Pemisahan gelaran Pemilu Legislatif (Pileg) dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) menjadi salah satu usulan yang dibahas saat Komisi II DPR menggelar RDPU dengan para akademisi terkait evaluasi pemilihan serentak 2024.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf menyoroti kompleksitas Pemilu serentak atau yang berlangsung bersamaan, terutama dalam konteks pemilihan legislatif dan presiden. Ia menilai pemilih memiliki beban karena harus memilih dari ratusan calon dalam satu waktu.
Ironisnya, kata dia, pemilih akan lebih terfokus pada gelaran Pilpres. Sehingga daya tarik caleg tak lagi ditangkap mata publik. “Bintangnya itu hanya capres. Yang caleg ini nggak ada yang jadi bintang, melempem semua,” ujar Dede saat rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (26/2/2025).
Dede juga mempertanyakan kemungkinan pemisahan pemilu nasional dan daerah. Ia mempertanyakan apakah sistem saat ini efektif atau justru perlu penyesuaian agar proses pemilihan lebih optimal dan tidak membebani pemilih serta penyelenggara pemilu.
Dia juga menyoroti kemungkinan jarak waktu antara pemilu dan pilkada yang ideal. Ia mengkaji skenario pemilu yang digelar pada 2029, diikuti pilkada dua tahun setelahnya pada 2031. “Apakah jaraknya harus dua tahun atau bisa lebih singkat agar masa jabatan tidak terlalu panjang?” tanyanya.
Sebelumnya, pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan pihaknya masih menemukan 7 masalah klasik dan berulang di gelaran Pilkada serentak 2024. Hal itu ia sampaikan saat Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi II DPR RI soal evaluasi pemilihan serentak nasional tahun 2024.
Titi mengatakan, persoalan biaya politik yang tinggi masih terjadi di ruang-ruang gelap yang tidak kompatibel dengan akuntabilitas laporan dana kampanye pasangan calon (paslon).
“Kalau dilihat laporan dana kampanye paslon semua masuk akal, semua realistis, tapi Pilkada biaya tinggi selalu menjadi keluhan,” ujar Titi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2025).
Selain itu, praktik politik uang atau jual beli suara masih kerap terjadi. Bahkan, menurutnya praktik itu dikemas dengan kontrak politik berbasis privat. Yang mana transaksionalnya menyertakan angka-angka per pemilih dengan kemasan kontrak politik.
Kemudian, soal politisasi dan ketidak netralan ASN dan Kepala Desa yang kemudian berdampak pada pemungutan suara ulang dan diskualifikasi calon.
“Juga keberpihakan dan penyalahgunaan wewenang oleh petahana. Ini masih terjadi dan juga penyelenggara negara dan daerah, khususnya ketika berkelindan dengan hubungan keluarga dan kekerabatan,” papar Titi.
Masalah selanjutnya yakni sentralisasi rekomendasi pencalonan yang mewajibkan rekomendasi DPP. Menurut Titi, hal itu mengakibatkan problematika yaitu soal keluhannya praktik politik mahar, mahar politik, dan juga politik biaya tinggi.