Tak Perlu Naikkan PPN, Mantan Bos Pajak Usul Pemerintah Terapkan ‘CCTV’ Penerimaan Negara


Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 mendatang menuai beragam reaksi. Banyak elemen masyarakat menolak diberlakukannya kebijakan tersebut. Bahkan, sempat mencuat petisi penolakan kenaikan tarif PPN yang dinilai akan berdampak pada ekonomi masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah.

Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Hadi Poernomo, ikut angkat bicara menanggapi kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Hadi menilai, menaikkan PPN bukan menjadi sebuah solusi untuk meningkatkan pendapat negara.

Alih-alih menaikkan tarif PPN, Hadi mengusulkan pemerintah untuk menerapkan ‘CCTV’ penerimaan negara atau Sistem Monitoring Self Assessment sebagai alternatif penerimaan negara. Sistem ini diyakini lebih efektif dalam meningkatkan penerimaan negara.

“PPN tidak wajib dinaikkan. Sumber keuangan untuk pengganti PPN, tentunya kita harus membuat yang namanya Sistem Monitoring Self Assessment yang mampu menguji SPT wajib bayar. Kalau hal ini terwujud, maka akan meningkatkan tax ratio serendah-rendahnya 1 persen, setinggi-tingginya antara 2 persen,” papar Hadi, dalam sebuah siniar yang tayang di platform YouTube, seperti dikutip Selasa (17/12/2024).

“Satu persen tax ratio nilainya itu adalah 1 persen kali 25.000 triliun (rupiah) PDB kita, artinya nilai sama dengan 250 triliun (rupiah). Sedangkan kenaikan PPN 2 persen itu senilai dua kali 80 triliun (rupiah) sama dengan 160 triliun (rupiah). Sehingga masih ada sisa,” lanjut Dirjen Pajak periode 2001-2006 itu.

Dengan terwujudnya Sistem Monitoring Self Assessment, kata Hadi, tak akan menjadi masalah kalau tarif PPN turun 2 persen namun tax ratio akan naik 1 persen. Menurut dia, ini adalah goal ideal yang sudah didambakan sejak 2001 silam.

Apa Itu Sistem Monitoring Self Assessment atau ‘CCTV’ Penerimaan Negara?

Lebih lanjut, Hadi menjelaskan bahwa Self Assessment merupakan sistem perpajakan Indonesia yang memberikan hak kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri pajaknya berdasarkan tambahan kemampuan ekonomi mereka.

Namun, sistem pelaporan wajib pajak (SPTWP) belum mampu diuji secara efektif karena belum adanya mekanisme monitoring yang memadai.

“Definisi monitoring sendiri adalah sistem penerimaan negara yang berbasis link and match serta mewajibkan semua kementerian, lembaga, badan, Pemda, asosiasi dan pihak-pihak lain yang terkait wajib membuka dan menyambung sistemnya ke pajak,” tuturnya.

Dengan transparansi tersebut, rasio pajak terhadap PDB atau tax ratio diharapkan dapat meningkat setiap tahun sebesar 1-2 persen.

Bagaimana Lahirnya Konsep Sistem Monitoring Self Assessment?

Sistem Monitoring Self Assessment pertama kali dikonsepkan pada tahun 2000, saat Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjabat, dengan Menteri Keuangan saat itu Prijadi Praptosuhardjo. S

istem ini dirancang sebagai langkah untuk menguji pelaporan pajak (SPT) dengan mengintegrasikan pengawasan melalui mekanisme monitoring. Sistem Monitoring Self Assessment merupakan konsekuensi dari sistem penerapan.

“Kita harus membuat Sistem Monitoring Self Assessment. Yang ini merupakan konsekuensi penerapan Sistem Self Assessment,” cerita Hadi.

Untuk mendukung pelaksanaannya, dilakukan amandemen terhadap undang-undang yang menghambat implementasi sistem ini, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Transaksi Keuangan.

Amandemen tersebut bertujuan agar aparat pajak dapat mengakses informasi keuangan yang relevan. Selanjutnya pada tahun 2001, dibuat sistem monitoring yang terintegrasi dan berbasis online, baik secara internal maupun eksternal.

“Monitoring perpajakan di undang-undang disertakan tahun 2001 yang terintegrasi dan online, baik internal maupun eksternal. Ini digulirkan sama Presiden Gus Dur dan tercipta tanggal 16 Juli suatu pernyataan bahwa DPR mendukung langkah ini,” kata Hadi.

Namun, seminggu kemudian, posisi presiden beralih ke Megawati Soekarnoputri, yang melanjutkan inisiatif tersebut. Pada tanggal 14 November 2001, undang-undang yang mendukung sistem ini akhirnya diterbitkan. Sistem ini mulai digunakan melalui mekanisme Memorandum of Understanding (MoU) dan berhasil meningkatkan rasio pajak (tax ratio) dari 11 persen menjadi 13 persen dalam lima tahun.

“Setelah itu kita menyusun undang-undang konkret supaya sistem monitoring terwujud bukan artinya mengamandemen lagi, mewujudkan sistem ini menjadi kewajiban bagi semua pihak di Indonesia,” jelas Hadi.

Selanjutnya, disusun rancangan undang-undang (RUU) untuk menjadikan sistem monitoring ini sebagai kewajiban nasional. RUU tersebut mulai dirancang pada era Wakil Presiden Boediono, dan dilanjutkan dengan dukungan Menteri Keuangan Jusuf Anwar dan Sri Mulyani.

Akhirnya, pada tahun 2007, Pasal 35A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 disahkan, melegalkan sistem monitoring ini setelah melalui proses selama enam tahun, melibatkan lima Menteri Keuangan, dan tiga Presiden.

“Jadi Pasal 35A atau Sistem Monitoring Self Assessment ini terwujud dalam waktu 5 tahun, 6 tahun dan disetujui oleh lima Menteri Keuangan dan tiga Presiden,” tukasnya.