Korupsi, Danantara, dan Ancaman Negara Gagal


Beberapa waktu lalu, Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kembali mengusut dugaan kasus korupsi di tubuh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Ini menambah daftar panjang skandal korupsi di tubuh BUMN yang semakin mencoreng wajah negara. Kasus Pertamina yang belum tuntas, kini ditambah lagi dengan PLN. Seolah-olah korupsi telah menjadi pola yang terus berulang tanpa henti.

Kasus-kasus korupsi di BUMN tak lagi sporadis. Ini sudah menjadi pola. Dari PT Timah, PT Aneka Tambang (ANTAM), Pertamina, PLN, Hutama Karya (HK), dan entah berapa lagi yang belum terungkap. Kepercayaan publik terhadap BUMN semakin terkikis. Bagaimana mungkin perusahaan negara yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi justru menjadi sarang penyelewengan?

Di tengah kondisi buruk ini, pemerintah malah membentuk Daya Anagata Nusantara (Danantara), sebuah Badan Pengelola Investasi Pemerintah. Katanya untuk meningkatkan efektivitas investasi, tapi mengapa orang-orang yang duduk di dalamnya bukan ahli investasi, melainkan para pejabat dengan afiliasi politik yang kental? Ini ironi yang sempurna. Aneh bin ajaib ketika lembaga yang mengelola dana besar diisi oleh mereka yang rekam jejaknya jauh dari dunia investasi.

Jika kita gali lebih dalam, aturan main Danantara yang tertuang dalam UU No 1 Tahun 2025 justru semakin menimbulkan tanda tanya. Pasal 3X ayat 1 menyatakan bahwa organ dan pegawai badan ini bukan penyelenggara negara. Ini berarti mereka tidak wajib melaporkan harta kekayaannya ke KPK. Hal ini bertentangan dengan prinsip akuntabilitas, karena sulit untuk mendeteksi apabila ada pertumbuhan kekayaan tidak wajar sebelum, selama dan setelah mereka menjabat. Ketika ada suatu kasus pun, mereka dapat berkilah bahwa harta mereka diperoleh sebelum menjabat tanpa ada data resmi untuk membuktikan sebaliknya. Kondisi ini justru membuka ruang bagi praktik korupsi yang lebih sulit dideteksi.

Lebih jauh, Pasal 3Y poin b memberikan semacam imunitas kepada pejabat Danantara. Poin tersebut menyatakan bahwa Menteri, organ, dan pegawai Badan, tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian jika dapat membuktikan telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian sesuai dengan maksud dan tujuan investasi dan tata kelola. Jika mereka bisa membuktikan “iktikad baik dan kehati-hatian,” mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian negara. Bukankah ini terlalu subjektif? Iktikad baik siapa? Standar kehati-hatian versi siapa? Semua bisa ditafsirkan sekehendak hati, membuat para pejabat Danantara kebal dari jerat hukum.

Kondisi ini semakin mempertegas potensi bahaya sistem yang semakin tidak transparan. Jika tidak ada perubahan, bukan tidak mungkin Danantara akan mengikuti jejak skandal 1MDB di Malaysia. Rakyat berhak curiga, rakyat berhak bertanya: untuk kepentingan siapa sebenarnya badan ini didirikan?

Di tengah carut-marut ini, Indonesia juga menghadapi tekanan ekonomi yang tidak ringan. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus terjadi. Jika kondisi ini terus memburuk, bukan tidak mungkin kita sedang menuju status negara gagal. Gunnar Myrdal pernah mengatakan, negara gagal adalah negara yang tidak mampu menjamin keadilan sosial dan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, serta memberikan akses pendidikan dan kesehatan yang memadai. Tidakkah kita sedang menuju ke arah itu?

Kasus-kasus korupsi yang begitu masif jelas berdampak pada ekonomi masyarakat. Misalnya, skandal Pertamina yang belum jelas kompensasinya bagi rakyat. Harga bahan bakar yang semakin mahal tanpa kepastian kualitas. Ini baru satu kasus, belum yang lain-lain. Sementara itu, negara terus mengucurkan dana ratusan triliun untuk proyek-proyek yang tidak jelas manfaatnya bagi rakyat kecil.

Fragile State Index (FSI) mencantumkan tingkat korupsi sebagai salah satu indikator utama negara gagal. Jika tren korupsi terus meningkat, indikator ini hanya akan semakin menguatkan status Indonesia sebagai negara dengan risiko gagal tinggi. Pemerintah harusnya lebih serius mengatasi hal ini.

Kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Indonesia membutuhkan langkah nyata untuk menghindari permasalahan yang lebih dalam. Solusi harus segera diambil. Pertama, transparansi dan akuntabilitas harus ditegakkan tanpa kompromi. Danantara harus berada di bawah pengawasan ketat dengan laporan keuangan yang terbuka bagi publik. Ketika Danantara ingin melakukan investasi pun, perlu dibuka ke publik dan dipastikan bahwa perusahaan tujuan investasi tersebut memiliki sumber dan catatan keuangan yang bersih.

Kedua, reformasi di tubuh BUMN harus dilakukan. Ini bukan hanya soal pergantian direksi, tapi juga audit menyeluruh dan pembenahan sistem pengawasan. Selama korupsi masih bercokol di BUMN, kita hanya akan melihat pengulangan skandal demi skandal tanpa ujung.

Ketiga, aparat penegak hukum harus benar-benar independen. Tanpa campur tangan politik, tanpa tebang pilih. Jika tidak, penegakan hukum hanya akan menjadi alat kekuasaan. Keempat, ekonomi rakyat harus diprioritaskan. Sumber daya negara harus dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk menggemukkan rekening segelintir orang atau kelompok tertentu. Jika korupsi terus dibiarkan, jika kebijakan tidak berpihak pada rakyat, maka jangan salahkan jika rakyat mulai kehilangan harapan.

Kelima, masyarakat sipil harus lebih aktif dalam mengawasi kebijakan pemerintah. Peran serta akademisi, jurnalis, dan aktivis sangat penting untuk memastikan bahwa skandal-skandal besar tidak berakhir dengan impunitas. Rakyat harus bersuara lebih keras dan menuntut transparansi dari pemerintah. Kita harus mengingat bahwa perubahan tidak datang dari atas, melainkan dari rakyat yang sadar akan haknya. Tanpa peran dari masyarakat, penguasa akan terus bermain aman dalam lingkaran yang menguntungkan mereka sendiri.

Keenam, teknologi digital harus dimanfaatkan untuk mempercepat transparansi. Setiap transaksi BUMN, investasi, dan pengelolaan dana publik harus dapat diakses masyarakat melalui sistem daring yang terbuka. Ini bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal mencegah celah korupsi yang selalu bersembunyi dalam birokrasi.

Negara gagal bukan hanya soal indikator ekonomi. Negara gagal adalah ketika rakyatnya merasa tidak lagi memiliki harapan kepada pemerintahnya. Kita masih bisa menghindari itu, jika ada keberanian dan kemauan untuk berubah.