100 Hari Kabinet Prabowo ditandai sebuah survey kepuasan yang bisa membusungkan dada pemerintah. Di berbagai sisi, sekian banyak hal perlu pembenahan, bahkan perombakan.
Bila barangkali sebelumnya sempat merasakan deg-degan dan harap-harap cemas, boleh jadi hasil survei terbaru Litbang Kompas menjelang 100 Hari Kabinet Prabowo membuat banyak pejabat pemerintah kita berbesar hati. Bagaimana tidak, bila hasil survei itu mencatat bahwa 80,9 persen responden mengaku puas dengan 100 hari pertama pemerintah. Apalagi disebut-sebut, survei melibatkan 1.000 responden di 38 provinsi, dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error sebesar 3,10 persen.
Tentu saja banyak pihak yang terkesan, meski ada pula yang mengingatkan. Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, misalnya, yang mengingatkan publik agar tidak terjebak dalam euforia angka. Survei tersebut, menurutnya, lebih mengukur popularitas, bukan kinerja konkret kabinet.
Namun di balik angka kepuasan publik yang tinggi itu, berbagai persoalan dalam program prioritas kabinet mulai muncul ke permukaan. Salah satunya adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang sejak awal peluncurannya dihadapkan pada kendala besar. Di awal pelaksanaan program, 6 Januari lalu, yang sampai ke publik justru kesan ketidaksiapan BGN. Sehari sebelum kick off program, saat Presiden Prabowo bertanya kepada Kepala BGN, Prof Dadan Hindayana yang menjadi penanggung jawab, soal kesiapan, ternyata dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang siap hanya ada 156, dari 937 dapur yang dilaporkan sebelumnya. Sumber Inilah.com yang hadir saat itu menyatakan wajah Presiden langsung menunjukkan kekecewaan.
Belum lagi sekian “gawal” lain dari program MBG. Awalnya program tersebut dirancang untuk menjangkau tiga juta penerima manfaat. Namun, anggaran yang cekak membuat target itu dikoreksi menjadi hanya 600 ribu orang. Anggaran yang awalnya ditetapkan sebesar Rp15 ribu per porsi pun kini dipangkas menjadi Rp10 ribu, bahkan di beberapa daerah hanya tersisa Rp8 ribu per porsi. Akibatnya, kualitas makanan menjadi sorotan. “Dengan anggaran sekecil ini, sulit menjamin makanan yang bergizi,” ujar Diah Saminarsih, CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).
Terkuak juga soal masih lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah yang memperburuk situasi dan suksesnya program di mata publik. Di Yogyakarta, sekolah-sekolah mengeluhkan belum menerima petunjuk teknis yang jelas, sementara di Jakarta, SMAN 14 Cililitan yang dekat dengan dapur utama MBG pun saat itu masih belum mendapatkan distribusi makanan yang dijanjikan.
Selain program MBG, program pembangunan 3 juta rumah juga turut menambah nila di wajah kabinet berusia muda ini. Saat pemerintah punya komutmen dan menargetkan pembangunan rumah untuk masyarakat miskin ekstrem, hingga kini roadmap implementasi program masih minim kejelasan. Perencanaan lokasi belum matang, skema pembiayaan yang solid masih belum tersedia, dan keterlibatan sektor swasta dalam proyek ini masih terbatas. “Kami butuh kejelasan dalam regulasi dan insentif pajak agar pengembang swasta dapat berkontribusi maksimal,” ujar Joko Suranto, ketua umum Realestat Indonesia (REI) periode 2023-2027.
![Ketua Umum DPP REI Joko Suranto Foto Dok REI.jpeg](https://i2.wp.com/inilahgateway.sgp1.cdn.digitaloceanspaces.com/2025/01/localimages/Ketua_Umum_DPP_REI_Joko_Suranto_Foto_Dok_REI_4511da2715.jpeg)
Sejumlah daerah yang dijanjikan menjadi lokasi percontohan proyek tersebut juga masih menghadapi kendala infrastruktur. Di beberapa wilayah, keterbatasan lahan menjadi tantangan, sementara di sisi lain muncul keluhan dari masyarakat terkait kepemilikan lahan yang belum tuntas. Pemerintah tentu saja diharapkan lebih transparan dalam memberikan peta jalan proyek sehingga masyarakat dan pemangku kepentingan memiliki pandangan yang jelas terkait realisasi program tersebut.
Kado yang tak kalah memberatkan, di sektor ekonomi, defisit APBN menjadi tantangan yang semakin berat. Defisit yang awalnya diproyeksikan sebesar Rp250 triliun itu kini disebut-sebut melonjak menjadi Rp370 triliun. Itu pun boleh jadi bisa bertambah. Beberapa ekonom memperkirakan bahwa defisit ini berpotensi membengkak. Samuel Sekuritas, misalnya, memproyeksikan defisit bisa mencapai Rp800 triliun, mengingat beban anggaran dari berbagai program prioritas dan struktur kabinet yang besar.
Sejatinya, beberapa ekonom telah mengingatkan bahwa peningkatan belanja tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan negara dapat menyebabkan defisit yang lebih besar, yang pada akhirnya dapat membebani perekonomian nasional. Selain itu, pembatalan pemerintah pada kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) tahun lalu telah menambah tekanan pada manajemen fiskal. Meskipun terdapat surplus kas sebesar Rp45,4 triliun dari tahun 2024 yang dapat digunakan untuk menutupi kekurangan, para ekonom tetap khawatir bahwa langkah-langkah itu mungkin tidak cukup untuk menjaga defisit tetap terkendali.
Karena itulah, para ekonom, termasuk Bhima Yudhistira, mendesak pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk memperkuat fundamental ekonomi. “Jika dibiarkan berlarut-larut, ini akan berdampak serius pada stabilitas keuangan negara,” kata Bhima.
Dalam seratus hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ini pun muncul berbagai tantangan signifikan terkait dugaan korupsi dan konflik kepentingan dalam proyek strategis nasional. Begitu cabinet terbentuk, Indonesia Corruption Watch (ICW) langsung menyoroti bahwa pemilihan beberapa menteri dan wakil menteri mengabaikan integritas dan catatan hukum mereka, terutama yang terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi. “Berdasarkan penelusuran, terdapat sejumlah anggota kabinet dengan rekam jejak pernah diperiksa, bahkan disebut-sebut menerima uang korupsi dalam fakta persidangan,” kata ICW dalam pernyataan tertulis mereka.
Selain itu, pengaruh oligarki dalam pemerintahan pun menjadi sorotan tajam. Pengamat politik Hendri Satrio menyoroti beberapa hal yang telah terjadi menjelang 100 hari masa pemerintahan Prabowo Subianto, termasuk peran oligarki dalam pengambilan keputusan politik. “Peran oligarki ini menjadi sangat tinggi karena begitu menjamurnya money politics selama terjadinya demokrasi di Indonesia. Tetapi, bila kemudian ini menjadi alasan pemilihan tidak langsung kembali terjadi tentu saja tidak tepat,” kata pengamat yang kerap dipanggil Hensat itu.
![post-cover](https://i2.wp.com/inilahgateway.sgp1.cdn.digitaloceanspaces.com/2025/01/localimages/IMG_20231116_191830_3edc80643a.jpg)
Memang, Presiden Prabowo sendiri tak henti menegaskan komitmennya untuk memberantas segala bentuk praktik korupsi. Dalam arahannya pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) RPJMN 2025-2029, misalnya, Prabowo menyatakan bahwa budaya mark-up proyek, penyelundupan, dan manipulasi anggaran harus dihapuskan karena merugikan negara dan rakyat. “Penggelembungan mark-up barang atau proyek itu adalah merampok uang rakyat,” kata Presiden Prabowo, tegas.
Banyak yang berkesimpulan bahwa salah satu muara persoalan adalah gemuk dan kurang dijadikannya meritokrasi dalam pemilihan anggota cabinet kemarin. Karena itu wajar bila belakangan banyak muncul desakan agar dilakukan reshuffle kabinet, terutama bagi kementerian yang dinilai gagal menjalankan visi presiden.
“Jika reshuffle tidak dilakukan dalam waktu dekat, ini bisa berimplikasi pada menurunnya kepercayaan publik,” ujar pengamat politik Agung Baskoro. Beberapa menteri mendapat sorotan karena dianggap tidak mampu menerjemahkan visi Presiden Prabowo dengan baik. Kritik terutama diarahkan kepada Kementerian Pendidikan yang masih menghadapi polemik terkait pemisahan dan pengelolaan kebijakan pendidikan tinggi dan menengah.
Pengamat ekonomi Nailul Huda dari CELIOS menambahkan, inti reshuffle kabinet tersebut bukan hanya soal pergantian pejabat, tetapi juga upaya untuk memperbaiki manajemen pemerintahan. “Kita perlu menteri yang benar-benar memahami masalah dan mampu menjalankan solusi secara cepat,” ujar Nailul.
Di seratus hari pertamanya, Kabinet Prabowo memang menimbulkan catatan yang beragam. Di satu sisi, angka kepuasan publik yang tinggi menunjukkan bahwa harapan masyarakat terhadap pemerintahan ini masih besar. Namun, di sisi lain, berbagai permasalahan dalam program prioritas seperti MBG dan pembangunan rumah rakyat menjadi indikator bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Pemerintah dituntut untuk segera mengevaluasi dan menyempurnakan pelaksanaan program agar lebih efektif dan tepat sasaran.
Kisruh di sektor ekonomi dan tata kelola pemerintahan yang diwarnai oleh isu korupsi serta oligarki juga menjadi tantangan besar yang harus dihadapi dengan langkah konkret dan transparan. Masyarakat tentu berharap agar janji-janji Presiden Prabowo dalam memberantas korupsi dan memperkuat perekonomian nasional dapat segera terwujud dalam tindakan nyata. Jika tidak, kepuasan yang tinggi di awal pemerintahan ini bisa berubah menjadi kekecewaan di masa mendatang. [dsy/rizki/syahidan/clara/reyhaanah]