Lebanon menghadapi peningkatan tajam dalam gangguan penglihatan menyusul serangan pager mematikan di Israel pada 17 September 2024. Peristiwa sadis itu menyebabkan ratusan orang buta dan mendorong tingkat kebutaan di negara itu menjadi salah satu yang tertinggi per kapita di dunia.
Serangan tersebut, yang secara luas dikutuk sebagai kejahatan perang, dilaporkan ditujukan untuk menargetkan pejuang Hizbullah tetapi karena sifatnya yang membabi buta mengakibatkan banyaknya korban sipil dan cedera massal. Pada akhirnya bom pager ini telah memperparah krisis kemanusiaan yang sudah mengerikan di Lebanon.
Menurut aktivis hak disabilitas Ibrahim Abdullah, mereka yang terluka dalam serangan itu bergabung dengan sekitar 15.000 hingga 17.000 penyandang tunanetra di Lebanon, dengan setidaknya 8.000 di antaranya terdaftar secara resmi. Berbicara kepada harian Lebanon Al-Akhbar, Abdullah mengatakan lonjakan gangguan penglihatan kini menjadikan Lebanon salah satu negara dengan tingkat kebutaan per kapita tertinggi di dunia.
Serangan pager sangat merusak karena sifatnya yang menipu. Perangkat tersebut dilaporkan memancarkan peringatan notifikasi yang dirancang untuk menarik perhatian. Korban secara naluriah mendekatkan pager ke wajah mereka untuk memeriksa pesan – dan kemudian perangkat tersebut meledak.
Ledakan jarak dekat tersebut menyebabkan cedera wajah yang serius, dengan pecahan peluru merobek mata korban, mengakibatkan kebutaan yang luas dan cacat permanen. “Tujuan mereka jelas, yaitu menyebabkan kerusakan sebesar-besarnya,” kata Abdullah. “Perangkat itu dirancang untuk meledak saat dipegang setinggi mata, itulah sebabnya banyak kasus gangguan penglihatan parah terjadi.”
Berjuang dengan Insfrastruktur Terbatas
Para penyintas kini menjalani kehidupan tanpa penglihatan di negara dengan infrastruktur terbatas dan dukungan sosial minimal bagi para penyandang disabilitas. Meskipun jumlah lulusan universitas tuna netra relatif tinggi dibandingkan dengan kelompok disabilitas lainnya, tingkat pengangguran di kalangan komunitas tuna netra di Lebanon tetap sangat tinggi.
Amr Makarem, Ketua Asosiasi Pemuda untuk Tunanetra, mengatakan kepada Al-Akhbar bahwa pendekatan Lebanon yang ketinggalan zaman terhadap disabilitas telah memperburuk krisis. “Masyarakat kita masih percaya bahwa orang-orang penyandang disabilitas harus ditempatkan di lembaga perawatan daripada diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari,” kata Makarem.
Pengecualian ini juga berlaku di bidang pendidikan. Meskipun Kementerian Pendidikan Lebanon mengklaim telah menyediakan 117 sekolah inklusif untuk mengakomodasi siswa dengan berbagai kebutuhan, Al-Akhbar melaporkan bahwa hanya sedikit sekolah yang siap untuk mendukung siswa tunanetra dengan baik.
“Sebagian besar yang disebut ‘sekolah inklusif’ tidak benar-benar inklusif,” kata Makarem. “Banyak yang hanya menugaskan guru bayangan untuk siswa tunanetra, yang sering kali membatasi kemandirian mereka alih-alih mendorongnya.”
Layanan kesehatan juga menjadi tantangan serius bagi penduduk Lebanon yang baru saja mengalami kebutaan. Banyak di antara mereka yang memerlukan perawatan berkelanjutan untuk kondisi seperti glaukoma atau operasi rekonstruksi wajah, namun kurangnya regulasi yang jelas di Lebanon berdasarkan Undang-Undang Disabilitas 220/2000 telah membuat mereka tidak memiliki dukungan penting.
Meskipun undang-undang tersebut menjanjikan layanan kesehatan yang komprehensif, layanan tersebut sebagian besar masih belum tersedia karena tidak adanya langkah-langkah implementasi yang terperinci.
Mobilitas menjadi perhatian utama lainnya. Menurut Al-Akhbar, penyandang tuna netra menghadapi pelecehan dan eksploitasi terus-menerus di sistem transportasi umum Lebanon yang tidak dapat diandalkan.
Serangan pager tersebut menuai kecaman keras dari kelompok hak asasi internasional. Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan tahun lalu, Amnesty International menyerukan penyelidikan internasional untuk meminta pertanggungjawaban pelakunya.
“Serangan-serangan ini memiliki ciri-ciri mimpi buruk distopia yang mengerikan,” kata Aya Majzoub, wakil direktur Amnesty untuk Timur Tengah dan Afrika Utara. Ia menggambarkan penggunaan alat peledak yang disamarkan sebagai metode yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan secara mengerikan menargetkan warga sipil.
Amnesty menekankan bahwa serangan tersebut merupakan kejahatan perang berdasarkan hukum humaniter internasional. Israel tidak mungkin mengetahui siapa yang akan mengambil pager tersebut atau siapa lagi yang berada di dekatnya saat pager tersebut meledak, sehingga serangan tersebut tidak pandang bulu dan melanggar hukum.