokal. Jangan sampai program perlindungan ini lepas dan justru menimbulkan bahaya bagi industri lokal Indonesia.