Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan sebanyak 16 daerah tidak sanggup membiayai Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada 2024.
Sayangnya dia tak merinci daerah mana saja yang tak sanggu membiayai PSU. “Dari 24 PSU, ada sekitar 16 tidak sanggup membiayai sendiri PSU,” kata Dede, dikutip di Jakarta, Jumat (7/3/2025).
Terkait dengan cukup banyaknya daerah di Indonesia yang harus menggelar PSU, Dede menyoroti bahwa hal tersebut berawal dari lemahnya kinerja KPU di tingkat daerah.
“Kalau mau jujur, kenapa bisa PSU, lemahnya penyelenggara di bawah. Kebanyakan kan masalah ijazah, ada yang tidak cermat kalau kami katakan. Ada yang mantan narapidana itu masih lolos, itu menurut saya yang kayak gini harus kita ubah,” katanya.
Menurut Dede, pembiayaan PSU di 24 daerah di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai Rp750 miliar, dan masih di luar dana pengamanan.
“Kalau plus biaya pengamanan, plus pilkada ulang, bisa mencapai Rp900 miliar sampai Rp1 triliun,” ucapnya.
Dede mengatakan soal pembiayaan PSU tersebut masih menunggu skema yang ditawarkan pemerintah yakni pembiayaan yang akan dibantu juga oleh pemerintah provinsi yang akan disampaikan dalam Rapat Kerja Komisi II pekan depan.
“Saya dapat informasi, pemerintah sudah siap. Salah satunya menggunakan dukungan dari pemerintah provinsi seperti hari ini,” tuturnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengingatkan para penyelenggara pemilu, khusus Komisi Pemilihan Umum (KPU) jangan sampai lolos dari sanksi. Sebab, ketelodaran dalam penyelenggaraan Pilkada kemarin telah menyebakan adanya Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 24 wilayah.
Haidar mengatakan, perlu ada evaluasi dari tingkat pusat hingga daerah guna memastikan ada tidaknya anggota KPU di daerah yang punya motivasi politik sehingga berujung pada PSU.
“Seharusnya mereka bertanggung jawab atas permasalahan ini. Jika ada, yang bersangkutan harus direkomendasikan untuk diberhentikan,” terang Hadar saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu (1/3/2025).
Hadar juga mengatakan aparat penegak hukum dapat turun tangan jika menemukan indikasi tindak pidana. Indikasi tersebut dapat berupa perilaku transaksional guna meloloskan calon atau pasangan calon yang sebetulnya tidak memnuhi syarat.
Dia juga mendorong agar ada yang segera melapor ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). “Karena diduga melanggar kode etik. Pihak DPR perlu dapat juga merekomendasikan proses pemberhentian ke DKPP,” ujarnya.