Pada medio 2019, Presiden Donald Trump mengeskalasi hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok dengan mengetwit agar perusahaan-perusahaan Amerika Serikat di Tiongkok mencari alternatif tempat berusaha, termasuk kembali ke Amerika Serikat dan memproduksi barang-barang di Amerika Serikat (Efendi, 2021). Pernyataan tersebut berlanjut dengan twit Presiden Trump yang akan menaikkan tarif impor barang-barang dari Tiongkok sebesar 5 persen (ABC, 2019).
Twit tersebut merupakan puncak dari memburuknya hubungan dagang Amerika Serikat dan Tiongkok yang sudah dimulai sejak 2017 dengan adanya perubahan tarif untuk panel matahari dan mesin cuci pakaian, kemudian dilanjutkan dengan perang tarif untuk aluminium dan baja (Bown dan Kold, 2020).
Perang dagang antara Amerika dan Tiongkok tersebut memberi dampak buruk bagi ekonomi Indonesia. Karena itulah, bayang-bayang dampak buruk tersebut kembali menggelayuti bangsa ini pasca dilantiknya Trump sebagai Presiden Amerika Serikat periode 2025-2029.
Jika mencermati pernyataan-pernyataan Trump selama kampanye, termasuk bila melihat rekam jejak dan kepribadiannya, maka dapat dipastikan berbagai kebijakan-kebijakan kontroversial akan berlanjut di periode kedua kepemimpinannya. Masa depan dunia kembali bermuram durja.
Lantas, apakah tidak ada sisi cerah dari kepemimpinan Trump? Apakah tidak ada negara yang mendapat manfaat dari tokoh seeksplosif Trump di periode pertama kepemimpinannya?
Jawabannya tentu ada. Semuram apapun kepemimpinannya, tentu tetap ada sisi cerah yang bisa dimanfaatkan. Tergantung bagaimana sebuah negara menyikapi dan memposisikan diri menghadapi kebijakan-kebijakan negeri Paman Sam tersebut.
Salah satu dampak dari perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok adalah eksodus besar-besaran perusahaan-perusahaan dari Tiongkok ke Asia Tenggara. Nikkei Asia melaporkan bahwa terdapat sekitar 50 perusahaan yang akan melakukan eksodus dari Tiongkok, namun tidak satupun perusahaan merelokasi usaha mereka ke Indonesia, melainkan ke Vietnam dan Thailand (Nikkei Asia, 2019). Lebih lanjut, World Bank (2019) mengindikasikan bahwa antara Juni dan Agustus 2019, terdapat 33 perusahaan melakukan eksodus dari Tiongkok, 23 perusahaan pindah ke Vietnam, sisanya ke Kamboja, India, Malaysia, Meksiko, Serbia, dan Thailand (World Bank, 2019). Sekali lagi, tidak satu pun perusahaan memindahkan lokasi usaha ke Indonesia (Efendi, 2019).
Pertanyaan kritisnya: Kenapa perusahaan lebih memilih merelokasi perusahaannya ke Vietnam, bahkan lebih memilih Kamboja dibanding Indonesia? Apa yang salah dengan dunia usaha di Indonesia? Apa pula solusi atas problem tersebut?
Optimisme Berbasis Peluang
Menarik untuk mencermati apa yang dikemukakan oleh Dorris dan John Nisbitt dalam bukunya Mastering Megatrends. Dalam buku tersebut diceritakan bahwa pada tahun 1880-an, Kota London, saat itu sedang tumbuh dan gemuruh. Untuk memenuhi semua permintaan, sekitar 50.000 ekor kuda mengangkut orang dan barang di seputar kota London setiap harinya. Dengan begitu banyaknya kereta kuda, jalan-jalan di Kota London semakin padat dan setiap harinya orang-orang berjuang menghadapi lalu lintas yang sangat padat. Namun sisi yang lebih gelap dan bau di Kota itu adalah bahwa kuda menghasilkan kotoran dan air kencing.
Berton-ton kotoran kencing mencemari udara dan jalanan. Koran London The Times mengangkat salah satu opini peringatan tentang bencana yang sudah di depan mata: “Krisis Kotoran Kuda”.
Di saat masyarakat, media, termasuk pemerintah sibuk dengan prediksi muram tersebut, Karl Benz tidak sedang berusaha mengatasi masalah terlalu banyaknya kotoran kuda. Begitu juga Henry Ford yang terlibat dalam proses pembuatan kendaraan bermotor ini. Mereka berdua mengambil bagian dari berbagai penemuan konstruksi mobil menjadi mungkin. Patennya diajukan dan mobil ditemukan. Penemuan mesin aneh yang merevolusi transportasi ini memecahkan masalah kotoran kuda, bahkan tanpa mencoba memecahkan masalah itu.
Fokus pada peluang, bukan menyalahkan masalah. Optimis itulah kuncinya. Mengutip ungkapan George Bernard Shaw yang menulis: “Orang selalu menyalahkan keadaan atas apa yang terjadi pada dirinya. Aku tidak percaya pada keadaan. Orang yang berhasil di dunia ini adalah orang yang bisa bangkit dan mencari keadaan yang mereka inginkan, dan jika mereka tidak menemukannya, mereka menciptakannya.”
Pada persoalan kepemimpinan Trump, bisa dipastikan akan menimbulkan gejolak dan masalah ekonomi. Namun demikian, tetap akan ada peluang yang bisa dimanfaatkan. Inilah fokus yang harus dieksekusi.
Jika benar, perang dagang jilid dua kembali ditabuh oleh Trump, kita sudah siap menangkap peluang yang ada. Jawaban atas problem mendasar yang diutarakan di atas adalah bahwa perusahaan lebih memilih Vietnam dibanding Indonesia, disebabkan oleh relatif sulitnya memulai usaha di Indonesia.
Membandingkan tingkat kemudahan berusaha di Indonesia dengan negara-negara tetangga, menunjukkan bahwa kemudahan berusaha di Indonesia masih tertinggal dari Vietnam dan Singapura. Sebagai contoh, pada 2019 ada 11 prosedur untuk memulai bisnis di Indonesia, relatif lebih banyak apabila dibandingkan dengan Vietnam (8 prosedur) atau Singapura (2 prosedur). Makin banyaknya prosedur yang dilalui berimplikasi pada makin mahalnya biaya untuk memulai usaha di Indonesia. Misalnya, pada 2019, biaya untuk memulai usaha di Indonesia mencapai 5,7 persen dari Pendapatan Nasional Bruto (GNI), dengan jumlah hari untuk memulai usaha sekitar 12 hari (Efendi, 2021).
Pemerintah mencoba menyelesaikan masalah ini dengan membuat UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Payung hukumnya sudah ada, tinggal bagaimana Presiden Prabowo mengawal implementasi ini dengan sebaik-baiknya.
Problem selanjutnya yang dialami dunia usaha di tanah air adalah rendahnya produktivitas tenaga kerja dalam negeri. Belum lagi ditambah dengan kenaikan upah minimum menjadi 6,5 persen di tahun 2025, semakin membuat investor berpikir panjang. Gaji sudah naik, produktivitas tetap rendah. Membenahi produktivitas tenaga kerja adalah tugas berat yang harus diselesaikan oleh Presiden Subianto.
Jika ini semua bisa diperbaiki, kita tentu optimis menangkap peluang yang ditawarkan kepemimpinan Presiden AS, Donald Trump Jilid Dua. Semoga.