Wilayah yang luas di Asia Tenggara masih dipenuhi dengan persenjataan yang belum meledak dari bom yang dijatuhkan pasukan Amerika Serikat (AS) selama Perang Vietnam. Kini ancaman bom itu bertambah setelah pemerintahan Donald Trump menangguhkan upaya pembersihan ranjau.
Laporan terbaru The New York Times, kemarin menyoroti keputusan mendadak Departemen Luar Negeri AS untuk menangguhkan upaya pembersihan ranjau global sehingga membuat organisasi penjinak ranjau berada dalam ketidakpastian. Mereka juga menghentikan pekerjaan penting di wilayah-wilayah yang terganggu oleh sisa persenjataan yang belum meledak.
Langkah ini, yang mulai berlaku merupakan pukulan telak bagi upaya kemanusiaan yang sedang berlangsung yang bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa Perang Vietnam. Bill Morse, salah satu pendiri Cambodian Self-Help Demining, menekankan potensi konsekuensi yang fatal.
Meskipun perang telah berakhir lima dekade lalu, bom yang tidak meledak—yang dijatuhkan pasukan AS—terus menelan korban jiwa dan menyebabkan kehancuran di Vietnam, Kamboja, dan Laos. Selama 30 tahun terakhir, AS telah menginvestasikan lebih dari $750 juta untuk membersihkan sisa-sisa bom yang mematikan ini.
Para ahli memperingatkan bahwa mungkin diperlukan waktu satu abad lagi untuk mengatasi ancaman tersebut sepenuhnya. Penghentian pendanaan ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang dampak kemanusiaan jangka panjang pada masyarakat yang telah terluka parah oleh perang.
Pada Sabtu (25/1/2025) lalu, Departemen Luar Negeri AS mengumumkan penangguhan tersebut, menyusul pemotongan bantuan luar negeri yang lebih luas di bawah pemerintahan Trump. Keputusan ini telah menimbulkan kekhawatiran, karena para ahli memperkirakan kemungkinan besar akan ada lebih banyak yang meninggal akibat orang-orang tanpa sadar berjalan ke ladang ranjau yang tidak dibersihkan.
Di Vietnam, Tran Phu Cuong, seorang pejabat pemerintah, mengungkapkan rasa frustrasi bangsanya, dengan menyebut dampak perang yang masih ada, termasuk bom yang tidak meledak dan dampak Agent Orange yang masih ada, sebagai “tidak adil”. Agent Orange merupakan herbisida yang digunakan militer AS selama Perang Vietnam untuk menebang pohon dan tanaman yang menjadi tempat persembunyian musuh. Agent Orange mengandung dioksin, bahan kimia yang mematikan.
Ho Van Lai, seorang penyintas ledakan ranjau darat berusia 34 tahun di Vietnam, dengan pedih merenungkan ancaman yang terus berlanjut, saat memandu siswa lokal di Pusat Pengunjung Aksi Ranjau pada 2024. Ho Van Lai, yang kehilangan keluarga dan anggota tubuh karena bom cluster saat masih anak-anak, menyuarakan kesedihan atas penangguhan bantuan AS untuk penjinakan ranjau.
Di Kamboja, Sok Eysan, juru bicara partai yang berkuasa, mengemukakan bahwa AS bertanggung jawab atas perang dan akibatnya serta mencatat peran historis yang dimainkan negara tersebut dalam konflik.
Penghentian pendanaan ini terjadi tepat saat China meningkatkan keterlibatannya dalam upaya penjinakan ranjau di Asia Tenggara. Bill Morse memperingatkan bahwa keputusan ini dapat mendorong Vietnam, Kamboja, dan Laos untuk mencari bantuan yang lebih besar dari China.
Sejak perang AS berakhir, Vietnam telah kehilangan 40.000 orang akibat persenjataan yang tidak meledak, dan 60.000 lainnya terluka. Kamboja telah menyaksikan lebih dari 65.000 kematian, dan Laos, negara yang paling banyak dibom per kapita, telah kehilangan lebih dari 22.000 orang.
Sera Koulabdara, pimpinan Legacies of War, sebuah kelompok advokasi yang berbasis di AS, menyatakan kekhawatirannya tentang penangguhan tersebut, dengan menekankan pesan negatif yang dikirimkannya kepada negara-negara yang bergantung pada bantuan AS. Ia berencana melobi Washington untuk mempertimbangkan kembali keputusan ini, mendesak Kongres untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah atas tindakannya.