Kantor berita AFP mengulas dwifungsi TNI yang terjadi di Indonesia pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam laporan mereka.
Media asal Prancis itu menyoroti pengesahan revisi UU TNI yang memperluas keterlibatan militer dari 10 jabatan sipil menjadi 14 jabatan sipil. Langkah ini disebut membunyikan alarm di kalangan masyarakat sipil tentang potensi kembalinya pemerintahan otoriter.
AFP juga menyoroti gelombang aksi massa yang timbul akibat revisi UU TNI. Gelombang unjuk rasa itu mengusung misi ‘mengembalikan militer ke barak’.
Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andrie Yunus menyebut demonstrasi menolak UU TNI hanya puncak gunung es. Dia menilai masyarakat Indonesia sudah muak dengan militerisme.
“Masyarakat muak dengan masuknya militer ke urusan-urusan sipil,” ucap Andrie dilansir AFP, Minggu (20/4/2025).
“Kami menilai sahnya UU TNI sebagai upaya membuka kotak pandora,” imbuhnya.
AFP kemudian mengaitkan rekam jejak Prabowo dengan Orde Baru, masa pemerintahan Presiden Soeharto di mana militer punya cengkeraman kuat di pemerintahan.
Sebelum Soeharto dilengserkan demonstrasi 1998, tulis AFP, Prabowo bertugas sebagai komandan pasukan elite untuk meredam kerusuhan.
Prabowo, lanjut AFP, tetap dituduh melanggar hak asasi manusia (HAM), termasuk dugaan penculikan aktivis di akhir pemerintahan Soeharto. Prabowo telah membantah hal itu dan tak pernah diproses hukum atas tuduhan tersebut.
Sejak itu, Prabowo terus berusaha memperbaiki citranya dan kemudian terpilih menjadi Presiden melalui Pilpres 2024. Namun, dalam enam bulan kepemimpinannya, Prabowo justru memperluas peran militer di pemerintahan.
“Pemerintah tidak menyadari Indonesia punya trauma kolektif terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru Suharto,” kata Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad.
Sorotan media luar negeri terhadap UU TNI telah terjadi sejak proses pembahasan yang diwarnai demonstrasi besar di sejumlah daerah di Indonesia.
Media Singapura, Channel News Asia alias CNA, dalam artikel bertajuk ‘Indonesia parliament passes contentious amendments to military law‘ Maret lalu, melaporkan bahwa pengesahan ‘revisi kontroversial’ ini bisa mencoreng pamor Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Selain itu, pengesahan RUU TNI akan memberikan lebih banyak kesempatan bagi prajurit aktif untuk mengisi jabatan sipil.
“RUU tersebut telah dikritik oleh kelompok masyarakat sipil, yang menyatakan bahwa RUU itu dapat membawa negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini kembali ke era Orde Baru yang kejam di bawah mantan Presiden Soeharto, di mana prajurit militer mendominasi urusan sipil,” tulis CNA.
Media Singapura lainnya, The Straits Times, juga melaporkan pengesahan RUU TNI ini. Bahkan, The Straits Times secara detail menggarisbawahi pasal-pasal kontroversial yang disorot masyarakat.
“Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang direvisi tahun 2004 memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil penting tanpa harus pensiun atau mengundurkan diri. Sebelumnya, mereka hanya dapat bertugas di 10 lembaga pemerintah, terutama yang terkait dengan keamanan dan pertahanan seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Badan SAR Nasional (Basarnas), dan Badan Narkotika Nasional (BNN),” tulis The Straits Times.
“Amandemen itu meningkatkan jumlah instansi menjadi 14, yang mencakup Kejaksaan Agung, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),” lanjut The Straits Times.
Kantor berita Reuters juga melaporkan hal serupa. Dalam artikelnya berjudul ‘Indonesia parliament passes contentious amendments to military law‘, media internasional asal Inggris itu melaporkan revisi UU TNI ini mendapat kritik dari kelompok masyarakat sipil.
Reuters juga mengutip pendapat warga sipil yang menilai bahwa perubahan ini berpotensi membawa negara demokrasi terbesar ketiga di dunia kembali ke era otoriter Orde Baru di bawah mantan presiden kuat Suharto.
Kepala Kantor Kepresidenan Hasan Nasbi membantah UU TNI akan mengembalikan Indonesia ke era Soeharto.
“Undang-undang ini membatasi peran… ke 14 sektor yang sangat membutuhkan kemampuan dan keahlian yang relevan dengan pelatihan militer,” ucap Hasan kepada AFP.
Dia pun menyebut orang-orang yang mengkritisi UU TNI ‘tidak akurat’.