Merger antara XL Axiata dan Smartfren (Kelompok Sinar Mas) sudah bergulir, dan akan berawal secara hukum setelah RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) yang diperkirakan tuntas pada April mendatang. Aksi korporasi ini agak berbeda dengan merger antara Indosat Ooredoo dengan Hutchison Three (3) yang begitu mulus, dan entitas ex-merger-nya melejit penampilannya, baik dari segi pendapatan, EBITDA, maupun laba.
Pada merger XL Axiata dan Smartfren, yang nantinya akan bernama XL Smart Sejahtera, tiba-tiba ada rilis soal susunan BOD (Board of Directors – Dewan Direksi) yang sempat membuat petinggi XL Axiata enggan berkomentar. Apalagi ada kabar tentang hengkangnya Presiden Direktur (Presdir) dan dua direktur XL Axiata yang membuat kalangan luas penasaran.
Sebenarnya, proses merger sudah berjalan lancar, dan dua pejabat XL yang mundur tidak ada dalam rilis jajaran BOD yang sempat beredar. Yang menjadi Presdir dan CEO adalah orang Axiata, demikian pula dengan direktur keuangan dan CFO-nya.
Masih menjadi pertanyaan, kenapa mesti ada rencana cuti massal karyawan dan hengkangnya direksi di kalangan XL Axiata, sementara pemegang saham Smartfren gundah dan ingin ikut mendapat keuntungan. Bagaimana bisa, harga saham Smartfren hanya maksimal Rp50, sementara saham XL Axiata nangkring di sekitar Rp2.270/lembar?
Posisi perusahaan dan karyawan kedua entitas memang tidak imbang, bisa dikatakan sangat timpang. Pada triwulan ketiga 2024, pendapatan XL Axiata mencapai Rp25,37 triliun dengan laba Rp1,32 triliun, berbanding Smartfren yang tercatat Rp8,5 triliun, menanggung rugi seperti tahun-tahun sebelumnya, sekitar Rp1 triliun.
Di tengah perjalanan menuju RUPS pada April nanti, kegelisahan juga terjadi di kalangan karyawan kedua entitas pasca merger, terkait pendapatan dan standar kinerja karyawan. Ini bisa jadi akibat pendapatan karyawan XL Axiata yang dikatakan lima kali lebih besar dibanding karyawan, BOD, maupun komisaris Smartfren.
Jumlah karyawan hasil merger akan menjadi sekitar 4.000 orang, yang cukup besar untuk mengelola 95,6 juta pelanggan. Selain itu, akan terjadi duplikasi karyawan untuk mengelola satu tugas yang sama. Walaupun secara umum, merger dapat membuat perusahaan/operator menjadi lebih efisien karena bisa membeli alat teknologi lebih murah, dengan jumlah yang lebih sedikit.
Sementara BTS (Base Transceiver Station – Stasiun Penerima-Pemancar Dasar) yang berdempetan bisa dipindah ke tempat yang masih kosong, memperluas jangkauan layanan operator gabungan ini. Namun, proses integrasi bisa memakan waktu lebih dari setahun, apalagi BTS milik Axiata sekitar 165.000 dan milik Smartfren 36.000, ditambah XL yang juga “lebih kaya” dengan memiliki sekitar 113.000 kilometer serat optik (FO).
Ada “Adjustment”
Soal SDM (Sumber Daya Manusia) mendapat perhatian istimewa, dijamin tidak akan ada pemutusan hubungan kerja (PHK). Kalaupun ada yang keluar karena merasa tidak nyaman atau alasan lain, ada kompensasi yang katanya bisa membuat “pehakawan tersenyum lebar”.
Hanya saja, kawan ex-Smartfren yang ikut ke XL Smart jangan sampai ge-er merasa akan ada penyesuaian gaji setara dengan gaji orang XL Axiata. “Adjustment akan dilakukan tetapi tidak sekaligus tiba-tiba,” tutur seorang petinggi di entitas yang akan bergabung.
Bagi Kelompok Axiata, merger kali ini bukan yang pertama. Ada sekitar 5 anak usaha Axiata di Asia yang melakukan merger dengan operator lain, dan hampir semua entitas di bawah Axiata yang merger mendapatkan tambahan modal, tidak dalam posisi harus top-up, dan dikatakan menjadi entitas yang bertahan.
Merger keduanya bernilai 6,5 miliar dollar AS (sekitar Rp104 triliun), terbesar hingga saat ini. Bahkan lebih besar dibanding merger sebelumnya, yaitu antara Indosat Ooredoo dengan Hutchison Tri (3) yang bernilai lebih dari Rp94 triliun.
Masing-masing, Smartfren dan XL Axiata, akan mendapat besaran saham yang sama, yakni 34,8%, dengan pengaruh yang sama untuk arah dan keputusan strategis perusahaan. Namun, di samping saham ex-XL Axiata, masih ada saham publik yang potensial, hingga 35%, karena semula Axiata memiliki 65% saham di XL Axiata. “Pastinya mereka punya suara lebih kuat dengan mengerahkan saham publik sebelumnya,” tutur seorang petinggi salah satu mitra merger.
Merger ini akan membuat Axiata menerima dana sebesar 450 juta dollar AS, dengan tunai 400 juta dollar AS, dan 75 juta dollar AS sisanya akan dibayarkan di akhir tahun. Merger ini diharapkan menghasilkan sinergi biaya yang signifikan, yang diperkirakan sebesar 300 juta dollar AS – 400 juta dollar AS (Rp5 triliun) sebelum pajak setelah proses integrasi jaringan strategis dan optimalisasi sumber daya.
Diharapkan dengan 95,6 juta pelanggan, mereka bisa meraih pendapatan sebesar Rp45,4 triliun (sekitar 2,8 miliar dollar AS) dan EBITDA lebih dari Rp22,4 triliun. Merger ini dikatakan akan membuat posisi mereka menguasai 27% pangsa pasar seluler di Indonesia.
Namun, calon petinggi entitas bisnis baru tersebut, XL Smart, masih khawatir akan kemungkinan diambilnya sebagian spektrum yang mereka kuasai. Kekhawatiran ini muncul karena setiap ada akuisisi atau merger, pemerintah biasanya mencabut sekitar 2 kanal (10 MHz) dari jumlah spektrum gabungan.
Frekuensi Emas
Alasan pemerintah untuk membuat keseimbangan, ketika operator dengan jumlah pelanggan lebih banyak memiliki frekuensi relatif lebih sedikit dibanding operator yang frekuensinya banyak tetapi pelanggannya sedikit.
Dengan 159,9 juta pelanggan, kini Telkomsel memiliki spektrum frekuensi selebar 195 MHz, dengan 50 MHz di antaranya menggunakan teknologi FDD (Frequency Division Duplex – menggunakan spektrum frekuensi yang sama bergantian untuk unggah dan unduh). Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) memiliki 100,8 juta pelanggan dan frekuensi seluas 135 MHz menggunakan teknologi TDD (Time Division Duplex – menggunakan frekuensi berbeda untuk unggah dan unduh).
Dari spektrum frekuensi XL Smart yang selebar 152 MHz, sebanyak 40 MHz di antaranya berasal dari ex-Smartfren yang bekerja pada spektrum 2300 MHz dengan teknologi FDD. Frekuensi FDD dianggap sebagai “frekuensi emas” karena dengan cakupan yang sama, jumlah pelanggan yang ditangani bisa 10 kali lebih banyak dibandingkan pelanggan yang dicakup dengan teknologi TDD.
Petinggi Axiata, Vivek Sood, dan Presdir & CEO XL Axiata yakin bahwa pemerintah tidak akan mengambil frekuensi dari XL Smart karena kepemilikan frekuensi semua operator sudah sesuai dengan jumlah pelanggannya. Meskipun setelah merger, XL Smart memiliki 95,6 juta pelanggan dengan lebar spektrum 152 MHz, sedangkan Indosat dengan 100,8 juta pelanggan hanya memiliki 135 MHz.
Jika pemerintah mengambil 10 MHz milik XL Smart yang dibeli dari lelang, atau diberikan kepada IOH sehingga lebar spektrum mereka menjadi 145 MHz, XL Smart hanya akan memiliki 142 MHz. XL Smart berharap cemas, khawatir yang “dicabut” pemerintah adalah spektrum di FDD yang nilainya sangat tinggi.
Frekuensi-frekuensi yang diambil pemerintah bersama dengan pendapatan dari pungutan lain masuk ke kas negara sebagai PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Antara lain terdiri dari BHP (Biaya Hak Penggunaan) frekuensi sesuai jumlah BTS yang dioperasikan, BHP operator seluler sebesar 0,5% dari pendapatan kotor operator yang tidak masuk akal bagi operator karena tidak jelas cara menghitungnya, dan PSO (Public Service Obligation – Layanan Setara bagi Semua Penduduk di Telekomunikasi), sebesar 1,25% dari pendapatan kotor operator.
Pemerintah kemudian membagikan sebagian PNBP tadi ke Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), khususnya bagi direktorat jenderal yang “menghasilkan” sebagai bonus untuk semua karyawan, termasuk direktur jenderal. Banyak orang menilai, wajar jika ada desakan dari kementerian Komdigi agar menteri mau mengambil sebagian frekuensi untuk PNBP, yang pada tahun 2024 terkumpul sebesar Rp24 triliun.