Israel diam-diam telah memulai rencananya memindahkan secara paksa warga Palestina dari Gaza. Hingga kini sudah dilakukan lebih dari 16 penerbangan deportasi yang membawa warga Palestina dari Bandara Ramon, Israel.
“Saya dapat mengatakan bahwa angka ini kemungkinan akan meningkat pada periode mendatang,” kata Moshe Arbel, Menteri Dalam Negeri Israel, Senin (7/4/2025). Namun, ia tidak merinci ukuran atau kapasitas pesawat, jumlah penumpang dari Jalur Gaza, atau tujuan mereka.
Deportasi lebih dari 16 penerbangan itu merupakan upaya yang didukung pemerintahan Israel untuk memindahkan secara paksa penduduk Palestina dari daerah kantong yang terkepung dengan kedok ‘migrasi sukarela’.
Pernyataan ini merupakan indikasi terbaru dari niat Israel untuk mengosongkan Gaza dari penduduknya, di tengah perang yang telah menewaskan lebih dari 61.700 warga Palestina dan membuat sebagian besar dari 2,3 juta penduduknya mengungsi.
Israel terus menyebut rencananya sebagai migrasi sukarela, namun organisasi hak asasi manusia dan pendukung Palestina telah mengutuknya sebagai upaya pengusiran massal dan pembersihan etnis serta dinilai sebagai pelanggaran nyata terhadap hukum internasional.
Sesuai Rencana Trump
Rencana pengusiran warga Gaza ini pertama kali diusulkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. “Kami menyediakan peralatan untuk melaksanakan misi ini. Saya dapat mengatakan ada pergerakan signifikan di antara orang-orang di Gaza yang tidak terlibat dalam terorisme dan yang hanya ingin hidup serta membesarkan anak-anak mereka dengan damai.”
Ia lebih lanjut mengklaim bahwa ada keinginan yang sangat kuat untuk beremigrasi ke Eropa atau negara lain. Israel bekerja sama dengan otoritas perbatasan di Tepi Barat mengoordinasikan perjalanan yang aman dari Gaza ke Bandara Ramon, bandara kedua tersibuk di negara itu.
Negara-negara pihak ketiga – terutama di Eropa – kemudian akan mengambil alih transportasi udara. Sumber hak asasi manusia Israel menunjukkan bahwa banyak dari mereka yang dirujuk Arbel memiliki kewarganegaraan ganda.
Jumat lalu, Haaretz melaporkan bahwa seorang tokoh politik senior yang mendampingi delegasi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ke Hungaria telah mengonfirmasi bahwa Israel sedang aktif bernegosiasi dengan lebih dari satu negara untuk menerima warga Palestina dari Gaza.
“Israel sangat serius melaksanakan rencana Trump untuk memindahkan penduduk Gaza ke negara lain,” kata sumber yang tidak disebutkan namanya itu, seraya menambahkan bahwa beberapa negara pada prinsipnya setuju tetapi menuntut konsesi strategis sebagai imbalannya, bukan hanya uang.
Ketika ditanya tentang strategi yang lebih luas untuk Gaza, sumber tersebut menyatakan, “Prioritas kami adalah menyelamatkan para sandera, melenyapkan Hamas, dan menciptakan peluang nyata bagi emigrasi sukarela.”
Ia mengklaim bahwa sebelum perang, 60 persen warga Palestina di Gaza menyatakan keinginan untuk pergi dalam pemungutan suara. “Kita berbicara tentang lebih dari satu juta orang,” katanya. “Gaza hancur karena Hamas, bukan kita. Kami terus maju dengan rencana ini.”
Dalam beberapa minggu terakhir, juga muncul laporan bahwa AS dan Israel telah mendekati negara-negara termasuk Sudan, Somalia, dan Somaliland untuk menjajaki opsi relokasi warga Palestina yang diusir dari Gaza.
Hal ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan politik di Israel. Arbel mengakui bahwa menteri sayap kanan Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich mengancam akan menjatuhkan koalisi Netanyahu jika kesepakatan dengan Hamas dirampungkan.
Meskipun demikian, ia melanjutkan, “Pemerintah Israel pada akhirnya memilih untuk memprioritaskan nyawa para sandera. Bahkan dengan potensi kejatuhan koalisi, kami bertindak untuk membawa mereka pulang.”
Perkembangan terakhir ini terjadi di tengah kemarahan terhadap Netanyahu. Para kritikus dan keluarga tawanan di Gaza menyatakan bahwa ia mengutamakan kepentingan politiknya.
Israel dalam beberapa minggu terakhir meningkatkan serangannya terhadap Gaza, menargetkan rumah sakit, jurnalis, dan tempat penampungan sementara serta pekerja bantuan .