Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diprakarsai di masa pemerintahan Prabowo-Gibran telah resmi dimulai. Secara konsep, kebijakan makan gratis di sekolah tak sekadar soal memberikan makanan kepada masyarakat miskin, melainkan bentuk intervensi gizi yang bertujuan menanggulangi masalah malnutrisi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), terutama di kalangan anak-anak.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2023 menunjukkan, prevalensi stunting di Indonesia masih berada di angka 21,6%, yakni di atas ambang batas yang ditetapkan WHO sebesar 20%. Selain itu, kebijakan MBG juga diharapkan menjadi solusi atas masalah ketahanan pangan yang telah lama membayangi Indonesia.
Penyediaan makan untuk anak-anak di sekolah sebenarnya bukanlah sebuah kebijakan yang mutakhir ataupun kontroversial. Secara garis besar, program ini sejalan dengan prinsip welfare state, sebagaimana telah diterapkan di sejumlah negara maju dan berkembang. Di Prancis, misalnya, program makan gratis telah menjangkau lebih dari 6 juta anak pada 2023. Finlandia bahkan sudah menyediakan makan siang gratis untuk seluruh siswa sejak 1948, yang terbukti menurunkan tingkat malnutrisi anak hingga di bawah 2%.
Program Bolsa Familia di Brasil juga berhasil menurunkan angka stunting dari 19,5% pada 2000 menjadi 7% pada 2019. Sementara itu, School Lunch Program di Jepang, yang telah berjalan sejak 1947, menjadikan Jepang sebagai negara dengan angka stunting terendah di dunia saat ini, yakni hanya 2,1%.
Resistensi dan Skeptisisme Publik
Namun di Indonesia, MBG menghadapi resistensi dan skeptisisme publik yang cukup besar, termasuk dari kalangan kelas menengah dan kelompok progresif yang biasanya mendukung kebijakan berbasis kesejahteraan sosial. Ketidakpercayaan ini berakar pada rekam jejak kebijakan sosial di Indonesia yang kerap menjadi instrumen politisasi dan praktik rente.
Sebagai contoh, pada penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) COVID-19 tahun 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan kerugian negara sebesar Rp8 triliun akibat manipulasi data dan penyalahgunaan wewenang. Demikian pula Program Keluarga Harapan (PKH), yang pada 2022 tercatat mengalami ketidaktepatan sasaran hingga 15% dari total penerima. Maka tak dapat dimungkiri, catatan buruk ini turut memperkuat skeptisisme publik bahwa MBG bisa saja mengikuti pola serupa apabila tata kelola anggarannya tidak transparan dan akuntabel.
Hegemoni Politik Rente
Salah satu faktor utama rendahnya kepercayaan publik terhadap MBG adalah potensi praktik rente dan keterlibatan aktor-aktor non-sipil seperti militer dalam implementasi kebijakan ini. Presiden Prabowo Subianto telah lama menunjukkan ketertarikannya terhadap isu ketahanan pangan, bahkan jauh sebelum Pemilu 2024. Namun, distribusi kekuasaan saat ini menunjukkan pelibatan militer dalam proyek-proyek strategis negara yang kerap memicu sikap pesimistis.
Untuk konteks MBG, potensi politik rente muncul melalui skema pengadaan dan distribusi sumber daya dalam skala besar yang sangat rawan terhadap praktik korupsi dan konflik kepentingan. Tambahan lagi, instruksi Presiden untuk menambah pembentukan 100 batalyon teritorial TNI AD guna mendukung sektor pertanian dan ketahanan pangan menimbulkan pertanyaan: apakah doktrin Dwifungsi ABRI pasca-1998 tengah dikemas ulang?
Keterlibatan militer dalam sektor sipil bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan gerakan politis yang mesti dibongkar secara kritis. Sejarah menunjukkan bahwa pelibatan militer dalam urusan ekonomi dan pemerintahan sipil selalu berisiko terhadap prinsip-prinsip demokrasi.
Penunjukan Letjen TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Kepala Bulog kian memperbesar kekhawatiran publik atas meningkatnya dominasi militer di sektor strategis. Langkah ini dinilai mencederai semangat UU TNI yang membatasi keterlibatan militer aktif di lembaga sipil maupun bisnis. Transparansi dalam pengelolaan pangan nasional pun dipertaruhkan.
Momentum Evaluasi
Di tengah protes publik atas tekanan fiskal dan isu efisiensi anggaran, MBG yang semula dimaksudkan sebagai solusi sosial ikut terseret dalam pusaran kritik. Tagar #IndonesiaGelap yang sempat viral mencerminkan keresahan kolektif, termasuk seruan untuk mengevaluasi total program MBG.
Kritik terhadap MBG tak boleh dianggap sebagai penolakan semata, melainkan ekspresi dari keletihan publik terhadap kebijakan-kebijakan populis yang tidak menyentuh akar permasalahan. Indonesia masih bergulat dengan praktik politik rente, lemahnya birokrasi, dan minimnya akuntabilitas. Jika MBG hanya dijalankan sebagai proyek jangka pendek demi pencitraan, maka program ini berisiko berakhir sebagai jargon politik semata.
Apalagi pemerintah menargetkan sebanyak 19,47 juta penerima manfaat MBG pada 2025 dengan alokasi anggaran mencapai Rp71 triliun dari APBN. Ini jumlah yang sangat fantastis, dan akan menjadi bencana fiskal apabila disalurkan tanpa integritas dan tata kelola yang ketat.
Antara Subjek dan Objek Statistik
Skeptisisme publik terhadap MBG perlu dipahami bukan sekadar resistensi, melainkan refleksi dari trauma kolektif akibat gagalnya distribusi keadilan dalam kebijakan sosial. Lebih dari sekadar soal teknis pemberian makanan, MBG menjadi cermin bagaimana negara memosisikan warganya: apakah sebagai subjek pembangunan yang harus dihormati, atau sekadar objek statistik demi kepentingan elektoral?
Pertanyaan ini menuntut refleksi mendalam. Terutama karena pelibatan militer dan potensi politik rente bukan sekadar problem teknokratis, melainkan gejala menguatnya pola neo-patrimonialisme—di mana jejaring kekuasaan dan relasi personal lebih menentukan ketimbang aturan formal.
MBG bisa menjadi tonggak kebijakan progresif jika dijalankan dengan integritas dan pengawasan kuat dari masyarakat sipil. Tapi tanpa reformasi birokrasi dan tata kelola kebijakan yang transparan, ia hanya akan menambah daftar panjang kebijakan populis yang gagal memenuhi harapan.
Kini, pemerintah dihadapkan pada pilihan: membuktikan diri sebagai pelayan rakyat, atau terus terjebak dalam pusaran politik transaksional. Pilihan itu milik mereka, tetapi konsekuensinya akan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia—terutama mereka yang paling rentan, hari ini, esok, dan di masa mendatang.