Menbud Fadli Zon: RA Kartini, Pendorong Politik Etis dan Emansipasi Perempuan Indonesia


Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengenang jasa besar Raden Ajeng Kartini dalam memperjuangkan emansipasi perempuan Indonesia, seraya menegaskan bahwa pemikiran Kartini telah memberi pengaruh nyata terhadap kebijakan kolonial, terutama lahirnya politik etis yang membuka akses pendidikan bagi masyarakat pribumi.

Berbicara dalam acara “Merayakan Hari Kartini: Habis Gelap Terbitlah Terang — Suara Perempuan dalam Budaya” yang digelar di Jakarta, Senin (21/4), Fadli mengungkapkan bahwa Kartini, meski wafat di usia muda, telah meninggalkan warisan pemikiran yang mendalam. Ia menyebutkan Kartini menulis sekitar 400 surat, beberapa di antaranya bahkan mencapai 27 halaman, yang berisi gagasan-gagasan visioner tentang pemberdayaan perempuan.

“RA Kartini adalah sosok besar dalam sejarah kita. Di usia yang sangat muda, ia sudah mampu menuangkan pemikiran luar biasa dalam surat-surat yang kini menjadi literatur penting untuk memahami perjuangan perempuan di masa kolonial,” kata Fadli.

Fadli menjelaskan, perjuangan Kartini tak bisa dilepaskan dari konteks politik etis yang digulirkan pemerintah Belanda. Kebijakan ini muncul sebagai respons terhadap krisis keuangan dan tekanan internal di negeri penjajah pasca Perang Diponegoro. Belanda kala itu mendorong investasi besar-besaran di Hindia Belanda dan mulai membuka akses pendidikan bagi pribumi, termasuk perempuan.

“RA Kartini adalah bagian dari generasi pribumi terdidik yang menjadi simbol dorongan dari dalam untuk perubahan kebijakan kolonial. Ia bukan hanya tokoh budaya, tetapi tokoh politik dalam arti gagasan,” ujar Fadli.

Atas dedikasinya, RA Kartini diabadikan dalam lagu “Ibu Kita Kartini” karya Wage Rudolf Supratman, yang juga menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Lagu ini pertama kali diperkenalkan dalam Kongres Perempuan Indonesia I pada 22 Desember 1928, tidak lama setelah Sumpah Pemuda.

“Lagu itu lahir dalam momentum penting sejarah perempuan Indonesia. Kartini menjadi ikon emansipasi dan simbol kebangkitan perempuan Nusantara,” ucap Fadli.

Kartini kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno pada 1964, menjadikannya perempuan pertama yang mendapatkan gelar tersebut secara resmi.

“Surat-surat Kartini membawa suara yang menggugah dan menjadi simbol tuntutan atas hak dasar perempuan: pendidikan dan kebebasan berpikir. Dua kata penting dari perjuangan Kartini adalah emansipasi dan kemerdekaan jiwa,” tegas Fadli.

Ia mengajak generasi muda untuk terus menggali pemikiran Kartini dan menjadikannya inspirasi dalam membangun Indonesia yang lebih inklusif dan adil bagi perempuan.