Perbatasan Rafah telah dibuka untuk pertama kalinya dalam hampir sembilan bulan sehingga memungkinkan pasien Palestina yang sakit dan terluka di Gaza melakukan perjalanan ke Mesir guna menjalani perawatan medis di luar negeri.
Kementerian Kesehatan Gaza Sabtu (1/2/2025) mengatakan 50 pasien, ditemani oleh 61 pengasuh, menyeberang dari Rafah untuk mencapai Mesir. Televisi Mesir menunjukkan ambulans Palang Merah Palestina berhenti di gerbang penyeberangan, dan beberapa anak dibawa keluar dengan tandu dipindahkan ke ambulans di sisi Mesir.
Banyak pasien yang menderita penyakit kronis, termasuk kanker, dan tidak dapat memperoleh pengobatan selama perang 15 bulan di Israel. Sebanyak 400 warga Palestina akan diizinkan meninggalkan Gaza sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata antara Hamas dan Israel pada 19 Januari.
Pembukaan kembali penyeberangan Rafah merupakan terobosan signifikan yang memperkuat kesepakatan. Israel setuju untuk membuka kembali penyeberangan tersebut setelah Hamas membebaskan tawanan perempuan terakhir yang masih hidup di Gaza.
Pembukaan perbatasan utama itu terjadi setelah Hamas membebaskan tiga tawanan Israel di Gaza pada Sabtu pagi dengan imbalan lebih dari 180 tahanan Palestina yang ditahan di penjara Israel.
Berharap Jumlahnya Meningkat
Mohammed Zaqout, Direktur Rumah Sakit di Kementerian Kesehatan Gaza, mengatakan lebih dari 6.000 pasien Palestina siap dievakuasi ke luar negeri, dan sedikitnya 12.000 pasien sangat membutuhkan perawatan. Ia mengatakan jumlah kecil yang akan dievakuasi tidak akan mencukupi kebutuhan, “dan kami berharap jumlahnya akan bertambah”.
Arwa Damon, pendiri Jaringan Internasional untuk Bantuan, Pemulihan dan Asistensi (INARA), menjelaskan proses yang melelahkan untuk membawa sekitar 2.500 anak Palestina yang membutuhkan perawatan medis dan menyelamatkan nyawanya keluar dari Gaza.
Ia mengatakan orangtua atau wali anak mengajukan permohonan evakuasi medis. Kemudian Kementerian Kesehatan di Gaza meninjau kasus-kasus tersebut dan mengelompokkan pasien ke dalam kategori tergantung pada urgensinya. “Lalu ada upaya koordinasi menyeluruh yang harus dilakukan dengan Israel untuk menyeleksi setiap nama yang meminta untuk dievakuasi,” tambah Damon, kepada Al Jazeera
“Kemudian, Anda memerlukan mekanisme yang dikoordinasikan dengan WHO untuk benar-benar mengeluarkan anak-anak dari Gaza, lalu mengirimkannya ke negara ketiga mana pun yang telah setuju menerima mereka untuk perawatan medis.”
Damon mengatakan bahwa hal ini sangat menyakitkan dan merupakan proses yang sangat lambat sehingga dinilai gagal memberikan perawatan medis bagi semua yang membutuhkannya.
Dalam genosida Israel selama 15 bulan di daerah kantong itu setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, sektor kesehatan Gaza telah hancur total, menyebabkan sebagian besar rumah sakit tidak beroperasi. Puluhan ribu warga Palestina yang terluka akibat pemboman dan serangan darat Israel menderita karena kurangnya perawatan medis yang tepat.
Pasukan Israel menutup perlintasan Rafah pada Mei 2024 setelah merebutnya. Mesir mengikutinya dengan menutup sisi perlintasan tersebut sebagai bentuk protes. Sebelum perang Gaza, warga Palestina sangat bergantung pada penyeberangan itu. Warga secara rutin harus mengajukan izin untuk bepergian ke luar wilayah tersebut untuk perawatan yang tidak tersedia di daerah kantong itu, termasuk kemoterapi.
Pengelolaan penyeberangan ini penuh dengan kerumitan. Israel telah lama menuduh Hamas menggunakan kendalinya atas perbatasan untuk menyelundupkan senjata – sebuah klaim yang dibantah Mesir. Israel juga menolak mengizinkan Otoritas Palestina (PA) untuk secara resmi mengambil alih pengelolaan penyeberangan tersebut.
Sebaliknya, penyeberangan itu akan dikelola warga Palestina dari Gaza yang sebelumnya bertugas sebagai petugas perbatasan dengan PA, tetapi mereka tidak akan diizinkan mengenakan lambang resmi PA, kata seorang diplomat Eropa kepada kantor berita The Associated Press, dengan syarat anonim.
Pemantau dari Uni Eropa juga akan hadir, seperti sebelum tahun 2007. “Ini akan mendukung personel perbatasan Palestina dan memungkinkan pemindahan individu keluar dari Gaza, termasuk mereka yang membutuhkan perawatan medis,” tulis kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Kaja Kallas di X, mengacu pada misi pemantauannya di perbatasan tersebut.