Ketua MPR RI Ahmad Muzani memastikan tak akan ada lagi kekhawatiran masyarakat yang muncul terhadap UU TNI yang baru saja disahkan melalui rapat paripurna Kamis (20/3) kemarin.
“Kekhawatiran itu kan sudah dijawab dalam pengesahan UU itu, ada kekhawatiran militerisasi dalam pengesahan UU itu, apa yang dikhawatirkan, adanya dominasi militer dalam kehidupan masyarakat sipil, itu sudah cukup jelas tidak terjadi,” kata Muzani kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).
Sebab, dalam UU tersebut sudah ada batasan dan konsekuensi bagi prajurit aktif yang ingin menjabat di kementerian atau lembaga tertentu.
“Hanya ada beberapa lembaga tertentu diizinkan mereka bisa berkiprah, dan rata-rata jabatan-jabatan yang mereka bisa duduki dengan posisi militer aktif, adalah jabatan yang masih terkait dengan dunia kemiliteran atau upaya pertahanan negara republik indonesia,” tuturnya.
“Jika ada posisi militer yang menempati dunia di luar itu, mereka harus meninggalkan posisinya sebagai militer aktif,” sambung Muzani menegaskan.
Meski begitu, Ia tak menampik masih banyak masyarakat yang menolak. Muzani menyebut harus ada sepemahaman antara pemerintah dan masyarakat terkait hal itu:
“Tentu saja pemahaman itu harus terus dilakukan oleh para stakeholder, sehingga kawan-kawan atau pihak yang masih berpandangan berbeda mungkin belum mendapat penjelasan komprehensif lagi,” ujar Muzani.
Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani memastikan perubahan undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang baru saja disahkan dalam Rapat Paripurna masa sidang ke-15, berlandaskan dan mengedepankan supremasi sipil.
“Tetap berlandaskan pada nilai dan prinsip demokrasi supremasi sipil, hak asasi manusia serta memenuhi ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah disahkan,” kata Puan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (20/3/2025).
Ia menerangkan, terdapat tiga poin subtansi dalam UU TNI yang baru saja disahkan itu. Pertama yakni di Pasal 7 yang membahas tugas pokok TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP).
Poin ke dua yakni Pasal 47 terkait dengan penempatan prajurit TNI paa kementerian dan Lembaga. Prajurit aktif yang dapat menduduki menduduki jabatan di beberapa kementerian dan lembaga yang semula berjumlah 10, menjadi 14 berdasarkan permintaan pimpinan dan kementerian/lembaga.
“Dan tetap tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku di lingkungan kementerian dan lembaga tersebut,” jelas Puan.
Di luar penempatan pada 14 kementerian lembaga yang telah disebutkan, Ia memaparkan, TNI dapat menduduki jabatan sipil lainnya setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
“Pasal ketiga yang kemudian menjadi fokus pembahasan adalah mengenai penambahan masa dinas keprajuritan,” tambahnya.
Puan merincikan, pada pasal ini ada perubahan masa bakti Prajurit masa dinas. Yang semula diatur sampai usia paling tinggi 58 tahun bagi perwira dan 53 tahun bagi Bintara dan tamtama, mengalami penambahan sesuai dengan jenjang kepangkatan.