Setiap tahun, lonjakan harga pangan selama Ramadan dan menjelang Lebaran menjadi persoalan berulang. Pemerintah menyatakan bahwa pasokan cukup namun realitas menunjukkan kenaikan harga selalu terjadi selama Ramadan dan menjelang Lebaran. Berbagai komoditas seperti beras, daging ayam, daging sapi, telur, gula pasir, dan minyak goreng mengalami kenaikan harga yang signifikan, mencapai 15-30% dibandingkan bulan biasa.
Pada 2024 sebelumnya, data Bank Indonesia menunjukan, inflasi tahunan berada di angka 1,57% (yoy). Namun, tekanan inflasi selama Ramadan selalu lebih tinggi akibat faktor musiman. Pergerakan harga pangan utama menunjukkan pola yang sama. Harga akan naik saat Ramadan dan sedikit menurun setelah Lebaran. Namun, nilainya jarang kembali ke titik sebelum Ramadan. Ini berarti, dampak inflasi masih akan berlanjut setelah lebaran.
Kenaikan ini tentu dipicu lonjakan permintaan, keterlambatan distribusi, spekulasi harga oleh pedagang besar, serta operasi pasar yang belum efektif dalam menstabilkan harga. Selain itu, subsidi pangan yang belum efisien juga turut memperburuk situasi. Selama ini, subsidi pangan sering kali tidak efektif karena diberikan dalam bentuk bantuan tunai atau paket sembako yang kurang tepat sasaran. Program bantuan yang tidak terkendali justru meningkatkan daya beli secara tiba-tiba, sehingga permintaan pangan melonjak dan harga semakin naik.
Karena itu, mekanisme subsidi perlu diperbaiki dengan penerapan voucher pangan digital. Dengan sistem ini, masyarakat yang berhak menerima bantuan hanya bisa menggunakan voucher untuk membeli bahan pokok tertentu di pasar dan ritel resmi, sehingga subsidi benar-benar digunakan untuk kebutuhan pangan, bukan untuk keperluan lain.
Operasi pasar juga perlu dilakukan secara lebih terstruktur. Pemerintah harus menentukan lokasi operasi pasar berdasarkan data harga harian, bukan sekadar membagi stok secara merata ke semua wilayah. Intervensi ini harus difokuskan pada daerah dengan lonjakan harga lebih dari 10% dibandingkan harga referensi, sehingga dampaknya lebih terasa bagi masyarakat. Penerapan harga batas atas di pasar tradisional juga bisa menjadi instrumen untuk mencegah harga melonjak tanpa kendali.
Di samping itu, distribusi pangan yang lambat juga menjadi penyebab lonjakan harga. Meski stok di gudang BULOG dan distributor besar tersedia, keterlambatan dalam menyalurkan barang ke pasar menyebabkan kelangkaan yang memicu spekulasi harga. Ketidakseimbangan distribusi ini diperparah dengan ketergantungan tinggi pada pasar tradisional sebagai pusat perdagangan utama, sementara jalur distribusi modern belum dimanfaatkan secara maksimal.
Untuk mengatasi permasalahan ini, distribusi berbasis data real-time dapat menjadi solusi yang lebih efektif dibandingkan pendekatan konvensional. Dengan pemantauan harga harian dari BPS, Badan Pangan Nasional, dan e-commerce, wilayah dengan lonjakan harga tertinggi dapat diprioritaskan dalam distribusi stok.
Libatkan Minimarket, Platform, dan Warung
Skema ini memungkinkan pemerintah mengintervensi pasar dalam waktu 24 jam, mencegah keterlambatan pasokan dan menekan kenaikan harga hingga 10-20%. Selain itu, pemanfaatan ritel modern seperti Indomaret dan Alfamart, serta platform e-commerce seperti Shopee dan Tokopedia, dapat mempercepat aliran stok ke konsumen tanpa harus bergantung pada pasar tradisional yang rentan terhadap spekulasi harga.
Pengawasan terhadap praktik penimbunan stok juga menjadi faktor kunci dalam menjaga stabilitas harga. Pemerintah perlu memperketat regulasi terhadap distributor besar dengan menerapkan batas maksimal penyimpanan stok, memastikan bahwa barang tidak ditahan dalam jumlah besar hanya untuk menaikkan harga. Inspeksi mendadak ke gudang penyimpanan dapat dilakukan secara rutin oleh Satgas Pangan dan Kementerian Perdagangan. Bagi distributor yang terbukti melakukan spekulasi harga, sanksi tegas seperti pencabutan izin usaha atau denda progresif harus diberlakukan untuk memberikan efek jera.
Strategi jangka pendek lainnya yang dapat diterapkan adalah kerja sama lebih erat dengan UMKM pangan. Dengan melibatkan pedagang kecil dan warung tradisional dalam program distribusi pangan bersubsidi, harga dapat lebih stabil di tingkat lokal. UMKM memiliki peran strategis dalam rantai pasok, karena mereka langsung berhubungan dengan konsumen akhir. Jika mereka mendapatkan akses langsung ke bahan pangan dari BULOG dengan harga stabil, rantai distribusi menjadi lebih efisien dan harga lebih terkendali.
Pemerintah juga dapat memperkenalkan mekanisme stok dinamis, di mana cadangan pangan yang dikelola pemerintah tidak hanya disimpan di gudang besar tetapi juga disebar ke titik distribusi lebih kecil, seperti koperasi dan distributor lokal di berbagai daerah. Dengan sistem ini, ketika harga melonjak di suatu wilayah, stok dapat segera dialihkan tanpa harus melalui proses distribusi panjang yang sering kali menyebabkan keterlambatan pasokan.
Mekanisme perdagangan antar-daerah juga perlu diperbaiki agar daerah surplus pangan dapat dengan cepat menyalurkan ke daerah yang mengalami defisit. Salah satu kendala utama dalam perdagangan pangan lintas provinsi adalah biaya logistik yang tinggi dan birokrasi distribusi yang rumit. Pemerintah dapat menekan biaya distribusi dengan memberikan subsidi logistik sementara selama Ramadan, terutama untuk komoditas yang mengalami defisit pasokan di daerah tertentu.
Langkah tak kalah penting lainnya adalah kampanye kesadaran masyarakat untuk mengurangi panic buying dan konsumsi berlebihan selama Ramadan. Salah satu faktor yang memicu inflasi pangan adalah pola belanja yang tidak terkendali di awal bulan puasa dan menjelang Lebaran. Jika masyarakat didorong untuk berbelanja secara lebih bijak dan sesuai kebutuhan, lonjakan permintaan yang drastis dapat ditekan, sehingga harga tidak mengalami kenaikan ekstrem dalam waktu singkat.
Di sisi lain, pemerintah juga harus lebih adaptif dalam mengelola stok pangan, memastikan distribusi yang lancar, serta menerapkan regulasi yang lebih ketat terhadap praktik spekulasi harga. Jika strategi ini bisa diterapkan menyeluruh, inflasi pangan selama Ramadan dan Lebaran dapat ditekan. Hal ini tidak hanya membantu menjaga daya beli masyarakat, tetapi juga mencegah gejolak ekonomi yang lebih besar setelah Lebaran.
Ramadan seharusnya menjadi bulan penuh berkah, bukan bulan yang membawa beban ekonomi lebih besar bagi masyarakat. Oleh karena itu, upaya stabilisasi harga harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan pangan nasional.