Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalan, Feri Amsari mengungkap tiga problem besar kepemiluan pasca-pernyataan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut kepala negara berhak berkampanye hingga memihak pasangan Capres-Cawapres pada Pemilu 2024.
Pertama, Feri melihat pernyataan sensasional itu setidaknya telah menggambarkan bahwa cawe-cawe yang dilakukan kepala negara bukan sekadar isu belaka. Namun sudah menjadi kenyataan dengan bukti pernyataan dari Jokowi.
“Presiden bahkan sama sekali tanpa malu-malu mem-print out Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 299,” kata Feri dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (28/1/2024).
“Tapi Presiden tidak baca undang-undang yang lain. Misalnya pasal 5 undang-undang 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN yaitu korupsi, kolusi, nepotisme,” sambung dia.
Sebagaimana diamanatkan pasal 5 tersebut, Jokowi dilarang melakukan tindakan yang tidak bertanggung jawab, dan melakukan tindakan yang akan menguntungkan keluarganya sendiri.
“Jadi memang bahwa ada sesuatu yang bermasalah terutama di ruang etik. Apakah kemudian patut seorang presiden mengedepankan ketentingan anaknya? Kalau dalam agama itu ada ibumu, ibumu, ibumu. Tapi dalam masa kampanye jadi anakmu, anakmu, anakmu,” tutur Feri, menerangkan.
Masalah kedua, lanjut Feri, yakni ada pada penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu. Secara khusus, Feri menyoroti sikap standar ganda KPU dalam mencermati keputusan MK.
Di satu sisi menghormati keputusan MK terkait usia capres-cawapres yang memuluskan jalan pencalonan kandidat tertentu untuk berkontestasi dalam tingkat pilpres. Namun di sisi lain, KPU justru mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi terkait keterlibatan perempuan.
Mengingat, masih adanya parpol yang tidak memenuhi jumlah minimal 30 persen perempuan untuk beberapa daerah pemilihan.
“Jadi penyelenggara pemilu juga pilih peraturan apa yang mau digunakan untuk kebenaran. Sampai mengatakan presiden harus buat SK cuti sendiri,” ujar Feri, menyesalkan.
Ketiga, Feri menyorot terbatasnya ruang partai politik yang disebutnya ‘nanggung’ bicara pemilu yang bersih, langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, serta diselenggarakan lima tahun sekali.
“Partai politik lebih memilih apa yang menguntungkan mereka. Tidak ada partai yang betul-betul serius memperjuangkan luber judil ini. Kalau itu menguntungkan, jangan dikritik. Kalau lawan yang diuntungkan, baru dikritik,” pungkasnya.
Leave a Reply
Lihat Komentar