Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho, meramalkan, umur nikel sebagai bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik, tidak akan lama.
juga mengamini bahwa nikel mulai kehilangan pamor. Semakin banyak produsen mobil listrik besar yang menggunakan LFP. “Arahnya memang ke situ (LFP). Untuk baterai kendaraan listrik, arahnya sudah sudah ke LFP,” kata Andry, dikutip Selasa (23/1/2023).
Alasan pabrikan kendaraan listrik menggantikan LFP sebagai pengganti baterai listrik berbasis nikel dan kobalt (NMC), selain lebih murah, jumlah cadangan bijih besi dan fosfatnya lebih banyak ketimbang nikel dan kobalt.
Sejatinya, China sudah lama menggunakan LFP. Dimulai oleh BYD sebagai pabrikan pertama baterai mobil listrik pada 2010. Contemporary Amperex Technology Co Limited (CATL) saat itu, masih menggunakan NMC karena memiliki energy density yang besar ketimbang LFP.
Rendahnya energy density membuat mobil listrik dengan LFP tidak dapat digunakan dengan jarak tempuh yang jauh. “Dengan adanya hal tersebut, saya rasa LFP menjadi opsi yang cukup menggiurkan bagi pabrikan. Dari segi keamanan sendiri, LFP jauh lebih baik dibandingkan baterai berbasiskan nikel,” imbuh Andry.
Melihat gejala ini, Andry memrediksi, pasar baterai nikel paling lama hingga tahun depan. “Sehingga kita memunculkan pertanyaan terkait apakah masih relevan untuk mengembangkan baterai nikel kita dalam negeri,” pungkasnya.
Sementara, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menerangkan, saat ini, China mengembangkan secara masif penggunaan sodium sebagai alternatif bahan baku baterai, karena lebih ramah lingkungan.
Di mana, proses refinasi atau pemurnian nikel di Indonesia ini, masih dianggap menyumbang emisi karbon yang cukup tinggi. “Masih banyak menggunakan PLTU batu bara, bahkan ada 14 GW rencana PLTU batu bara di kawasan industri yang sedang dibangun. Ini merusak citra nikel kalau mau digunakan untuk kendaraan listrik,” ucap dia.
Bhima menilai, pemerintah ke depan, perlu berhati-hati dalam melakukan hilirisasi nikel. Khususnya menyangkut cadangan nikel yang semakin susut, perubahan teknologi, dan pasar dapat menjadi ancaman bagi potensi hilirisasi nikel Indonesia.
“Bahan baku yang digunakan untuk baterai kendaraan listrik semakin terbatas, teknologi berubah, pasar berubah, hilirisasi kita bisa tamat dalam waktu yang sangat pendek, jadi harus hati-hati juga,” lanjut Bhima.
Leave a Reply
Lihat Komentar