“Kalau saya melawan, nanti perang saudara. Perang saudara itu sulit. Jikalau perang dengan Belanda, kita jelas… Hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak…” kata Presiden Pertama RI Soekarno, saat menerima surat untuk meninggalkan Istana Negara, usai di-mosi tak percaya MPRS, 1967 silam.
Bung Karno, sapaan akrabnya, bisa saja melawan. Di belakangnya ada 36 ribu pasukan Angkatan Udara dan 44 ribu pasukan Angkatan Laut, separuhnya Korps Marinir KKO. Tapi sang proklamator memilih menekan emosi pribadinya untuk kepentingan lebih besar, hindari permusuhan.
Nilai-nilai dari sikap kelegawaan seorang negarawan seperti ini yang nampaknya mulai memudar dari PDIP, partai yang selalu mengklaim menjalankan ideologi Bung Karno. Partai banteng moncong putih, belakangan jadi sorotan, karena sikap Ketum Megawati Soekarnoputri yang melawan proses penegakan hukum atas Sekjen Hasto Kristiyanto oleh KPK di kasus suap Harun Masiku.
Drama pembelaan ini sudah berlangsung sejak Desember lalu. Saat Hasto masih diperiksa sebagai saksi pun Megawati lantang membela, mengancam akan mendatangi kantor lembaga antirasuah. “Kalau Hasto itu ditangkap, saya datang. Saya enggak bohong. Kenapa? Saya ketua umum, bertanggung jawab kepada warga saya, dia adalah Sekjen saya,” ujar Megawati dalam sebuah peluncuran buku di Jakarta, Kamis (12/12/2024). Pernyataan ini tak sepenuhnya diterima masyarakat. Bahkan ada yang kontra dan melakukan aksi demonstrasi di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Senin (30/12/2024), enam hari setelah KPK tetapkan Hasto tersangka.
“Bu Mega engkau mantan presiden kami, Bu Mega mohon maaf, engkau salah satu putri proklamator, tapi hari ini kami meragukan ideologi Bung Karno itu apakah masih ada di dalam dirimu atau tidak? Kok tega-teganya mau mendatangi Kapolri, mendatangi KPK, hanya untuk membela Hasto Kristiyanto yang jelas-jelas hari ini dia ditersangkakan sebagai pelaku suap, gratifikasi, dan korupsi, yang jelas-jelas menyamakan dirinya dengan ayahanda Ibu Mega,” kata sang orator unjuk rasa kala itu.
Puncaknya, Hasto ditahan pada Kamis (20/2/2025), Megawati menginstruksikan seluruh kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dari PDIP menunda keberangkatan mereka menuju Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah, untuk melakukan retret dari tanggal 21 sampai 28 Februari 2025. Instruksi disampaikan melalui surat bernomor 7294 /IN/DPP//2025, beberapa jam setelah Hasto berompi oranye.

“Hemat saya, imbauan penundaan keberangkatan kader PDIP adalah bentuk manuver dan bargaining position Mega terhadap Presiden Prabowo Subianto yang dianggap semestinya bisa melakukan intervensi pada KPK,” tutur Direktur Riset Trust Indonesia Ahmad Fadhli kepada Inilah.com.
Aksi ‘boikot’ yang diperintahkan Megawati tak bisa dilabeli sebagai bagian demokrasi, karena merusak sinergisme antara pemerintah pusat dengan daerah. Memicu juga permusuhan kubu partai pendukung Presiden Prabowo Subianto.
“Dan berakibat pada sistem pemerintah yang tidak koheren, serta pada akhirnya mengorbankan kepentingan publik. Negatifnya adalah kepala daerah yang berasal dari PDIP akan terhambat secara struktural dalam hal sinkronisasi dengan pemerintah pusa,” ucap pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA) Herry Mendrofa saat berbincang dengan Inilah.com, Jakarta, Minggu (23/2/2025).
Belakangan diklarifikasi oleh juru bicara PDIP Ahmad Basarah. Dia mengatakan, Megawati tak pernah melarang melainkan menunda, dan tetap mempersilakan para kepala daerah bersiaga di wilayah masing-masing. “Ibu Megawati Soekarnoputri sangat jelas meminta kepada seluruh kadernya yang terpilih sebagai Kepala Daerah di Pilkada 2024 untuk menunda terlebih dahulu perjalanan mereka ke Magelang, Jawa Tengah, dan menunggu arahan lebih lanjut dari Ketua Umum PDI Perjuangan,” kata Basarah dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (25/2/2025).
PDIP Bisa Tersisih
Publik kadung kecewa dengan sikap Megawati, tercermin dari temuan Media Survei Nasional (MEDIAN) soal persepsi publik pengguna media sosial terhadap dinamika politik. Dalam paparan temuannya di Jakarta, Senin (24/2/2025), sebanyak 85,7 persen responden mengetahui isu penahanan Hasto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari jumlah tersebut, 55,8 persen menilai penahanan tersebut sebagai langkah hukum murni. Survei juga menyoroti instruksi PDIP agar kepala daerah dari partai tersebut tidak ikut retret. Sebanyak 46,1 persen tidak setuju.
“Bisa jadi. Jika hasil survei seperti itu, kalau PDIP tetap bertahan dengan instruksinya bisa berdampak pada kepercayaan publik,” tutur peneliti senior bidang politik Badan Research dan Inovasi Nasional (BRIN), Lili Romli, kepada Inilah.com.
PDIP mestinya sadar bukan lagi menjadi ruling party, partai penguasa, tentu tantangannya ke depan semakin besar. Seharusnya, Megawati tak menambah daftar seteru. Sebelumnya, sudah ada Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo. Kedekatan dua mantan kepala negara ini dengan Presiden Prabowo jangan diragukan. Mereka bertiga kompak meresmikan BPI Danantara dan hadiri parade senja di Magelang. Terlebih Prabowo juga sempat memekik ‘Hidup Jokowi’ saat HUT Partai Gerindra belum lama ini. “Boleh jadi ini juga jadi representasi sikap Prabowo terhadap opsi bergabungnya PDIP ke dalam pemerintahan,” Direktur Riset Trust Indonesia Ahmad Fadhli.

“Penegasan itu menjadi tolok ukur sikap politik Prabowo terhadap PDIP. Mungkin pada waktu ini, dengan keberadaan KIM plus sebanyak 84 persen, Prabowo belum terlalu membutuhkan dukungan PDIP dan merasa cukup dengan modal kekuatan yang dimiliki saat ini,” kata dia lagi.
Nasi sudah jadi bubur, Pembina Masyarakat Keilmuan dan Teknologi (MITI) Mulyanto mengingatkan dalam berpolitik jangan setengah-setengah. Jika memang PDIP sudah bersikap menjadi oposisi lewat aksi ‘boikot’ retret kepala daerah dan tindakan lainnya, Megawati juga melepas jabatannya sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Langkah ini, lanjut dia, bukan hanya menggambarkan komitmen PDIP pada idealisme politik. Mulyanto menilai bila Megawati mundur dari posisi sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN, maka akan mengundang simpati sebagai sikap negarawan. “Sikap tegas ini akan menjadi titik balik bagi perjalanan perpolitikan tanah air. Sekaligus memberikan kesempatan kepada PDIP untuk lebih fokus dan konsentrasi dalam menangani berbagai permasalahan yang menghadangnya di depan mata dan membutuhkan proses konsolidasi, ” ujarnya .
[Rez/Vonita/Reyhaanah].