Wacana Bangun Whoosh hingga Surabaya


KCIC (Kereta Cepat Indonesia China) yang mengelola Whoosh, kereta generasi baru yang mampu melaju hingga 350 km/jam, semakin percaya diri. Mereka mewacanakan perpanjangan jalur dari Halim (Jakarta Timur) ke Tegalluar, Bandung timur sepanjang 142 km, yang kemudian diteruskan hingga Surabaya, Jawa Timur.

Kemampuan untuk membangun dan mengoperasikan Whoosh sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Sebagian teknisi PT Kereta Api Indonesia (KAI) sudah menguasai pengendaliannya. Walau masih ada beberapa hal teknis yang disembunyikan oleh tenaga-tenaga teknis dari RRC, dan transfer teknologi belum sepenuhnya terjadi.

KCIC mewacanakan tiga alternatif jalur (trace) untuk menyambung dari Bandung ke Surabaya. Alternatif pertama dimulai dari Bandung ke Surabaya lewat Kroya dan Yogyakarta (629 km, diperkirakan bisa ditempuh dalam 180 menit), kedua lewat Cirebon dan Purwokerto (679,2 km, perjalanan selama 193 menit), atau alternatif ketiga, Bandung ke Surabaya lewat Cirebon dan Semarang, 642 km memerlukan waktu 184 menit.

Trace lewat Kroya dan Yogya mungkin termurah ongkos pembangunannya. Namun, bukan berarti hanya perkalian biaya pembangunan Whoosh Jakarta-Bandung yang 629/142 X Rp 110,16 triliun, jadinya Rp 489,9 triliun. Tidak serta merta, sebab jalur dari Bandung lewat Kroya penuh dengan pegunungan dan lembah yang harus dilalui, yang bahkan kereta regular saja harus menembus gunung di Terowongan Ijo, Jawa Tengah.

Pada jalur Whoosh saat ini, kereta cepat itu harus menembus 13 buah terowongan dengan panjang total 16,82 km—terpendek 150 meter dan terpanjang 4.478 meter. Antara Bandung, Kroya, dan Kebumen saja sudah muncul tantangan besar untuk KCIC Bandung–Surabaya, karena harus menembus belasan gunung dan bukit, begitu lepas Cicalengka, Bandung timur.

Pada alternatif kedua, Bandung ke Surabaya lewat Cirebon, Purwokerto, Yogyakarta, dan seterusnya sepanjang 679,2 km sama sekali tidak ringan karena harus melewati berbagai bukit dan pegunungan, selain lembah yang harus diuruk. Juga, harus membangun jembatan panjang di berbagai bengawan yang lebih lebar dari sungai di Jawa Barat.

Pilihan jalur ketiga KCIC Bandung–Surabaya lewat Cirebon dan Semarang mungkin merupakan jalur yang ramah dan murah. Jalur Pantura minim gunung, membuat jarak “hanya” 642 km dan waktu tempuh 3 jam 4 menit, tetapi karena harus bolak-balik setelah sampai Bandung, lalu ke Cirebon, sehingga hilang waktu perjalanan sekitar 45 menit.

Dua kali ganti generasi

Untuk jalur sepanjang 142 km antara Halim hingga Tegalluar, titik impas pembangunannya (BEP – break even point) Whoosh diperkirakan ekonom senior Faisal Basri bisa tercapai setelah 139 tahun, paling cepat 100 tahun. Menurutnya, itu dengan kemampuan Whoosh mengangkut 601 penumpang, 36 perjalanan sehari, dan tarifnya Rp 300.000/orang.

Ini berarti, saat tercapai BEP, teknisinya, kondektur, kepala stasiun, dan penumpangnya, sudah berganti sedikitnya dua generasi. Mungkin teknologinya juga sudah berubah, sebagaimana trayek KA cepat antara Bandara Pudong hingga pusat kota Shanghai, China, yang sudah menggunakan teknologi maglev (magnetic levitation) sepanjang 30 km, yang keretanya “mengambang” di atas rel.

Ini adalah kereta cepat pertama yang kami naiki dekade lalu, dengan kecepatannya mendekati 500 km/jam, tarifnya 50 yuan sekali jalan (sekitar Rp 110.000). Tidak terasa ada goyangan, walaupun papan berjalan di ujung kereta penumpang menunjukkan angka kecepatan 486 km/jam.

Indonesia, dengan Whoosh yang mendekati kecepatan 350 km/jam saja, sudah “ajaib”. Bayangkan, dibandingkan dengan seluruh jenis angkutan darat dan udara antara Bandung dan Jakarta, Whoosh paling unggul.

Whoosh dari Halim ke Padalarang memakan waktu 37 menit, termasuk berhenti 2 menit di Karawang. KA Argo Parahyangan memakan waktu 2 jam 20 menit, dihitung dari Padalarang sampai Stasiun Jatinegara, dengan tarif kelas ekonomi Rp 150.000, lebih cepat sedikit dibanding kendaraan pribadi lewat tol.

Sementara naik bus cepat memakan waktu sekitar 3-4 jam. Menumpang pesawat Cessna Caravan milik Susi Air, perjalanan sekitar 35-40 menit antara Bandara Halim sampai Bandara Husein Sastranegara, dengan tarif antara Rp 200.000 hingga Rp 250.000.

Soal kenyamanan, Whoosh mengalahkan semua. Minim guncangan, tempat duduk kelas ekonominya lebih bagus dari jok di mobil travel yang tarifnya Rp 160.000. Tarif Whoosh, “hanya” Rp 150.000 (ekonomi), hingga Rp 450.000 untuk kelas utama, tetapi tergantung saat puncak (peak) atau low season.

Bangun TOD

Dirut KCIC, Dwiyana Slamet Riyadi memperkirakan BEP Whoosh akan tercapai pada tahun ke-40. Ini berdasar catatannya, sepanjang Januari hingga Oktober 2024 lalu, penumpang Whoosh sudah mencapai 6 juta dan bisa mencapai hingga 8,8 juta, jika setiap hari rata-rata mengangkut 24.132 penumpang, seperti yang terjadi akhir-akhir ini.

Sudah mendekati target 28.000 penumpang dari kapasitas 28.850 penumpang yang diangkut dengan 48 perjalanan per hari, yang dalam waktu dekat akan ditambah menjadi 62 kali sehari. Selain itu, pihaknya juga akan menjual penamaan (naming) stasiun dan membangun TOD (Transit Oriented Development – pengembangan fasilitas sekitaran pusat transportasi publik).

TOD membangun perumahan atau apartemen, pusat perbelanjaan, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya. Mayoritas stasiun-stasiun di negara maju sudah berkonsep TOD dengan menempatkan pusat perdagangan dan sebagainya di lantai bawah dan hotel di sebelahnya, sementara rel di stasiun di lantai atasnya. Stasiun mendapat sewa sebagai tambahan pendapatannya.

Mengacu pada “keberhasilan” Whoosh, KCIC yakin pembangunan trayek Bandung–Surabaya juga akan dipadati penumpang. Mereka akan mengalahkan semua jenis angkutan umum dan pribadi antara dua kota itu, termasuk pesawat terbang jika dihitung perjalanan penumpang dari rumahnya menembus kemacetan hingga bandara yang ‘nun jauh’ di Tangerang.

Barangkali, selain tiga alternatif tadi, KCIC juga bisa mempertimbangkan trayek langsung dari Gambir (Jakarta) ke Pasar Turi (Surabaya) yang jaraknya 713 km, jalur yang jelas landai, tidak banyak perbukitan. Kecepatan kereta KCIC bisa maksimal, mendekati 350 km/jam, perjalanan tuntas dalam 2 jam 20 menit, jika ditambah pemberhentian di beberapa stasiun di antara.

Trayek ini punya potensi untuk dibangun di atas jalur KA Jakarta–Surabaya, yang di beberapa tempat memang menyediakan lahan lebar sepanjang jalannya. Biayanya, mengacu pada Whoosh, mungkin di bawah biaya pembangunan trayek alternatif Bandung–Cirebon–Purwokerto–Yogya ke Surabaya.

Biarlah para ahli yang menghitungnya. Hanya saja, perlu diwaspadai agar tidak ada tawaran manis yang kemudian terasa pahit ketika pihak China meminta tambahan saat proyek sudah berjalan (cost overrun), yang dapat mengganggu APBN.

Kesuksesan Whoosh akan mampu membuka mata pemodal untuk bekerja sama dalam pembangunan berpola PPP (Public Private Partnership) – kerja sama pemerintah dengan swasta – untuk memodali pembangunan kereta cepat jarak jauh, karena BEP-nya cukup singkat. Pola ini mengurangi beban pemerintah dalam membangun prasarana untuk masyarakat, sementara pemodal juga mendapat bagian dari keikutsertaannya.