Analis Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mencatat, sedikitnya US$50,3 miliar duit asing masuk ke Indonesia hingga 2023. Namun, hanya US$2,6 miliar yang masuk ke sektor housing, industrial estate, and office building. Atau hanya 5,2 persen dari realisasi investasi.
“Itu sumbernya BPS (Badan Pusat Statistik). Salah satu ketakutan terbesar investasi asing, membawa uang masuk ke Indonesia adalah biaya uangnya terlampau mahal. Apa yang diperoleh dari menanamkan uang di Indonesia, tak sebanding biaya yang dikeluarkan,” papar Salamuddin, Jakarta, Selasa (25/3/2025).
Nah, biaya besar tersebut datang dari depresiasi nilai tukar. Belum ditambah resiko yang lain yang non-uang seperti kepastian hukum dan konsistensi kebijakan dan pemerintahan yang galau. Itu resikonya juga besar.
“Investasi yang paling tinggi biayanya adalah investasi dolar AS, penerimaan dalam rupiah. Mereka datang mengonversi uang mereka dalam rupiah, namun saat menerima pendapatan, rupiahnya merosot. Sehingga harga yang harus dibayar menjadi sangat mahal,” imbuhnya.
Sebagai contoh, investasi asing era SBY, membawa mata uang dolar AS dengan kurs Rp8.000/US$. Kemudian mereka investasi untuk mengeruk rupiah. Namun giliran harus membayar utang berjangka 5 sampai 10 tahun, penerimaan mereka dalam rupiah menyusut besar untuk membayar kewajiban dolar AS, yang membengkak. “Jadi lebih baik menyimpan mata uang asing di rumah dari pada menginvestasikan dalam rupiah,” ungkapnya.
Sehingga Prabowo harus melupakan usaha mendatangkan investasi asing dalam sektor sektor yang nantinya akan menerima pendapatan dalam rupiah. Misalnya, investasi 3 juta rumah.
Mendatangkan uang asing atau investor asing untuk mencari cuan di Indonesia, bukanlah perkara mudah. Untuk saat ini boleh dibilang mustahil. Kecuali, pemilik uangnya memang berencana pindah ke Indonesia dan tidak butuh dolar lagi. Jadi investasi ini disertai semangat pengorbanan tanpa pamrih.
Jadi bagaimana selanjutnya? Mengandalkan bank bank nasional? Sejak dua dekade terakhir, bank-bank menjamur untuk membiayai sektor perumahan.
Pada awalnya menjamur, banyak sekali kredit yang disalurkan di sektor perumahan. Namun ternyata, setengah mati bagi pembeli rumah. Mengapa? Karena bunga bank di dalam negeri cukup tinggi.
Alhasil, harga rumah menjadi sangat mahal dan tidak terjangkau. Bahkan, harga rumah menjadi menggembung alias bubble. Gara-garanya ya itu tadi, pernainan bunga dan permainan uang lainnya. Cara begini tidak akan sampai kepada tujuan, membuat rumah terjangkau untuk rakyat.
Mengapa bunga sangat tinggi, kembali ke awal lagi. Karena, risiko keuangan investasi di Indonesia, sangat besar. Risiko datang dari depresiasi mata uang. Bunga bertanding dengan nilai tukar rupiah terhadap US$. Bank-bank yang telah mengambil utang komersial dari global bond, berhadapan dengan beban depresiasi yang besar.
“Semua pendapatan mereka dari kredit yang disalurkan ke dalam sektor perumahan tidak cukup lagi untuk membayar kewajiban yang semakin membengkak,” kata Salamuddin.
Maka, lanjut Salamuddin, sekali lagi, bank-bank nasional harus dilupakan untuk membiayai program 3 juta rumah yang membutuhkan dana Rp300 triliun. Dengan asumsi harga rumah Rp100 juta per unit.
Secara komersial, nilai rumah Rp100 juta saat ini, jika dikalikan suku bunga rata-rata bank sebesar 11 persen setahun, maka nilai kredit rumah 10 tahun mencapai Rp210 juta. Orang miskin tidak dapat menjangkau kredit rumah dengan cicilan Rp1,7 juta-Rp2 juta per bulan.
Masyarakat miskin Indonesia yang jumlahnya 100 juta lebih dengan penghasilan kurang dari 2 dolar AS per hari, atau kurang dari Rp300 ribu/bulan, tidak mungkin beran mengajuan kredit rumah murah itu.