Nassourdine Imavov: Buku Separuh Kosong yang Selalu Tafakur Sebelum Tarung


Ronde kedua, belum 30 detik ronde bergulir, segalanya berubah. Sebuah langkah kecil ke kanan, pergeseran bahu Imavov yang nyaris tak terlihat, dan —boom!—sebuah pukulan kanan lurus melesat seperti peluru shotgun yang ditembakkan dari jarak dekat. Kepalan bulat itu menghantam rahang Adesanya dengan presisi mematikan. Sang legenda lagak dan jumawa itu terhuyung, lututnya tak mampu menopang tubuh. Tak ada waktu untuk pulih; rentetan pukulan Nassourdine menghujan, cepat dan brutal. Wasit melompat ke tengah, menghentikan duel. TKO untuk Nassourdine Imavov.

Malam Ahad, 1 Februari 2025, suhu di Riyadh, Arab Saudi, tak hanya panas karena gurun yang membentang, juga karena satu pertarungan yang mengguncang dunia bela diri campuran (MMA). Nassourdine Imavov, petarung yang tak diunggulkan dalam UFC Fight Night 250 itu, justru menghempaskan sang legenda Israel Adesanya mungkin ke jurang kariernya sebagai atlet MMA. Adesanya, yang masih menjadi ikon kesombongan dan perilaku belagak di lingkar oktagon, malam itu terkapar mencium kanvas dengan TKO!

Sebelumnya, sebagaimana gerak Adesanya, lampu sorot menari di atas oktagon, membentuk bayangan dua pria yang tegak berhadapan satu sama lain dengan wajah beringas dan tangan terkepal. Di satu sisi, Adesanya, mantan juara yang dikenal sebagai “The Last Stylebender”, “menari” dengan percaya diri, sesekali melancarkan tendangan, menguji refleks lawan. Di sisi lain, Imavov, dengan tatapan tenang seperti permukaan danau sebelum badai, menunggu dengan sabar, penuh perhitungan.

Ronde pertama menjadi ajang saling uji. Adesanya mencoba mengatur ritme dengan tendangan khasnya, cepat dan presisi. Imavov meliuk-liuk, menunggu, membaca, dan memahami pola. Tidak ada serangan sembrono darinya, hanya mata tajamnya jeli mengamati, mencari celah.

Ronde kedua, belum 30 detik ronde bergulir, segalanya berubah. Sebuah langkah kecil ke kanan, pergeseran bahu Imavov yang nyaris tak terlihat, dan —boom!—sebuah pukulan kanan lurus melesat seperti peluru shotgun yang ditembakkan dari jarak dekat. Pukulan itu menghantam rahang Adesanya dengan presisi mematikan. Sang legenda terhuyung, lututnya tak mampu menopang tubuh. Imavov tak memberi waktu untuk pulih; rentetan pukulan menghujan, cepat dan brutal. Wasit melompat ke tengah, menghentikan duel. TKO untuk Nassourdine Imavov.

Saat tangan Imavov diangkat, gemuruh stadion menyatu dengan denyut jantung penonton di seluruh dunia. Itu bukan sekadar kemenangan; itu adalah pernyataan bahwa sebuah era baru telah lahir.

 

Dari Dagestan ke Paris, Langkah Sniper Oktagon

Nassourdine Imavov bukan petarung yang lahir dari kemewahan. Ia lahir di Dagestan, Rusia, pada 1 Maret 1995, di sebuah wilayah yang lebih dikenal sebagai tanah kelahiran para pegulat legendaris. Namun, Imavov memilih jalur berbeda. Tinju dan seni bela diri campuran menjadi pelariannya dari kerasnya kehidupan.

Cetakan Imavov dimulai dengan sekian banyak pertandingan tinju tua di televisi bersama kakeknya. Salah satu favoritnya adalah duel-duel legendaris Mike Tyson. Melihat Tyson yang beringas, Imavov kecil pernah berujar, “Suatu hari nanti, aku ingin membuat orang bertepuk tangan untukku seperti mereka melakukannya untuk Tyson.” Cerita inilah yang menurut saudara-saudaranya menjadi pemicu semangat Imavov menekuni dunia bela diri.

Di sisi lain, Imavov tumbuh sebagai anak pendiam dan pemalu. Sifat itu yang kerap membuatnya menjadi sasaran gangguan teman-teman sebayanya. Berkat latihan gulat dan tinju, kepercayaan diri Imavov semakin tumbuh. Ia pun mulai paham bahwa bela diri bukan hanya soal memukul atau meraih kemenangan, melainkan juga melatih disiplin dan karakter.

Ketika keluarganya pindah ke Prancis, bersamanya terbawa warisan ketangguhan dari tanah kelahiran. Di Paris, Imavov menemukan rumah keduanya di MMA Factory, di bawah bimbingan pelatih Fernand Lopez, orang yang juga membentuk bintang UFC lainnya seperti Francis Ngannou. Di sanalah, dia menempa dirinya, bukan hanya sebagai petarung, tetapi sebagai seniman di atas kanvas oktagon. “Saya tidak hanya ingin menang. Saya ingin melukis cerita dengan setiap pertarungan,” ujar Imavov dalam sebuah wawancara.

Perjalanannya di UFC dimulai dengan penuh tantangan. Debutnya melawan Jordan Williams menunjukkan ketangguhan mental dan fisik serta kekuatan tinjunya. Yang terakhir itu yang membuatnya berjuluk Sniper Oktagon. Sempat mengalami kekalahan tipis melawan Phil Hawes, Imavov tidak menyerah. Sebaliknya, dia kembali dengan kemenangan TKO atas Ian Heinisch, seolah berkata kepada dunia: “Saya di sini untuk tinggal.”

Kemenangan demi kemenangan mengukuhkan posisinya. Imavov mengalahkan Edmen Shahbazyan dan Kelvin Gastelum, menunjukkan peningkatan signifikan dalam teknik grappling dan striking. Namun, kemenangan atas Adesanya adalah puncaknya—momen di mana ia tidak hanya menjadi petarung hebat, tetapi juga legenda.

Imavov adalah lebih dari sekadar statistik pertarungan. Ia adalah kisah tentang bagaimana ketekunan mengalahkan bakat mentah. Lahir di Dagestan, di mana setiap anak laki-laki diajarkan untuk bertarung, Imavov tumbuh dengan pemahaman bahwa kekuatan bukan hanya tentang otot, tetapi juga pikiran.

“Saya belajar bahwa kekuatan sejati adalah tentang bagaimana Anda bangkit setelah jatuh,” kata Imavov dalam sebuah wawancara setelah pertarungan melawan Gastelum.

Di Prancis, jelas ia menghadapi tantangan baru: bahasa, budaya, dan ekspektasi. Namun, semua itu menjadi bahan bakar untuk ambisinya. Di MMA Factory, ia diasah bukan hanya sebagai petarung, tetapi sebagai simbol harapan—bahwa seseorang dari mana saja bisa mencapai puncak jika mereka cukup berani untuk bermimpi dan cukup keras bekerja.

Setiap Pertarungan Adalah Simfoni

Setiap pertarungan bagi Imavov adalah simfoni yang disusun dengan hati-hati. Latihan fisiknya mencakup sesi sparring intens, drill teknik, dan analisis video lawan. Namun, kunci utamanya adalah mental. Imavov dikenal karena ketenangannya, bahkan di bawah tekanan. Ia sering tafakur sebelum bertarung, membayangkan setiap kemungkinan di dalam oktagon.

“Saat saya melangkah ke dalam oktagon, saya sudah bertarung ribuan kali di kepala saya. Itulah mengapa saya tidak takut,” ujarnya, suatu waktu.

Dari lorong-lorong kecil di Dagestan hingga sorot lampu di Riyadh, Nassourdine Imavov telah menunjukkan bahwa mimpi tidak memiliki batas. Ia adalah bukti hidup bahwa dalam dunia di mana semua orang bertarung untuk menjadi yang terbaik, yang bertahan bukanlah yang terkuat, tetapi yang paling berani untuk terus bermimpi dan berjuang.

Kemenangan Imavov atas Israel Adesanya pada 1 Februari 2025 melalui TKO telah meningkatkan peringkatnya secara signifikan dalam divisi kelas menengah UFC. Namun, untuk menjadi juara, Imavov masih perlu memenangkan pertarungan perebutan gelar melawan juara bertahan saat ini, Dricus du Plessis.

“Saya bukan hanya petarung. Saya adalah cerita yang masih ditulis. Dan saya baru saja memulai bab terbaik saya,” kaa dia, dengan senyum tipis, menatap pinggang, seolah dalam waktu dekat sebuah sabuk juara telah membelit pinggangnya.