Puasa Momentum untuk Menemukan Kebahagiaan


Saat ini masyarakat Indonesia ditimpa banyak musibah. Banjir melanda Jakarta dan banyak kota-kota lainnya. PHK terjadi di banyak perusahaan, membuat angka pengangguran bertambah semakin tinggi. Tanah longsor terjadi di banyak tempat. Warga kehilangan tempat tinggal, kehilangan pekerjaan, kehilangan keluarga yang dikasihinya, bahkan kehilangan harapan. Kesulitan dalam berbagai bentuknya datang dan pergi menyapa. Kesedihan, kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan melanda banyak orang. Sebagian orang bisa bertahan memupuk harapan dan suka cita, sebagian lain terus meratapi kehilangan dan tenggelam dalam duka cita.

Puasa adalah praktik beragama yang merupakan latihan atau training untuk membentuk kesabaran, kekuatan, keikhlasan dan kebahagiaan bagi orang yang menjalankannya. Puasa bukan hanya ibadah untuk memperkuat relasi manusia dengan Tuhan dan sesamanya, tetapi bahkan mengokohkan spiritualitas, kebajikan dan mindset positif yang ada dalam dirinya.

Puasa melatih manusia untuk merubah cara pandang lama kita yang kurang baik sebelum berpuasa menjadi lebih baik pada saat berpuasa. Jika sebelum berpuasa, kita cenderung fokus memenuhi kebutuhan material dan duniawi semata, pada saat puasa menjadi seimbang dengan kebutuhan spiritual dan ukhrowi. Sebelum puasa cenderung hanya fokus dengan kepuasan dirinya, pada saat puasa menjadi lebih perhatian kepada orang-orang di sekitarnya. 

Sebelum puasa minim empati dan simpati kepada musibah, kekurangan, kesulitan, dan kelaparan orang lain, pada saat puasa menjadi lebih peka kepada mereka yang membutuhkan bantuan. Sebelum puasa lebih konsern dengan kebahagiaan diri sendiri dan keluarganya, pada saat puasa menjadi lebih peduli untuk berbagi kebahagiaan kepada orang lain.

Kebahagiaan adalah hal utama yang diharapkan manusia dalam hidupnya. Tetapi, tidak semua manusia merasakan kebahagiaan yang didambakannya. Musibah banjir tiba-tiba datang tanpa diundang. PHK terjadi tanpa pemberitahuan. Kita cenderung tidak siap dengan musibah dan kesulitan yang datang tiba-tiba tanpa aba-aba. Bagaimana kita bisa berbahagia di tengah musibah besar dan kehilangan seperti itu?

Melalui bukunya yang berjudul Tasawuf Modern, Buya Hamka memberi kita pencerahan tentang cara menemukan kebahagiaan. Buya Hamka menjelaskan bahwa cara pandang manusia terhadap apa yang terjadi pada dirinya dan sekitarnya sangat penting. Cara pandang itulah yang menentukan apakah ia bisa menemukan kebahagiaan atau tidak dalam hidupnya.

Ketika seseorang mengalami musibah banjir dan kehilangan pekerjaan. Ada orang yang mengatakan “apes sekali hidup saya ini, kehilangan pekerjaan yang selama ini sudah dijalaninya dengan baik” atau “tidak ada lagi harapan karena hasil kerja keras selama ini, hilang akibat banjir”. Lalu, ia merasakan putus asa dan menyerah di tengah kondisi yang dihadapinya. Tetapi, ada orang yang berkata “ini musibah dari Allah dan yakin Allah akan membantu melewati musibah ini dengan baik”, “Innallaha ma’ana (Sesungguhnya Allah selalu bersama kita)”. 

Ia menilai musibah dan kehilangan tersebut sebagai sebuah proses kehidupan yang akan membuatnya semakin matang dalam hidup. Ia berpandangan dalam setiap musibah, kesulitan, dan kehilangan akan ada kemudahan dari Allah. Ia juga berpandangan bahwa musibah dan kehilangan dalam hidupnya adalah “proses pembelajaran” untuk menyempurnakan akhir dari suatu proses. Dalam surat Adh-Dhuha ayat 4: وَلَلۡأَخِرَةُ خَيۡرٌ۬ لَّكَ مِنَ ٱلۡأُولَىٰ = akhirat adalah “yang kemudian terjadi” adalah lebih baik dari “yang permulaan”/atau “yang sekarang terjadi”, diikuti oleh ayat 5 yang maknanya: kelak (kalau kamu tetap berjuang di tengah musibah/kehilangan), kamu akan mendapatkan karunia-Nya dan merasa puas dengan hasilnya=وَلَسَوۡفَ يُعۡطِيكَ رَبُّكَ فَتَرۡضَىٰٓ. Surat Adh-Dhuha ini bercerita tentang kesedihan Nabi Muhammad dalam dakwahnya, sudah berjuang tapi malah dihina, sehingga muncul perasaan ditinggalkan oleh Allah. Lalu kata Allah “Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak pula membencimu”= مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَل, tetapi justru memberikan karunia atas perjuangan yang telah dilakukan.

Dalam bulan suci Ramadhan 1446 H ini, semoga menjadi momentum baik untuk mengubah cara pandang yang kurang baik tentang musibah dan kesulitan hidup menjadi cara pandang yang membuat kita menjadi positif dan semakin produktif. Cara pandang dalam menilai suatu musibah dan kehilangan yang seperti ini akan mengantarkan seseorang untuk menemukan kebahagiaan, bahkan di tengah-tengah kesulitan hidup yang dialaminya.

Pemaknaan kita tentang kebahagiaan juga penting untuk dicermati kembali di momen bulan suci Ramadhan ini. Sumber kebahagiaan bagi setiap orang bisa jadi sangat beragam dan berbeda. Bisa jadi ada yang berpikir bahwa pekerjaan, jabatan, dan harta benda akan memberikan kebahagiaan, karena segala tujuan dan kebutuhan hidupnya bisa tercapai dengan memiliki semua itu. Konsep bahagia dalam konteks masyarakat urban dan modern seringkali dikaitkan dengan kebahagiaan material yaitu memiliki rumah dan harta berlimpah, pekerjaan mapan, atau menduduki jabatan tinggi. 

Tetapi kadangkala kita melihat atau mendengar, ada orang yang pekerjaannya mapan, jabatannya tinggi dan hartanya melimpah, tetapi tidak bahagia. Kita kadang melihat di balik ‘simbol’ keberhasilan dan kebahagiaan mereka, ada kehidupan yang hampa dan perasaan teralienasi dari orang-orang di sekitarnya. Ibnu Katsir dalam Tafsirnya mengingatkan kita bahwa kebahagiaan tidak ditemukan dalam kekayaan materi tetapi dalam hati yang penuh dengan iman dan ketaatan kepada Tuhan.

Lantas, bagaimana Islam menuntun kita agar mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin? Tuntunan Al-Qur’an dan Hadits menunjukkan bahwa kebahagiaan hakiki adalah terkait dengan ketenangan batin yang dicapai melalui iman kepada Allah, rasa syukur, dan kesabaran dalam menghadapi cobaan. QS. Yunus, misalnya, menekankan bahwa kebahagiaan sangat berkaitan dengan kesejahteraan mental yang membimbing individu untuk mengelola kesulitan hidup melalui pengendalian diri dan iman. Buya Hamka mengajak kita menyelami dan memaknai kebahagiaan dari pesan-pesan Al-Qur’an yang ia tulis dalam Tafsir Al-Azhar dan buku Tasawuf Modern. 

Menurut Buya Hamka, ukuran dan kadar kebahagiaan setiap orang memang berbeda-beda. Ada yang menilai dirinya bahagia ketika setiap saat bisa mengingat Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ada juga yang bahagia ketika amal sholeh yang ia lakukan bisa berdampak luas untuk orang lain. Misalnya, seseorang yang bersedekah dan mengulurkan bantuan di bulan Ramadhan kepada yatim piatu, dhuafa serta korban banjir dan PHK, seseorang bisa merasakan kebahagiaan yang luar biasa. 

Hal ini relevan dengan konsep kebahagiaan menurut Al-Farabi dan Al-Ghazali. Al-Farabi mengatakan kebahagiaan adalah tujuan akhir keberadaan manusia, yang dicapai melalui kebajikan dan kualitas moral. Warga negara yang berbudi luhur dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Adapun Al-Ghazali menekankan bahwa kebahagiaan adalah implikasi dan efek dari pikiran dan tindakan mulia yang dilakukan oleh seseorang.

Seseorang bisa memiliki sudut pandang yang berbeda-beda dalam menilai, memaknai dan memilih cara menemukan kebahagiaan. Karena, modal budaya, pendidikan dan pengalaman hidup manusia berbeda-beda. Salah satu percakapan Rasulullah dengan istrinya ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, mengatakan bahwa derajat bahagia seorang manusia ada pada derajat akalnya. Akal dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk dan akal yang menuntun seseorang untuk mengetahui hakikat dan tujuan yang ingin dicapai dalam hidupnya.

Begitulah cara menemukan kebahagiaan dan cara memaknainya seperti yang ditawarkan Buya Hamka. Buya Hamka adalah seorang ulama kelahiran Maninjau Sumatera Barat, yang lahir pada tanggal 17 Februari 1908. 

HAMKA adalah singkatan dari nama panjangnya yaitu Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah. Buya Hamka bukan hanya ulama penulis Tafsir dan pendakwah yang luar biasa, ia juga merupakan seorang pemikir Islam modern yang sangat terkemuka di Asia Tenggara dan di belahan luar negeri lainnya. Buya Hamka sangat produktif menulis. Ratusan karyanya tercatat abadi dalam lintasan sejarah pemikiran Islam Indonesia. Di antara karyanya yang sangat populer adalah Tafsir Al-Azhar dan buku Tasawuf Modern yang menjadi referensi dan inspirasi tulisan ini.