Tepat pada 1 Juni 2022, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi mengubah nama negara Turki atau Turkey menjadi Türkiye dalam semua dokumen resmi internasional. Sebelumnya, permintaan itu datang dari Menteri Luar Negeri Mevlüt Çavuşoğlu yang bersurat kepada Sekjen PBB, Antonio Guterres.
Türkiye ingin mengubah namanya karena Turkey dalam bahasa Inggris sering dikaitkan dengan kata turkey yang berarti “ayam kalkun”. Dalam budaya Barat, ayam kalkun adalah lelucon; ia bermakna “bodoh” atau “pecundang”.
Türkiye ingin melepaskan asosiasi negatif itu. Sebagai negara yang menjadi bagian dari kawasan Eropa, mereka ingin menegaskan identitas bangsanya. Nama “Türkiye” dipilih karena mencerminkan identitas kebangsaan otentik dalam bahasa mereka sendiri, sebagaimana telah digunakan sejak berdirinya Republik pada 1923 oleh Mustafa Kemal Atatürk.
Presiden Türkiye, Recep Tayyip Erdoğan, pada Desember 2021 menyatakan, “Kata Türkiye mewakili dan mengungkapkan budaya, peradaban, dan nilai-nilai bangsa Turk dengan cara terbaik.” Türkiye berasal dari kata Türk yang berarti “bangsa Turk”, ditambahkan sufiks -iye yang menunjukkan wilayah atau entitas kolektif. Maka secara harfiah, Türkiye bermakna “tanah yang dihuni bangsa Turk”.
Ini mirip dengan nama negara kita, Indonesia, yang secara harfiah berarti “kepulauan Hindia”. Berasal dari dua kata Latin: Indos dan nesos. Nama ini pertama kali dipakai oleh para orientalis Eropa seperti James Richardson Logan dan George Windsor Earl pada abad ke-19 sebagai istilah geografis untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang terletak di antara Asia dan Australia—bagian dari wilayah Hindia Timur atau East Indies.
Jika direnungkan, sebenarnya kita memiliki masalah seperti Türkiye: di mana nama Indonesia kerap disingkat menjadi Indon—yang bermakna ejekan. Di wilayah Asia Tenggara, istilah ini bahkan berkonotasi sangat negatif dan merendahkan para pekerja migran. Masalah lainnya adalah istilah indo juga berkonotasi kolonial; istilah ini merupakan cara Belanda memetakan dan mengklasifikasikan manusia dan budaya di Nusantara. Seperti Türkiye, mungkinkah kita juga perlu narasi baru tentang bangsa ini?
Nusantara sebagai Narasi
Sebenarnya, leluhur kita telah mewariskan nama yang bagus: Nusantara. Secara sederhana ia bermakna negeri kepulauan yang terletak “di antara” dua benua—nusa dan antara. Kata aslinya adalah Nuswantara, sebagaimana dicetuskan Gajah Mada dalam naskah Pararaton dan Negarakertagama di abad ke-14. Kata Gajah Mada, “Lamun huwus kalah Nuswantara, ingsun amukti palapa…” Jika seluruh Nuswantara telah ditaklukkan, barulah aku menikmati kesenangan.
Menurut para ahli bahasa Sanskerta, Nuswantara berasal dari empat kata yang digabung menggunakan hukum sasandi (mirip tasydid dalam ilmu tajwid), di mana suku kata berbunyi sama digabung penulisannya (nuswa-swa-anta-tara menjadi nuswantara). Nuswantara sendiri berasal dari kata nuswa (kepulauan), swa (mandiri), anta (ksatria), dan tara (suci atau baik). Maka, secara harfiah Nuswantara berarti “negeri kepulauan mandiri tempat tinggal para ksatria yang baik”.
Narasi ini mungkin jarang diungkap ke publik dan bisa dianggap lemah secara akademik. Tapi demikianlah kekhasan narasi: ia hidup melalui makna dan rasa bahasa. Operasi semantik semacam ini, atau yang disebut Jinarwa Jawi, justru memiliki daya resonansi yang kuat dalam kultur lokal.
Ketika saya mengetahui ibu kota baru dinamai Nusantara—Ibu Kota Nusantara (IKN)—saya menangkap kembali spirit itu. Sejak saat itu, semestinya narasi Nusantara kembali menjadi diskursus publik. Sayangnya, hal itu tertutupi oleh berbagai kontroversi dan masalah yang menghinggapi pembangunan IKN di Kalimantan Timur.
Saya tidak tahu apakah kita perlu mengikuti langkah Türkiye yang mengganti nama resmi negara di dunia internasional. Bagi saya, itu bukan hal terpenting. Yang lebih penting adalah menggali kembali narasi Nusantara sebagai warisan leluhur kita—mendalami maknanya, dan menjadikannya semangat yang kita pegang untuk menegaskan jati diri bangsa.
Nama adalah Narasi
Nama adalah representasi dari narasi sebuah bangsa. Jika kita sendiri sering mengejek atau mengutuk nama negara kita—dengan ungkapan seperti “Namanya juga Indonesia…” dalam nuansa sinis—artinya ada kekosongan dalam narasi bangsa ini. Narasi yang seharusnya menjadi akar budaya dan identitas kolektif. Apalagi jika kita tak tersinggung ketika nama Indonesia diejek, atau ketika TKI disebut dengan istilah ‘Indon’. Lemahnya narasi kebangsaan telah menggerus rasa nasionalisme kita.
Manusia Nusantara yang Bercerita
Manusia adalah makhluk yang bercerita, homo narrans. Bukan hanya homo sapiens (makhluk berpikir), homo faber (makhluk pekerja), atau homo ludens (makhluk yang bermain). Filsuf Paul Ricoeur dalam konsep hermeneutika naratif menyebut bahwa manusia memahami dirinya melalui narasi yang diceritakan dan ditafsirkan secara terus-menerus.
Kita butuh narasi yang terus-menerus diceritakan dan ditafsirkan tentang bangsa ini. Narasi yang membentuk jati diri dan rasa sebagai satu bangsa. Jika narasi itu absen di ruang publik, maka ada ruang kosong di dada manusia-manusia Indonesia. Narasi itu harus diformulasikan, dipublikasikan, dan didiseminasikan secara sistematis dan terstruktur—bahkan melampaui cara kita menyusun dan menyosialisasikan regulasi dan undang-undang.
Negara-negara besar memahami hal ini dengan baik. Maka tak heran jika The American Dream menjadi proyek kebudayaan paling masif, didukung anggaran besar, dikonstruksi lewat Hollywood, dan disebarluaskan ke seluruh dunia selama puluhan tahun. Pesannya sederhana: Amerika adalah negara adidaya yang harus ditakuti dan dijadikan sekutu.
China pun mengikuti. Presiden Xi Jinping menggagas The Chinese Dream—narasi besar tentang kebangkitan China sebagai kekuatan dunia. Ini disebarkan melalui seminar, buku, sastra, dan film. Korea Selatan juga melakukannya lewat Korean Wave—K-pop, K-drama, kuliner, dan budaya populer yang dikemas dalam narasi nasionalisme dan kejayaan.
Lantas, Apa Cerita Kita?
Apa cerita kita hari ini? Apa narasi bangsa Indonesia? Bisakah kita menjadi negara besar tanpa narasi yang kuat? Apakah visi Indonesia Emas 2045—di mana kita diramalkan menjadi kekuatan ekonomi terbesar ketiga dunia—akan tercapai jika kita tidak punya ‘cerita’ yang kita yakini dan terus-menerus kita ceritakan?
Mungkin ini terdengar mengawang. Sebagian mungkin menganggap bahwa ‘cerita, cerita, cerita’ adalah hal abstrak, tidak lebih penting dari ‘kerja, kerja, kerja’ yang tampak logis. Tapi Walter Fisher dalam Narrative Paradigm menyatakan: manusia lebih diyakinkan oleh koherensi dan resonansi cerita daripada oleh argumen-argumen logis.
Benedict Anderson pernah berkata, “A nation is a narrative.” Sebuah bangsa adalah sebuah cerita. Tanpa narasi, identitas bangsa akan memudar dan perlahan menghilang dari sejarah.
Kita tidak ingin itu terjadi. Maka mari mulai bercerita. Mari menjadi manusia pencerita Nusantara—Homo Narrans Nusantarae.
Tabik!