Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menyoroti akar masalah minimnya penghimpunan zakat di Indonesia.
Menurutnya, potensi zakat di Tanah Air sebenarnya sangat besar, namun realisasinya masih jauh dari angka ideal akibat regulasi perpajakan.
Hal itu diungkap Nasaruddin saat menjadi khatib salat Jumat di titik pemancangan perdana Masjid Al-Ikhlas PIK di Simpang Empat, Riverwalks PIK, Tangerang, Jumat (7/3/2025).
“Zakat kita kelola dengan baik. Kalau kita hitung, berapa deposito, berapa tabungan yang menggunakan KTP Islam di bank-bank seluruh Indonesia, seharusnya zakat mal itu mencapai Rp230 triliun per tahun,” ujarnya.
Sejatinya, potensi zakat di Indonesia setiap tahunnya jauh lebih besar dari angka yang disebutkan oleh Menag. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) RI mencatat, potensi zakat nasional mencapai Rp327 triliun per tahun. Namun, realitanya, penghimpunan Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) saat ini baru menyentuh angka Rp41 triliun per tahun.
“Tapi BAZNAS sekarang di Indonesia hanya mampu mengumpulkan Rp41 triliun per tahun. Kenapa? Karena ada pajaknya juga,” beber dia.
Lantas demikian, Nasaruddin pun membandingkan sistem perpajakan di Indonesia dengan Malaysia, di mana pembayaran zakat dapat langsung mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar oleh seseorang.
“Di Malaysia, zakat itu digunakan faktor pengurangan pajak. Misal saya bayar Rp500 juta zakat. Jadi kuitansi pembayaran saya Rp500 juta itu faktor pengurangan pajak di kantor pajak,” beber Nasaruddin.
“Seharusnya saya bayar pajak Rp1 miliar, tapi karena saya sudah membayar zakat Rp500 juta, maka pajak saya hanya Rp500 juta, karena saya sudah bayarkan zakat,” ujar dia menambahkan.
Menurutnya, kebijakan ini membuat masyarakat di Malaysia lebih terdorong untuk membayar zakat, tanpa mengurangi penerimaan negara dari pajak.
“Apa yang terjadi di Malaysia? Pajaknya maksimum, zakatnya pun maksimum. Sementara di Indonesia, pajaknya tidak maksimum, zakatnya pun tidak maksimum. Kenapa? Karena zakat kita hanya menjadi faktor pengurang objek pajak,” pungkasnya.