100 Tahun Pramoedya: Karya Dambaan Gen Z yang Berawal dari Kertas Kantong Semen


Jeruji besi yang mengekang di Pulau Buru begitu membekas dalam ingatan Pramoedya Ananta Toer, yang kala itu dihukum tanpa ampun, diasingkan karena tuduhan tak berdasar terkait Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965. Empat belas tahun lamanya ia terkurung dalam penjara yang tak jelas kapan akan berakhir, seperti timah yang meleleh di dalam api yang tak kelihatan ujungnya.

Di usia yang semakin senja, Pram menahan rindu mendalam terhadap enam putrinya dan putra satu-satunya, Yudisthira Ananta, yang pada saat itu baru menapaki jenjang pertama sekolah dasar.

Surat-suratnya dipenuhi dengan tanya yang tak terjawab, mencerminkan betapa Pram merindukan kabar dari keluarga yang terpisah jauh di seberang sana, bertanya-tanya apakah mereka masih baik-baik saja meskipun dirinya terasingkan tanpa proses pengadilan di pulau terpencil di timur Indonesia.

Kesendirian yang menyelimuti dalam gubuk tua itu memicu Pram untuk menulis. Oei Hiem Hwie, sahabatnya dari Surabaya, turut berperan memberi dukungan. Arang yang diseduh menjadi tinta, kertas bekas semen dijadikan wadah untuk karya-karya yang lahir dari rasa sakit dan harapan.

Namun, perjuangan menulis tidak mudah. Karya-karyanya sempat dirampas oleh penjaga dan dibakar hingga hangus. Jilid pertama dari karyanya hanya bisa diceritakan secara lisan kepada rekan-rekan tahanan karena keterbatasan fasilitas menulis. Suatu saat, Pram pernah menerima kabar bahwa mesin tik dari penulis terkenal Prancis, Jean-Paul Sartre, akan dikirim untuknya. Namun, takdir berkata lain, yang datang malah mesin tik rusak yang pita mesin tiknya harus dirakit oleh para tahanan dengan bahan seadanya.

Meski begitu, tekad Pram tidak pernah surut. Ia terus menulis dengan semangat yang membara. Hingga akhirnya naskah Bumi Manusia—salah satu dari empat buku monumental yang dikenal sebagai tetralogi Pulau Buru dikubur hingga masa pengasingannya berakhir.

Tidak ada jalan yang mudah, dan tidak ada perjuangan yang datang dengan kenyamanan. Begitu juga Bumi Manusia.

Pada 1981, Bumi Manusia mendapat sorotan keras dari berbagai penjuru dunia, dicap sebagai propaganda ajaran Marxisme dan Komunisme. Namun, meski diterpa badai kecaman, Pramoedya dengan karya-karyanya tetap menjadi inspirasi bagi banyak penulis Indonesia hingga saat ini.

Ironisnya, meskipun segudang prestasi telah diraihnya, Pram tetap hanya dipandang sebagai seorang novelis dan sastrawan belaka. Padahal, lebih dari itu, mungin saja ia bisa disebut seorang pahlawan Indonesia sejati yang memperjuangkan keadilan, kebenaran, cinta, dan hak asasi manusia—terutama saat Indonesia terjajah oleh Belanda.

Melalui tokoh Minke, yang menjadi simbol perjuangan dalam Bumi Manusia, Pram mematahkan paradigma bahwa pribumi harus tunduk pada penjajah. Minke adalah pejuang yang berhasil mengukir jejak, dan Pram-lah yang menyingkapnya ke dunia.

Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca—empat buku dalam tetralogi Pulau Buru—menjadi karya agung Pramoedya Ananta Toer yang hingga kini tetap menginspirasi. Bahkan, Bumi Manusia kembali menjadi bestseller setelah diadaptasi ke layar lebar pada 2019, menggugah rasa ingin tahu generasi milenial akan kisahnya yang mendalam.

Karya yang Dicintai Gen Z

Abdal A. Choirozzad (24) seorang penjual buku bekas, menyebut Pram merupakan salah satu penulis yang karyanya perlu dibaca oleh semua kalangan. Menurutnya, lewat buku-bukunya, Pram seringkali membangun semangat perlawanan terhadap ketidakadilan.

Abdal mencontohkan salah satu novel Pram yang pernah ia baca, yakni “Arus Balik” dengan berlatar setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit dan mulai merebaknya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.

Kata Abdal, Pram dalam tulisannya itu menggambarkan betapa nafsu kekuasaan menciptakan perang yang menggugurkan banyak nyawa manusia. Nafsu kekuasaan yang tak berbatas sangat melenakan siapa pun yang memilikinya.

“Nah, apa yang ditulis Pram menjadi semakin bernilai kalau kita juga mencermati sejarah hidup Pram sebagai penulis, sebagai manusia. Dia pernah dipenjara dan diasingkan ke Pulau Buru karena tuduhan yang tak berdasar, buku-bukunya pernah dilarang oleh pemerintah, tapi Pram selalu menolak tunduk pada kekuasaan. Dia tetap menulis apa yang dia yakini benar,” kata Abdal.

Ulwanul Askan (25) seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jakarta, mengaku terkesan dengan bakat dan keberanian Pram dalam melawan ketidakadilan kolonial melalui tulisan-tulisannya.

“Bumi Manusia” yang pernah dibaca Ulwan, memberikan pandangan mendalam tentang perjuangan melawan ketidakadilan kolonial dengan karakter yang kuat dan cerita yang menggugah emosi.

Sementara itu, buku lain yang dibaca Ulwan, yakni “Di Tepi Kali Bekasi” menggambarkan kehidupan rakyat kecil dengan kepekaan yang luar biasa terhadap detail sosial dan budaya.

“Pramoedya berhasil menggabungkan sejarah dan kehidupan sehari-hari dengan cara yang sangat menarik dan menginspirasi. Buku-bukunya memberikan wawasan yang mendalam tentang masyarakat dan budaya Indonesia, serta perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan,” ujar Ulwan.

Peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer pada 6 Februari 2025 ini harus menjadi momentum bagi bangsa untuk memastikan bahwa tidak ada lagi warga negara yang dipenjara hanya karena berkarya atau bersuara dengan damai, seperti yang pernah dialami oleh Pram.

Dalam pandangan Hak Asasi Manusia, Pram adalah simbol kebebasan berpikir, bersuara, berpendapat, dan berkarya. Karya-karyanya sempat dibredel, dan dirinya dipenjara dari satu tempat ke tempat lain, termasuk di Pulau Buru. Namun, meskipun terkungkung, ia tetap menorehkan jejak tak terhapuskan bagi bangsa ini.