Suka atau tidak, daya beli masyarakat Indonesia masih belum pulih, khususnya kelas menengah ke bawah. Pemicunya karena banyak perusahaan tutup menimbulkan puluhan ribu pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tentu saja, ambruknya daya beli dan ngamuknya PHK menjadi alat penekan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Belum lagi efisiensi anggaran membuat uang semakin sulit didapatkan.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat-Universitas Indonesia (LPEM-UI), Teuku Riefky meramalkan perekonomian nasional hanya tumbuh 5,1 persen. Atau di bawah target yang tersemat alam APBN 2025 sebesar 5,2 persen hingga 5,3 persen.
“Turunnya daya beli, khususnya kelas menengah, penurunan produktivitas berbagai industri dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Menjadi masalah serius bagi perekonomian nasional pada tahun ini,” ujar Riefky, dikutip Kamis (6/3/2025).
Terkait PHK, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat 77.965 orang pekerja yang terdampak PHK periode Januari-Desember 2024.
Angka itu meningkat 20,21 persen secara tahunan atau year on year/yoy, dibandingkan Januari-Desember 2023 sebanyak 64.855 orang.
Awal tahun, jumlahnya terus bertambah. Dimulai dengan dua perusahaan asal Jepang yakni PT Yamaha Music Indonesia dan PT Sanken Indonesia, memilih tutup. Dampaknya terjadi PHK lebih dari 2.400 pekerja.
Disusul dengan tutupnya raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman (SRIL) Tbk atau Sritex yang resmi tutup pada 1 Maret 2025. Atau bertepatan dengan 1 Ramadan 1446 Hijriyah.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,1 persen di kuartal I-2025.
Hal ini terjadi karena pola musiman dari Ramadan yang diproyeksikan akan mendorong konsumsi, serta pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) yang akan meningkatkan daya beli untuk kebutuhan mudik saat momentum Hari Raya Idul Fitri.
“Pemberian THR secara umum memang akan meningkatkan konsumsi terutama dikarenakan untuk kebutuhan perayaan lebaran, mudik, dan liburan,” ujar Josua.
Josua menggarisbawahi, konsumsi masyarakat saat ini, cenderung terjaga karena inflasi inti masih terjaga di level 2,48 persen (year on year/yoy). Di mana, deflasi pada Februari 2025 lebih disebabkan oleh diskon tarif listrik.