Krisis Branding Pertamax


“Pertamax Siap Hadirkan Performa Berkendara yang Lebih Maksimal.” Kalimat ini pastinya sudah akrab di telinga masyarakat Indonesia. Bertahun-tahun, Pertamina berhasil membangun citra positif di mata publik melalui brand positioning Pertamax. Produk ini seolah menjadi simbol kualitas tinggi, peduli lingkungan, sekaligus bentuk dukungan nyata pada negara. Sebuah strategi pemasaran yang brilian, yang berhasil menempatkan Pertamina sebagai perusahaan dengan citra yang begitu humanis dan nasionalis.

Dalam teori pemasaran, apa yang dilakukan Pertamina ini dikenal sebagai brand positioning. Menurut pakar pemasaran dunia, Philip Kotler, brand positioning yang kuat bergantung pada kemampuan merek untuk menunjukkan differentiation atau perbedaan yang jelas dibandingkan kompetitor. Dengan Pertamax, Pertamina berhasil memosisikan produknya sebagai bahan bakar superior, ramah lingkungan, dan menjaga performa mesin kendaraan. 

Konsumen yang menginginkan kualitas pun mulai beralih ke Pertamax sebagai bukti kepedulian terhadap kendaraan dan bangsa. Selain itu, Kampanye “BBM Subsidi Tepat Guna” juga membuat pelanggan yang sensitif terhadap isu nasionalisme turut mendukung penggunaan Pertamax sebagai bentuk kepedulian dan dukungan terhadap program pemerintah.

Namun, di balik branding yang cemerlang ini, sebuah drama besar ternyata sedang berlangsung diam-diam, menunggu waktu untuk meledak ke publik.

SPBU Pertamina (Foto: Unsplash)

Tahun 2025, berita mengejutkan muncul ke permukaan. Kejaksaan Agung mengungkap skandal besar di tubuh PT Pertamina Patra Niaga. Skandal ini bukan sekadar isu kecil, tetapi sebuah dugaan serius tentang adanya praktik ilegal blending produk BBM. Diduga kuat bahwa ada oknum yang mencampur BBM jenis RON 88 dan RON 90 sehingga menghasilkan BBM dengan kualitas yang menyerupai Pertamax (RON 92). Skandal ini menjadi semakin besar karena disebut merugikan negara hingga hampir satu kuadriliun rupiah, sebuah angka fantastis yang langsung mencuri perhatian publik.

Berita tersebut menjadi viral seketika, terutama ketika netizen mengangkat opini ini ke berbagai media sosial. Publik segera menyimpulkan kasus ini dengan kalimat sederhana tapi mematikan: “Pertamax dioplos dengan Pertalite”. Efek domino pun langsung terjadi. Sebuah citra yang dibangun bertahun-tahun runtuh hanya dalam beberapa hari saja. Kepercayaan konsumen yang selama ini dibangun dengan susah payah hancur lebur seketika.

Dalam dunia digital saat ini, kekuatan netizen dalam menyebarkan opini sangatlah dahsyat. Konsep ini dikenal dengan istilah mobilisasi online. Dengan cepat, tagar #BoikotPertamina mendominasi seluruh lini masa media sosial. Meme sarkastis bermunculan, parodi dibuat untuk mengejek Pertamina, bahkan video eksperimen di TikTok yang membandingkan kualitas Pertamax sebelum dan sesudah isu oplosan ini menjadi viral dengan jutaan tayangan. Ekspektasi tinggi konsumen terhadap Pertamax berubah menjadi kekecewaan mendalam hanya dalam hitungan hari.

Secara langsung, fenomena ini memukul telak bisnis Pertamina. SPBU yang biasanya dipenuhi kendaraan pelanggan setia tiba-tiba kehilangan antreannya. Sebaliknya, kompetitor seperti Shell dan BP justru menikmati lonjakan pelanggan yang signifikan. Banyak pelanggan yang enggan mengisi bahan bakar Pertamax karena meragukan kualitasnya. Sementara kompetitor menikmati efek dari krisis kepercayaan terhadap Pertamina karena dinilai memiliki value kejujuran dan kualitas yang lebih baik.

Ilustrasi karyawan SPBU Shell PIK-2 (Foto: Instagram / shell_indonesia)

Dalam dunia pemasaran, situasi seperti ini dikenal sebagai brand destruction—kehancuran reputasi sebuah merek yang menyebabkan konsumen beralih ke kompetitor dengan nilai yang dirasa lebih terpercaya. Situasi yang mirip pernah terjadi dalam skandal besar Volkswagen Dieselgate beberapa tahun lalu, ketika pabrikan otomotif asal Jerman itu terbukti memanipulasi data emisi kendaraannya. Dampaknya, Volkswagen mengalami krisis kepercayaan hebat hingga membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk pulih kembali.

Kini, Pertamina berdiri di ambang tantangan serupa. Klarifikasi manajemen, uji kualitas bersama tim penegak hukum, bahkan penjelasan dari para ahli akademisi tampaknya tidak cukup efektif memadamkan api kemarahan publik. Masyarakat justru menilai semua langkah ini sebagai “komunikasi asap,” yang dianggap hanya untuk menutupi masalah sebenarnya.

Namun, bukan berarti pintu sudah sepenuhnya tertutup. Pertamina masih memiliki jalan panjang untuk kembali merebut hati konsumennya. Strategi pemulihan merek harus dilakukan dengan serius dan sungguh-sungguh. Langkah pertama adalah transparansi dan akuntabilitas penuh. Publik membutuhkan bukti nyata, seperti audit independen yang hasilnya dipublikasikan secara terbuka, atau implementasi teknologi blockchain untuk memastikan distribusi BBM yang lebih aman dan terpercaya.

Langkah kedua adalah reformasi manajemen dan peningkatan pengawasan. Publik mengharapkan perubahan signifikan di tubuh Pertamina, bukan sekadar pergantian posisi saja. Manajemen baru yang bersih dan pengawasan internal yang ketat harus menjadi prioritas. Tanpa langkah nyata ini, upaya pemulihan hanya akan dianggap sebagai “komunikasi asap” semata.

Langkah ketiga adalah strategi rebranding yang didasarkan pada integritas dan komitmen nyata terhadap kualitas produk. Kampanye edukasi yang jelas tentang langkah-langkah nyata yang diambil Pertamina untuk memastikan kualitas bahan bakar akan menjadi kunci penting. Masyarakat Indonesia, terutama generasi muda, kini tidak hanya peduli pada harga, tetapi juga integritas dan kejujuran merek.

Dalam pemasaran, ada yang dikenal sebagai The Trust Equation, di mana kepercayaan dapat dibangun kembali melalui konsistensi, transparansi, dan akuntabilitas. Jika Pertamina ingin mempertahankan posisinya sebagai pemimpin pasar BBM di Indonesia, tidak ada pilihan lain selain mengambil langkah nyata, transparan, dan terukur. Pertamina pernah sukses “Turn Around” sebelumnya ketika menghadapi krisis branding, Pertamina melakukan rebranding Pertamina Pasti Pas dengan slogan terkenal Mulai Dari Nol ya, ketika publik kehilangan kepercayaan kepada takaran BBM yang diberikan oleh SPBU Pertamina.

Pertanyaan besarnya sekarang adalah: apakah Pertamina akan mampu mengembalikan reputasinya yang hancur atau justru semakin terpuruk dalam pusaran krisis ini? Apakah Pertamina mampu mengubah krisis ini menjadi peluang untuk pembenahan yang lebih baik? Hanya waktu, dan tentu saja, langkah nyata Pertamina yang akan menjawabnya.