Bulan Ramadan merupakan bulan pendidikan. Bagi anak-anak maupun orang dewasa, Ramadan menjadi ruang tempaan yang penting bagi jiwa dan raga. Khusus untuk anak-anak di usia sekolah, ada ragam program yang dirancang oleh sekolah untuk mendidik anak-anak agar memanfaatkan bulan penuh berkah ini dengan optimal. Meski demikian, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan agar nilai-nilai Ramadan terinternalisasi dengan optimal di ruang pendidikan.
Jika bicara pendidikan, dalam beberapa kesempatan Ki Hadjar Dewantara (KHD) selalu menyampaikan relasinya dengan budi pekerti. Pendidikan budi pekerti dalam pandangan KHD dititikfokuskan pada: keharusan manusia yang cerdas dan berbudi, bertujuan agar anak-anak dapat memerintah diri sendiri, menahan hawa nafsu, menetapkan garis tata tertib untuk diri sendiri (self-discipline), kesadaran penaklukan diri untuk kepentingan umum, dan keikhlasan manusia untuk mengorbankan diri untuk cita-cita bersama yang luhur dan suci. Merujuk pada pandangan KHD tersebut, maka latihan mental untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat menggunakan medium bulan Ramadan, dan hal tersebut tidak hanya berlaku untuk anak-anak, tetapi juga untuk orang dewasa yang mendampingi anak-anak.
Sebab sangat benderang, budi pekerti bukan diajarkan melalui kata-kata tetapi juga dalam tingkah laku keseharian. Budi pekerti bukan perkara narasi, tetapi laku nyata dalam aktivitas yang dengan mudah dipotret oleh anak-anak. Apa yang dilisankan akan segera mudah teranulir oleh tindakan yang terlihat nyata. Pada posisi ini, kegiatan mendidik bukan sebatas transfer pengetahuan tetapi proses yang terus berkelanjutan. KH. Syaifuddin Zuhri dalam “Guruku Orang-Orang Pesantren” memaparkan bahwa guru yang baik adalah jika omongannya didengar dan dipercayai, selain itu juga tingkah lakunya dijadikan panutan oleh para muridnya. Ia menambahkan, kewibawaan guru terletak pada tutur kata dan perbuatannya sendiri (Zuhri, 2001).
Dalam konteks hari ini, maka pihak sekolah perlu bekerja sama dengan orang tua dan komunitas untuk membangun praktik yang membuat ibadah puasa yang dijalankan oleh anak-anak menjadi lebih berkesadaran dan bermakna. Dalam poin ini, anak-anak dapat menjalani ibadah puasa dengan penuh suka cita dan sadar bahwa apa yang dijalankan oleh mereka sangat berarti bagi kehidupan personal juga untuk keseharian. Berat sekali ya? Memang berat, sebab itu memerlukan kerja bersama dari seluruh pihak. Untuk menjadikan internalisasi nilai-nilai dan praktik-praktik ibadah Ramadan berjalan dengan optimal, maka perlu ada beberapa strategi.
Pertama, jika kembali menggunakan pendekatan yang diajukan oleh KHD, maka perlu ada pemberian contoh, pembiasaan, pengajaran, serta pengalaman lahir dan batin setiap anak dalam menjalankan ibadah Ramadan. Jadi, tak cukup hanya menggunakan ceramah yang membutuhkan ketekunan mendengarkan. Coba cek saja ketika pesantren kilat yang diselenggarakan di sekolah hanya mengedepankan “tradisi lisan”, niscaya apa yang diharapkan dalam pembentukan manusia berkarakter di bulan Ramadan hanya akan melintas saja. Anak akan segera lupa dengan apa yang disampaikan para penceramah di berbagai pertemuan. Bahkan sudah bisa diprediksi, di saat ini, meminta anak-anak untuk bertahan mendengarkan ceramah-ceramah saja sudah merupakan kerja ekstra dari para guru. Apalagi jika narasi-narasi yang disampaikan dianggap kurang relevan dengan keseharian anak-anak.
Kedua, orang dewasa perlu memberikan gambaran terkait ibadah Ramadan dan mengapa setiap muslim perlu menjalankan ibadah Ramadan. Tentu saja pada tahap ini ada aspek-aspek substantif keagamaan yang terkait dengan iman. Tetapi juga di konteks saat ini “apa manfaat bagi-ku” – meminjam istilah dari Bobbi DePorter dan Mike Hernacki di Buku Quantum Learning – dari ibadah puasa perlu juga disampaikan kepada anak-anak.
Misal dapat dipantik dari segi “apa manfaat puasa bagi-ku”, mengapa ada perintah puasa bagi setiap orang yang beriman? Dan pertanyaan-pertanyaan pemantik lainnya. Pada titik inilah diskusi antara anak-anak dengan orang dewasa dapat dilakukan. Diskusi penuh makna seperti ini memang tidak mudah, namun dalam ruang pendidikan dewasa ini perlu dilakukan agar ibadah yang dilakukan menjadi lebih bermakna. Sebab ketika anak-anak tidak mendapatkan penjelasan mendalam, ada titik di mana mereka hanya menjalankan ibadah Ramadan, terutama puasa, ketika ada orang-orang dewasa yang mengawasi atau mengontrol.
Ketiga, setiap anak tentu membawa pemahaman masing-masing terkait apa dan bagaimana ibadah Ramadan dilakukan. Sebab itu, guru dapat meminta anak-anak bercerita terkait dengan pemahaman apa yang sudah anak-anak pahami terkait ibadah Ramadan tersebut. Dari titik ini, guru dapat mendesain program yang kontekstual dan relevan dengan kebutuhan anak-anak. Problem pendidikan kita hingga kini adalah menyamaratakan pengetahuan awal dari setiap anak sehingga membuat intervensi pendidikan selalu tidak cocok menyasar kebutuhan tumbuh kembang anak-anak.
Keempat, ibadah Ramadan adalah perkara personal dan sosial maka anak-anak perlu diajak untuk mendiskusikan mana yang masuk ke ranah personal dan mana yang sosial. Jika terkait personal, maka anak-anak butuh panduan yang memungkinkan mereka dapat menelusuri peningkatan kebiasaan baik yang sudah mereka lakukan di masa Ramadan. Daftar kegiatan ibadah memang terlihat “jadul” tetapi masih sangat efektif untuk memantau aktivitas ibadah yang bersifat personal yang sudah dilakukan selama bulan Ramadan. Beri pemahaman bahwa “check-list” tersebut bukan semata menandakan bahwa mereka sudah melakukan aktivitas ibadah, tetapi juga penuh kesadaran dalam melaksanakan aktivitas ibadah tersebut. Artinya tanpa ada paksaan, atau ketika belum mampu melaksanakan maka harus jujur dalam melaporkan “check-list” tersebut.
Kelima, orang tua, sekolah, dan komunitas perlu memberikan perhatian pada waktu kosong anak-anak di masa Ramadan. Ketika ada momen di mana anak-anak diberi kelonggaran untuk melaksanakan aktivitas di luar sekolah, maka peran orang tua dan komunitas untuk memberikan pendampingan bagi anak-anak. Di masyarakat yang ikatan komunalnya lebih longgar, tentu saja pengawasan dari komunitas agak sulit untuk diharapkan. Pada titik ini, meminimalisir ruang dan waktu kosong anak-anak menjadi sangat penting. Sebab, seperti yang sudah terjadi di masyarakat, waktu-waktu kosong ini menjadi masa yang rawan dan dijadikan aktualisasi hal-hal buruk yang tidak sesuai dengan moral dan hukum. Tawuran, balapan liar, atau aktivitas desktruktif bagi diri ataupun masyarakat sering terjadi di waktu-waktu kosong ini. “Ruang kosong” ini yang sering terlambat diantisipasi, sehingga baru menimbulkan shock ketika ada kejadian yang menimbulkan korban jiwa. Tentu saja tindakan desktruktif yang terjadi di bulan Ramadan merupakan paradoks.
Keenam, bangunan kesadaran bahwa Ramadan adalah bulan penuh rakhmat perlu diimplementasikan dalam ruang empirik. Dalam konteks personal, anak-anak perlu diajak untuk menyelami berbagai aktivitas yang memampukan mereka untuk toleran terhadap yang berbeda, membangun rasa keadilan sosial, keinginan untuk berbagi, dan membangun etika pribadi dan komunal. Hal mendasar misalnya terkait konsumsi.
Jika kita coba menangkap hikmah Ramadan, salah satunya adalah kemampuan untuk menahan diri. Maka ketika di bulan Ramadan kita cenderung konsumtif, itu saja sudah tak masuk logika dan inti ibadah Ramadan. Pada titik ini, diskusi guru dan siswa perlu dibiasakan. Pada proses ini pendidikan tidak berjalan secara searah, sebab tidak hanya bagi anak-anak, para orang dewasa pun perlu menyelami hikmah Ramadan lebih dalam. Apalagi orang dewasa menjadi contoh yang nyata dalam tindakannya selama di bulan suci ini.
Dan tidak hanya bagi anak-anak, bulan Ramadan sebagai arena pendidikan juga berlaku bagi orang dewasa, sebab tak ada yang menjamin laku orang dewasa lebih baik ketimbang laku anak-anak di bulan Ramadan. Sebab itu, pembelajaran terbaik di bulan Ramadan adalah saling belajar dan mendidik.
Ketujuh, perlu ada program yang nyata yang didesain oleh sekolah agar ada aktivitas yang dilaksanakan oleh anak-anak dalam memaknai ibadah Ramadan. Sekolah-sekolah perlu kreatif membangun metode atau model baru dalam mengejawantahkan nilai-nilai luhur ibadah Ramadan. Berbagi dengan masyarakat atau aktivitas lainnya harus dibangun bersama penuh kesadaran, sehingga hal tersebut akan membekas di relung terdalam anak-anak, juga bagi orang dewasa yang mendampingi. Dalam konteks beberapa hari ini, ketika banjir mengepung di beberapa wilayah, anak-anak dapat diajak untuk menggalang dana dan diberikan kepada pihak yang membutuhkan.
Kedelapan, dalam konteks Indonesia yang sangat multikultural, di mana di sekolah-sekolah, terutama di sekolah negeri, terdapat ragam anak dengan latar yang berbeda, maka bulan Ramadan menjadi bulan perjumpaan untuk mengokohkan toleransi dan rasa saling menghormati. Misal antar anak bisa belajar soal bagaimana pemaknaan puasa yang juga ada di antara kelompok keagamaan yang berbeda. Dari dialog tersebut diharapkan ada rasa saling mengerti dan memahami perbedaan yang ada. Selain itu, baik yang berpuasa dan yang tidak berpuasa dapat saling menghormati dan mendukung.
Poin-poin tersebut tentu sangat menantang untuk diinternalisasikan di ruang pendidikan, khususnya di bulan Ramadan. Tapi kita semua mafhum bahwa apapun yang berkaitan dengan pendidikan bukan perkara yang mudah dilakukan. Oleh sebab itu, guru-guru dan para orang tua perlu merapatkan barisan untuk membantu anak-anak melalui bulan penuh pelajaran ini. Dan jika kita mau lebih jujur, proses tersebut juga menjadi pendidikan terbaik bagi orang dewasa yang menemani anak-anak. Karena pada dasarnya di bulan Ramadan ini bukan semata anak-anak yang belajar, tetapi juga orang-orang dewasa. Bukan hanya anak-anak yang menempa diri, tetapi juga orang dewasa. Mari kita belajar bersama.