Pendanaan Proyek Gas di Indonesia Dinilai Bertentangan dengan Komitmen Iklim


Indonesia memiliki cadangan gas yang besar dengan kebutuhan biaya pengembangan infrastruktur mencapai 32,42 miliar USD. Namun, laporan terbaru dari debtWATCH dan Trend Asia menunjukkan bahwa proyek infrastruktur gas dapat menghambat pencapaian target iklim Indonesia sesuai Perjanjian Paris.

Dampak Gas terhadap Perubahan Iklim

Emisi dari penggunaan gas, terutama metana, memberikan dampak signifikan pada perubahan iklim. Metana sebagai gas rumah kaca memiliki efek pemanasan yang lebih kuat dibandingkan karbon dioksida. Hal ini bertentangan dengan upaya transisi energi Indonesia menuju sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Meskipun pemerintah terus mengembangkan infrastruktur gas dan memasukkannya dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) hingga 2060, sejumlah pihak menilai kebijakan ini bertentangan dengan citra yang ingin ditampilkan dalam forum internasional mengenai pengurangan ketergantungan pada energi fosil.

“Dalam forum internasional pemerintah memoles citra dengan menyatakan akan mengurangi ketergantungan pada energi fosil, namun dalam kebijakan nasional pemerintah justru memasukkan gas dalam kerangka transisi energi yang malah menjauhkan kita dari target dekarbonisasi,” ujar Novita, juru kampanye energi fosil Trend Asia dalam keterangannya, Minggu (16/3).

Peran Bank Internasional dalam Pendanaan Gas

Proyek gas di Indonesia mendapat dukungan dari berbagai lembaga keuangan internasional, termasuk Asian Development Bank (ADB), Asia Infrastructure International Bank (AIIB), dan World Bank Group (WBG). Namun, pendanaan ini menimbulkan pertanyaan terkait komitmen bank-bank tersebut terhadap kebijakan pengecualian pendanaan untuk energi fosil.

“Kami melihat pendanaan LNG adalah bagian dari strategi global yang menunda transisi energi sejati dan mempertahankan kontrol korporasi terhadap sumber daya alam Indonesia. Ini bukan kedaulatan energi, tetapi eksploitasi ekonomi yang dikemas dalam retorika transisi energi,” ujar Diana Gultom dari debtWATCH Indonesia.

Meskipun berbagai bank telah mengumumkan kebijakan penyelarasan dengan Perjanjian Paris, realisasi di lapangan masih menunjukkan inkonsistensi:

  • WBG menargetkan penyelarasan penuh pada proyek baru mulai 1 Juli 2023, sementara anak usahanya IFC dan MIGA menargetkan 85 persen pada tahun 2023 dan 100 persen pada 1 Juli 2025.
  • ADB menargetkan penyelarasan penuh untuk pendanaan publik sejak 1 Juli 2023 dan 85 persen untuk pendanaan privat.
  • AIIB menyatakan akan menyelaraskan pendanaan sepenuhnya pada pertengahan 2023.

Namun, dengan tetap mendanai proyek gas LNG, kredibilitas komitmen ini dipertanyakan.

Investasi Miliaran Dolar untuk Proyek Gas

Laporan “Investasi LNG Indonesia, Jalan Mundur Komitmen Iklim” mencatat setidaknya 18 proyek gas dalam berbagai tahap operasional di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Beberapa proyek besar dengan pendanaan signifikan meliputi:

  1. Tangguh LNG, Papua Barat – Dikelola oleh British Petroleum (BP) Indonesia, menerima investasi dari ADB, JBIC, dan IFC senilai 8 miliar USD.
  2. Bontang LNG, Kalimantan Timur – Dikelola oleh Pertamina, dengan dukungan dana dari ADB dan HSBC sekitar 4 miliar USD.
  3. LNG Abadi (Blok Masela), Laut Arafura – Dimiliki oleh Inpex Corporation dengan estimasi investasi 19,8 miliar USD dari JBIC dan KEXIM.
  4. PLTG Arun, Aceh & PLTG Bangkanai, Kalimantan Tengah – Dikelola oleh PLN dan menerima pendanaan dari Bank Standard Chartered senilai 160 juta Euro (Rp2,6 triliun).

Tantangan Tata Kelola dan Dampak Sosial

Investasi miliaran dolar dalam proyek gas tidak hanya berisiko terhadap pencapaian target iklim, tetapi juga membuka peluang terjadinya korupsi, konflik geopolitik, pelanggaran HAM di wilayah eksplorasi, dan pencemaran lingkungan.

Sebagai contoh, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan mantan Direktur Utama PT Pertamina, Karen Agustiawan, sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan LNG 2011-2021.

Alih-alih terus mengalokasikan dana untuk proyek energi fosil, para aktivis mendesak agar investasi diarahkan pada energi terbarukan.

“Indonesia memiliki potensi besar untuk energi bersih seperti matahari, angin, dan air. Kita harus berani keluar dari skema energi fosil yang berorientasi bisnis semata dan mulai mengutamakan keberlanjutan serta kesejahteraan masyarakat,” tegas Diana Gultom.

Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, kebijakan transisi energi Indonesia masih jauh dari kata ideal. Jika pemerintah terus memberikan ruang bagi eksploitasi gas, target netral karbon dan komitmen iklim Indonesia bisa semakin sulit dicapai.