Mahal Biaya, Pilkada Mau Dibawa ke Mana?


Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 untuk memilih gubernur, bupati, wali kota beserta wakilnya yang berlangsung di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota menyisakan banyak persoalan. Masalah pendanaan tak luput menjadi sorotan.

Berdasarkan laporan Kemenkeu hingga 20 September 2024, total dana untuk Pilkada serentak 2024 mencapai Rp37,52 triliun, yang disalurkan melalui Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Dana dari APBN digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan, yaitu pembiayaan logistik dan administrasi, pelatihan dan sosialisasi, pengawasan dan keamanan, teknologi informasi dan sistem pemilihan, serta pengawasan dan audit.

Presiden Prabowo Subianto secara khusus menyoroti mahalnya biaya penyelenggaraan pilkada. Ia menyinggung sistem politik di Indonesia yang dinilai mahal dan tak efisien bila dibandingkan negara-negara tetangga. Ketua Umum Partai Gerindra ini kemudian melempar wacana kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD.

Prabowo ketika di acara HUT ke-60 Partai Golkar di Bogor, Kamis (12/12/2024), mengajak seluruh ketua umum dan pimpinan partai politik untuk memperbaiki sistem politik yang menghabiskan puluhan triliun rupiah dalam satu-dua hari setiap penyelenggaraan pemilu.

Ia pun menyinggung mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh kontestan di gelaran pilkada. “Kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Betul? dari wajah yang menang pun saya lihat lesu juga yang menang lesu, apalagi yang kalah. Ini sebetulnya begitu banyak ketum parpol di sini. Sebenarnya kita bisa putuskan malam ini juga, gimana?” kata Prabowo.

Merespons gagasan Prabowo, Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Agus Fatoni menyebutkan untuk penghematan anggaran daerah memang perlu dikaji. Namun sejauh ini, anggaran pilkada secara langsung sudah bisa terhitung secara jelas. “Untuk Bawaslu, KPU, TNI, dan Polri. Itu jelas, cukup besar,” ujar Agus Fatoni di Jakarta, Rabu (18/12/2024).

Sebagai Pj Gubernur Sumatera Utara, dia mengungkapkan anggaran untuk Pilkada 2024 di daerah tersebut menelan biaya Rp1 triliun lebih. Sedangkan Sumut hanya punya anggaran Rp14 triliun. “Kan besar sekali itu gambarannya,” tuturnya.

Ketua DPP PAN Saleh Partaonan Daulay. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Ketua DPP PAN Saleh Partaonan Daulay. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Suara Partai Politik di Senayan Terpecah

Kalangan partai politik di Parlemen Senayan, Jakarta, terpecah suara dengan keinginan Prabowo agar kepala daerah dipilih DPRD. Ketua DPP PAN Saleh Partaonan Daulay mengapresiasi pernyataan Prabowo tersebut dan pemikiran serupa sudah lama dibahas di internal PAN.

“Kalau Presiden yang mulai mengangkat wacana ini, kelihatannya akan lebih mudah untuk ditawarkan ke seluruh parpol yang ada,” ujar Saleh di Jakarta, Jumat (13/12/2024). Menurut dia, PAN secara umum mendukung pilkada yang lebih simpel dan sederhana, apalagi sudah pernah diterapkan.

Sekjen Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya menyebut partainya masih akan mengkaji. “Didalami, tetapi semua tentu untuk kebaikan demokrasi di Indonesia,” kata Teuku di Jakarta, Selasa (17/12/2024) malam. Selain itu, kata dia, Partai Demokrat akan berkomunikasi dengan partai lain di koalisi pemerintahan, serta mendengarkan aspirasi masyarakat.

Adapun Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia mengatakan partainya menggagas pilkada tidak lagi melalui pemungutan suara, tapi kepala daerah dipilih melalui DPRD. “Selain untuk efisiensi anggaran, juga untuk menghindari konflik horisontal yang sering terjadi saat pelaksanaan pilkada,” ujar Bahlil di Padang, Sumbar, Minggu (14/12/2024).

Sementara itu, Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus menekankan partainya tegas menolak dan ingin pilkada tetap berada di tangan rakyat. Namun ia mengaku PDIP sebagai parpol oposisi di parlemen seorang diri hanya bisa pasrah. PDIP bakal kalah suara bila dilakukan pengambilan keputusan di DPR.

“Kalau melihat pertimbangan parlemen, maka tak ada kekuatan PDIP untuk melawan 84 persen versus 16 persen,” kata Deddy di Jakarta, Kamis (19/12/2024). Namun, ujar dia, PDIP yakin bila mengubah aturan UU terkait pilkada lewat DPRD akan mendapat penolakan dari rakyat. 

Sedangkan PKB mendukung wacana Prabowo sebagai alternatif agar menghemat anggaran negara. “Betul sekali apa yang dikatakan Pak Prabowo, anggaran negara akan jauh lebih hemat jika pilkada disederhanakan sistemnya,” tutur Ketua Harian DPP PKB, Ais Shafiyah Asfar, di Surabaya, Jumat (20/12/2024).

Tidak Menjamin Kurangi Biaya Politik

Peneliti bidang politik pada The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Felia Primaresti menilai wacana kepala daerah dipilih lewat DPRD tidak serta-merta menjamin pengurangan biaya politik secara keseluruhan. Ia menyebut negosiasi politik antarpartai, lobi, hingga potensi praktik politik uang dapat tetap terjadi dalam proses penunjukan kepala daerah oleh DPRD.

Bahkan menurut Felia, mekanisme penunjukan kepala daerah oleh DPRD justru berisiko memunculkan konflik kepentingan. Kepala daerah dikhawatirkan mengabaikan aspirasi masyarakat apabila hanya fokus mencari dukungan DPRD. Di sisi lain, mekanisme penunjukan oleh DPRD juga dinilai berisiko merusak prinsip periksa dan timbang (check and balances) dalam demokrasi.

“Jangan sampai DPRD memilih kepala daerah yang hanya aman untuk kepentingan mereka sendiri, mematikan partisipasi publik yang seharusnya menjadi inti dari demokrasi lokal,” ujar Felia di Jakarta, Rabu (18/12/2024). Posisi eksekutif, kata dia, seperti gubernur, bupati, atau wali kota membutuhkan legitimasi kuat oleh rakyat. Oleh sebab itu, mengganti pilkada langsung menjadi penunjukan DPRD dapat melemahkan demokrasi lokal.

Ia pun menggarisbawahi, pilkada langsung memberikan ruang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin mereka secara langsung, memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi lokal. “Pilkada langsung memberi rakyat hak penuh untuk menentukan pemimpin mereka, menciptakan rasa keterlibatan, dan kepemilikan dalam demokrasi.”

Selain itu, pilkada langsung juga memungkinkan rakyat untuk memilih pemimpin terbaik menurut mereka yang pada akhirnya memperkuat prinsip demokrasi dan akuntabilitas. Atas dasar itu, TII merekomendasikan agar sistem pilkada langsung tetap dipertahankan karena memberikan rakyat kuasa politik yang lebih bermakna, menciptakan demokrasi yang lebih kuat, dan memastikan pemimpin yang terpilih memiliki legitimasi langsung dari masyarakat.

Ketua DPRD DKI Jakarta dari PKS Khoirudin. (Foto: PKS DKI Jakarta)
Ketua DPRD DKI Jakarta dari PKS Khoirudin. (Foto: PKS DKI Jakarta)

Kepala Daerah Dipilih DPRD Punya Plus Minus

Ketua DPRD DKI Jakarta Khoirudin menilai wacana kepala daerah dipilih oleh DPRD, bukan melalui pemilihan langsung seperti dalam Pilkada 2024 semua mempunyai nilai plus dan minus. Menurut politikus PKS ini, plus minus itu berkaca pada pemilihan umum (pemilu) lalu di mana partai kecil sekalipun punya ruang yang sama untuk bisa terpilih.

Salah satunya PKS yang diuntungkan banyak calon terpilih di tingkat nasional yang mampu meraih 53 kursi parlemen. Dalam artian, PKS mendapat 12.781.353 suara atau 8,42 persen pada Pileg 2024. Terlepas dari nantinya apakah wacana itu terlaksana atau tidak, dia menekankan DPRD DKI Jakarta sudah berpengalaman dalam kehidupan yang dinamis. “Kalau memang terbaiknya nanti adalah sudah dipilih oleh DPRD, melihat situasi terkini, biaya tinggi dalam pelaksanaan pilkada, kita coba nanti lihat,” tutur Khoirudin di Jakarta, Rabu (18/12/2024).

Senada dengan Khoirudin, Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyebut wacana tersebut perlu dikaji dari berbagai aspek oleh pemerintah dan legislatif. “Nanti semuanya kan biasanya pemikiran-pemikiran yang berkembang itu akan dibicarakan antara pemerintah dan legislatif. Jadi semuanya apa pun dikaji secara multi aspek,” kata Haedar di Yogyakarta, Rabu (18/12/2024).

Dalam pemikiran Haedar, Prabowo punya pandangan yang berorientasi ke depan, namun bagaimana DPR tentunya juga memiliki pertimbangan-pertimbangan sendiri. Pembahasan mengenai wacana tersebut, menurut dia, perlu pula mempertimbangkan masukan kalangan akademisi, termasuk sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) besar. 

Usulan Prabowo Problematik

Direktur Riset Trust Indonesia, Ahmad Fadhli mencermati usulan Prabowo tersebut problematik karena tujuan penghematan biaya politik dapat mengurangi partisipasi politik langsung masyarakat.

Bagi Fahdli, jika ingin menghemat maka seharusnya yang dilakukan adalah mengurangi biaya-biaya politik berbiaya tinggi yang biasanya muncul dari mahar politik dan politik uang. “Dan, tentu saja ini membutuhkan kerja semua pihak. Terutama negara (state) untuk meminimalisasi hal tersebut,” ujar Fadhli kepada Inilah.com di Jakarta, Sabtu (21/12/2024)

Kemudian, dalam pandangan Fadhli, tidak ada jaminan soal penghematan. Sebab, tidak ada yang bisa memastikan berapa jumlah mahar yang harus dikeluarkan oleh pada calon kepala daerah. “Jangan-jangan maharnya jauh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan dalam pilkada langsung,” kata dia.

Selanjutnya yang penting juga diamati menurut Fadhli, yaitu hakikatnya demokrasi lebih substantif jika melibatkan partisipasi rakyat secara langsung. Ia menekankan, memilih pemimpin atau kepala daerah menjadi salah satu bagian penting partisipasi masyarakat untuk menentukan kedaulatan mereka.

“Berikutnya jelas tidak ada jaminan bebas korupsi karena praktik korupsi tidak ditentukan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah, melainkan justru ditentukan oleh seberapa kuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap aktivitas pengelolaan anggaran,” sambung Fadhli.

Lebih jauh ia menambahkan, kepemimpinan kepala daerah yang efektif dan yang baik justru didapat dari visi dan misi yang terukur serta keberhasilan pembangunan didapat dari komunikasi politik yang baik terhadap DPRD, pebisnis, dan investor. (Vonita Betalia/ Syahidan)