Pantas saja pertumbuhan ekonomi nasional tak bisa beranjak dari level 5 persen, sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sebagai tulang punggung perekonomian kurang dukungan. Akses permodalan masih seret.
Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UKM Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eisha Maghfiruha Rachbini menyebut, gap pembiayaan UMKM berdampak kepada jebloknya pertumbuhan ekonomi nasional.
Berdasarkan kajian EY Indonesia, kebutuhan pendanaan untuk UMKM pada 2026, mencapai Rp4.300 triliun. Namun, hingga kini, pendanaan untuk UMKM hanya terakomodasi Rp1.900 triliun. “Gap pembiayaan ini terjadi karena permintaan pinjaman (kebutuhan pembiayaan) lebih besar dibandingkan sisi supply-nya,” kata Eisha di Jakarta, Kamis (12/12/2024).
Ia menyatakan, gap tersebut berkaitan dengan keterbatasan akses pembiayaan UMKM, mengingat pemberian pinjaman UMKM ditentukan oleh kapasitas, jaminan, dan profil risiko usaha yang dinilai untuk menjamin kelayakan pemberian pinjaman.
Penilaian tersebut, lanjutnya, seringkali menjadi penghambat para pelaku bisnis kecil tersebut untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan formal.
Dengan pendanaan yang terhambat dan kapasitas yang terbatas, maka para pelaku usaha akan kesulitan untuk melakukan ekspansi dan akumulasi modal. “Dampak jangka panjangnya adalah pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang tidak akan optimal sesuai dengan target,” tutur putri ekonom senior, Prof Didik J Rachbini itu.
Pada Selasa (10/12/2024), Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Helvi Yuni Moriza menyampaikan, Kementerian UMKM terus mendorong peningkatan kualitas UMKM.
Hal tersebut sejalan dengan Asta Cita ke-3 pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yakni meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, dan melanjutkan pengembangan infrastruktur.
Ia pun menyatakan pentingnya seluruh pemangku kepentingan untuk terus mendorong pembiayaan UMKM, mengingat kini kebutuhan pembiayaan yang terpenuhi baru mencapai Rp1.900 triliun.
Meskipun ia mendorong agar akses pembiayaan bagi UMKM semakin meningkat serta mudah dijangkau, Helvi tetap meminta semua pemangku kepentingan untuk senantiasa memberikan pendampingan untuk memperkuat kemampuan bisnis para pelaku usaha tersebut agar dapat memenuhi kewajiban pembayaran mereka.
“Jangan sampai perbankan mengucurkan kredit, kemudian mereka tersandera oleh non-performing loan (NPL/kredit macet) yang tinggi,” imbuhnya.