Komisi XI DPR akhirnya menyetujui efisiensi belanja Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di APBN 2025 sebesar Rp1,38 triliun, dari pagu Rp6,15 triliun. Sehingga anggaran auditor pelat merah ini mencapai Rp4,77 triliun.
“Tujuan efisiensi anggaran BPK Tahun Anggaran 2025 adalah untuk memperbaiki tata kelola dan tata kerja sumber daya (tenaga, biaya, dan waktu), sehingga menghindari pengeluaran yang tidak diperlukan dan mengoptimalkan hasil kerja,” kata Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) BPK di Jakarta, Jumat (14/2/2025).
Secara rinci, belanja pegawai dalam anggaran BPK tidak terjadi efisiensi atau tetap dari pagu semula yang sebesar Rp3,3 triliun. Efisiensi paling banyak terjadi untuk belanja barang sebesar Rp1,39 triliun dari pagu semula Rp2,69 triliun menjadi Rp1,36 triliun. Sementara itu, efisiensi belanja modal ditetapkan sebesar Rp56 miliar dari pagu semula Rp140 miliar menjadi Rp84 miliar.
Pada belanja barang, porsi belanja pemeriksaan mendapat porsi efisiensi yang paling besar dibandingkan belanja barang operasional dan belanja non-pemeriksaan. Belanja pemeriksaan diefisienkan sebesar Rp642 miliar dari pagu semula Rp1,3 triliun menjadi Rp657,99 miliar.
Adapun efisiensi belanja barang operasional sebesar Rp318 miliar dari pagu semula Rp670,6 miliar menjadi Rp352,6 miliar. Sedangkan, efisiensi belanja nonpemeriksaan sebesar Rp367,9 miliar dari pagu semula Rp718 miliar menjadi Rp350 miliar.
Atas pemangkasan ini, Sekjen BPK, Bahtiar Arif optimistis tidak akan berdampak kepada penurunan kinerja. BPK akan tetap menjaga prioritas pemeriksaan keuangan negara, sesuai amanat dalam peraturan perundang-undangan.
“Pemeriksaan yang masih kami anggarkan, artinya tidak termasuk dalam efisiensi anggaran yang diusulkan adalah pemeriksaan yang secara eksplisit disebutkan di dalam peraturan perundang-undangan untuk diperiksa BPK,” kata Bahtiar.
Asal tahu saja, audit yang wajib dilakukan BPK antara lain Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL), Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN), Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), Laporan Keuangan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (LKPHLN).
Masih adalagi yakni Laporan Keuangan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Selain itu, BPK mengaudit penyelenggaraan haji dan menggarap pemeriksaan dengan tujuan tertentu (DTT).
Di luar, itu, pemangkasan anggaran di BPK justru menimbulkan kekhawatiran serius. Praktik jual-beli opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) semakin tak terkendali.
Contoh kasusnya sudah banyak, salah satunya WTP untuk Kementerian Pertanian (Kementan) era Syahrul Yasin Limpo yang dibanderol Rp12 miliar.
Kasus ini menyeret Kepala Subauditorat di Auditorat Utama Keuangan Negara IV BPK, Victor Daniel Siahaan, serta salah satu anggota BPK yang terafiliasi dengan Partai Gerindra, Haerul Saleh.