Pulang kampung setelah lebaran menjadi fenomena menarik yang mencerminkan pergeseran nilai dalam tradisi mudik. Pergeseran ini dipengaruhi berbagai faktor seperti tekanan ekonomi, kewajiban pekerjaan, hingga logika pragmatis.
Suriyati (55) terus mengerek kopernya perlahan dengan tangan kanannya. Sementara di tangan kirinya, sebuah kardus cukup besar ia dekap erat. Sesekali matanya menyapu ruang tunggu Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, mencari bangku kosong di antara lautan pemudik lain yang masih ramai meski Lebaran sudah berlalu tiga hari.
Bagi wanita asal Banjarnegara ini, Kamis (3/4/2025) hari itu, bukanlah waktu yang telat untuk pulang kampung. Meski tak bisa bersalaman tepat di hari Idul Fitri 1446 Hijriah, baginya makna silaturahmi tetap utuh.
“Enggak ada alasan spesifik selain momen lebaran ya. Selain masih harus kerja, saya kan jualan, jadi ya kadang di momen lebaran dapet untung lebih, alhamdulillah dapat beli tiket mudik juga, walaupun tidak di hari lebaran,” ujar Suriyati mengalami perbincangan.
Suriyati adalah ibu dari tiga anak yang seluruhnya ia tinggalkan di kampung halaman, diasuh oleh sang nenek. Dalam perjalanannya kali ini, ia pulang seorang diri. Sang suami tak bisa ikut mudik, karena masih harus melanjutkan berdagang di kawasan Tanah Abang demi mencukupi kebutuhan keluarga. “Jadi gantian lah istilahnya, nanti abang (suami Suriyati) nyusul sekitar Sabtu,” katanya.
Suriyati memang bukan satu-satunya pemudik yang memutuskan balik ke kampung halaman pasca-hari raya. Data dari Terminal Kampung Rambutan menunjukkan arus mudik masih terus mengalir. Hingga Kamis (3/4/2025), tercatat ada 110 bus yang diberangkatkan, mengangkut lebih dari 1.400 penumpang. Angka ini menunjukkan bahwa kerinduan tak mengenal tanggal merah.
Suriyati sadar betul dirinya tertinggal dari gegap gempita takbiran dan pelukan hangat anak serta orang tua selepas salat Id. Namun dia tak ambil pusing. “Bagi saya, tidak ada yang terlambat untuk mengunjungi sanak saudara atau orang tua di kampung halaman. Apalagi, mereka pasti menunggu dan berharap kedatangan saudara dari perantauan,” tuturnya dengan mata berbinar.
Tak jauh dari tempat duduk Suriyati, sepasang suami-istri tampak berdiri berdampingan. Dedi (29) dan istrinya, Intan (27), memegang tiket bus menuju Kuningan, dengan dua tas jinjing. Berbeda dari Suriyati yang baru bisa mudik karena pekerjaan, Dedi dan sang istri justru sengaja memilih untuk mudik setelah Lebaran.
“Saya tiap tahun begini, sudah biasa. Tiket lebih murah, jalanan lebih lengang,” kata Dedi sambil mengaduk kopi sachet. “Enggak usah ikut-ikutan ribet pas H-1 atau H-2. Yang penting sampai, bisa silaturahmi,” imbuhnya.
Bagi Dedi, momen Lebaran bukan perkara tanggal, tapi tentang kehadiran. Apalagi, kedua orang tuanya juga tidak keberatan kalau sang anak dan menantu baru bisa mampir pulang setelah hari raya. “Ibu saya di kampung juga santai. Kata beliau, yang penting anaknya pulang. Enggak harus pas hari H. Yang penting bisa ketemu,” ucapnya.
Pergeseran Nilai Tradisi Mudik
Fenomena seperti Suriyati dan Dedi ini, menurut Pengamat Sosial Universitas Indonesia, Rissalwan Handy, mencerminkan pergeseran nilai dalam tradisi mudik. Menurutnya, tidak semua orang kini terpaku pada 1 Syawal sebagai momentum yang sakral.
“Sebetulnya pulang kampung itu bukan sesuatu yang wajib di tanggal satu Syawal. Tapi lebih kepada menggugurkan kewajiban untuk pulang ke kampung halaman saja,” ujarnya.
Ia menambahkan, pergeseran ini dipengaruhi berbagai faktor seperti tekanan ekonomi, kewajiban pekerjaan, hingga logika pragmatis. Banyak masyarakat memilih mudik setelah Lebaran karena lalu lintas lebih lancar, biaya lebih terjangkau, dan tidak sedikit yang tetap ingin mengais rezeki di momen hari raya.
“Yang sakral itu bukan lagi satu Syawalnya, bukan harinya, tapi bulan Syawal itu sendiri. Halal bihalal bisa dilakukan sepanjang bulan. Yang penting maknanya tidak luntur,” tambahnya.
Bagi Suriyati dan Dedi, setiap roda bus yang berputar adalah pengantar harapan. Kardus dan tas jinjing yang mereka bawa bukan sekadar barang, melainkan cerita yang akan ia bagi di rumah nanti. Meski datang belakangan, kasih sayang tak pernah terasa kehilangan.