‘Baburu’ Babi di Sumbar: Antara Hobi, Tradisi dan Pertaruhan Nyawa


Di pelosok Sumatera Barat, tersembunyi sebuah desa bernama Jorong Bamban yang menyimpan tradisi unik dan masih lestari hingga kini. Tradisi ini bukan tentang tari-tarian atau ritual adat, melainkan berburu hama babi hutan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan warganya.

Buru babi atau yang sering disebut “baburu,” adalah tradisi yang telah mengakar di berbagai pedesaan Sumatera Barat, termasuk di Jorong Bamban.

Desa ini terletak di Kenagarian IV Koto Palembayan, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam. Awalnya, kegiatan ini dilakukan untuk melindungi kebun dari serangan hama. Namun, seiring waktu, berburu babi telah menjadi hobi yang melekat pada masyarakat, terutama para pria di daerah tersebut.

Syahrul (24) seorang pemuda asli Jorong Bamban, mengenang bagaimana ia pertama kali terjun ke dunia berburu babi. “Sudah dari kecil dulu, saya ikut berburu. Waktu itu lihat bapak-bapak di kampung berburu babi, jadi penasaran dan ingin ikut juga,” kenangnya.

Dia mengaku, ada kepuasan tersendiri dalam berburu, terutama ketika babi buruan berhasil ditemukan oleh anjing peliharaannya. “Seru saja melihat teman-teman semangat berburu. Apalagi kalau sudah dapat babinya. Bukan untuk dimakan, ya, tapi biasanya diberikan ke anjing peliharaan agar mereka yang makan,” jelasnya.

Babi hutan bagi warga Sumatera Barat, memang dianggap sebagai hama karena sering merusak ladang dan tanaman perkebunan milik warga. Sebab itu, masyarakat berinisiatif melakukan kegiatan berburu babi sebagai solusi untuk melindungi lahan pertanian mereka.

Aktivitas berburu babi, khususnya di Jorong Bamban tidak dilakukan setiap hari. Biasanya, tradisi ini digelar pada hari Minggu. Namun, lokasi berburu selalu berganti, berpindah-pindah dari satu desa ke desa lainnya sesuai dengan kesepakatan para pemburu. “Kami berburu untuk mengendalikan populasi babi, tetapi lebih dari itu, ini adalah bagian dari warisan budaya yang kami pertahankan,” ungkap Syahrul.

Tak hanya babi, hasil buruan juga dapat bermacam-macam. Mulai dari rusa, kambing hutan hingga landak. “Kalau seperti rusa biasanya kami santap sama-sama. Tapi yang bekas gigitan anjing langsung kami pisahkan supaya tidak termakan oleh teman-teman,” tuturnya.

Kegiatan ini juga menjadi ajang berkumpul, mempererat silaturahmi, dan mengembangkan kearifan lokal dalam mengatasi masalah lingkungan. Bahkan aktivitas ini telah memiliki organisasi tersendiri yang dikenal sebagai Persatuan Olahraga Buru Babi Indonesia (Porbbi).

Beberapa kali, komunitas itu juga menjadikan ajang berburu bagi sebagai lomba yang turut mempengaruhi geliat ekonomi masyarakat sekitar. Pada medio 2023 lalu misalnya, Porbbi menggelar kegiatan yang bertajuk alek gadang buru babi, di Nagari Koto Tangah, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam.

Acara yang turut dihadiri Bupati Agam saat itu, Andri Warman mampu mendatangkan ribuan orang ke tempat berlangsungnya acara. Mereka yang datang tidak hanya dari Sumbar tapi juga dari Jambi, Bengkulu dan lainnya.

“Jika ada 5.000 orang yang datang dan mereka belanja Rp100.000 saja, maka Rp500 juta uang yang berputar dalam kegiatan ini,” kata Ketua Perkumpulan Olahraga Buru Babi (Porbbi) Sumbar, Verry Mulyadi.

Bertaruh Nyawa

Berburu babi bukanlah kegiatan tanpa risiko. Mengingat, tradisi ini dilakukan di hutan belantara, ancaman hewan buas memang kerap kali mengintai para pemburu. Salah satu pengalaman menegangkan dialami Syahrul, yang tanpa sengaja berhadapan dengan seekor harimau sumatera.

Kala itu, Syahrul bersama timnya tengah melacak keberadaan babi hutan dengan tiga anjingnya. Suasana awalnya terasa tenang, hingga tiba-tiba salah satu anjing mengeluarkan suara gonggongan keras yang berbeda dari biasanya. “Kami kira anjing itu sudah menemukan babi, tapi ternyata harimau,” ujarnya.

Harimau yang muncul dari balik semak belukar memandang tajam ke arah mereka. Syahrul dan rekan-rekannya, tak memiliki pilihan selain mundur perlahan sambil menjaga agar anjing-anjing mereka tetap tenang.

“Kami biasanya menyebut mereka (harimau) inyiak balang. Kami sangat menghormati keberadaannya. Kalau sudah ketemu bekas telapak kaki di hutan, biasanya kami harus waspada,” ungkap Syahrul yang juga sempat bertemu hewan buas sejenis Harimau Sumatera saat berburu.

Kehadiran harimau bukanlah sebuah hal yang diinginkan setiap pemburu. Namun, terkadang inilah realita yang harus dihadapi para pegiat kegiatan ini.

Baru-baru ini, Warga Muaro Pauh Jorong Batuang Panjang Nagari atau Desa Sungai Batang Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam Sumatera Barat Handika Saputra (32) juga bernasib sama dengan Syahrul.

Ia dikagetkan kemunculan binatang yang punya nama latin Panthera tigris sumatrae saat sedang mengintai babi hutan di atas pohon setinggi 15 meter, Rabu (25/12/2024) sekitar pukul 14.30 WIB.

“Saya sangat kaget dengan kemunculan seekor harimau sumatera di bawah pohon tempat saya mengintai babi untuk ditembak,” kata Handika Saputra.

Sontak saja pertemuan itu membuat badannya gemetaran. Seluruh tubuh terasa dingin seperti sedang dalam berada di lemari es.

Saat itu, ia tidak bisa berbuat banyak dan hanya berdiam diri di atas pohon setinggi 15 meter. Beruntung harimau itu hanya melintas dengan berjalan ke lokasi hutan dan tidak melihat dirinya.

“Harimau hanya berjalan dengan pelan dan tidak melihatnya di atas pohon,” katanya. Ia kemudian langsung dari turun pohon sekitar setengah jam dari harimau pergi.